Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KECURIGAAN YANG MENGANTUNG
Di Warung Ibu Jae Hyun
"Saya datang, Ibu," kata Jae Hyun sambil melangkah masuk ke dapur. Ia menghela napas, menghirup aroma kuat bumbu kari yang sedang diolah Ibu.
"Kamu sudah datang? Sendirian?" tanya Ibu, matanya mencari-cari sosok Seo Han di belakang Jae Hyun.
"Seo Han lagi di Seoul, Bu, katanya ada urusan penting," jawab Jae Hyun sambil menarik kursi kayu di dekat meja makan.
"Ibu pikir dia kenapa. Ya sudahlah, tidak apa-apa, mungkin dia rindu Ayahnya," ujar Ibu sambil mondar-mandir menyiapkan makanan. Suara denting piring dan wajan memenuhi dapur.
"Oh, ya, Bu. Anehnya, kata tetangga kemarin mereka lihat Lee Young Jun, Ayah Seo Han, di sini? Terus Seo Han malah ke Seoul?" kata Jae Hyun, mencoba mencerna keanehan yang terasa mengganjal di benaknya.
"Ah, Ibu juga tidak tahu, Nak. Ya sudahlah, nanti kita tanya dia saja kalau sudah pulang."
Tring!
Suara lonceng pintu warung yang terbuat dari kuningan berbunyi nyaring. Seo Ryeon masuk, melihat tempat sepi. Ia berjalan lebih masuk ke dapur.
"Eh, Ryeon, masuk," sapa Jae Hyun.
Ryeon duduk, memerhatikan sekelilingnya mencari Seo Han. Ia mencium aroma samar asap rokok yang menempel di jaketnya. "Anda sendiri?"
"Tidak, bersama Ibu."
"Seo Han?"
"Ah, dia lagi di Seoul."
"Tiba-tiba sekali. Kemarin saya telepon dia, suaranya sangat serak dan lemah, seperti baru saja menangis. Anda tahu dia kenapa?" tanya Ryeon, nada suaranya penuh selidik.
"Entahlah, saya juga bingung dengan drama hari ini. Warga bilang Ayahnya ada di sini, tapi Seo Han bilang dia di Seoul karena ada urusan mendadak," jawab Jae Hyun.
"Ada yang aneh, tidak sih?" tanya Ryeon. Ia mengetuk-ngetuk jarinya di meja, menciptakan irama kecil yang tegang.
"Ah, sudahlah. Anak itu memang sulit ditebak hidupnya. Oh, ya, Anda mau minum apa?"
"Apa saja. Saya ke sini cuma mau antar pesanan Ibu Anda kemarin," kata Ryeon sambil memberi bungkusan yang sepertinya berisi bumbu rempah. Bungkus kertas itu terasa kasar di tangannya.
"Eh, Ryeon datang!"
"Halo, Bu. Ini saya bawakan pesanan Ibu kemarin."
"Wah, terima kasih banyak, Nak."
🏥 Di Rumah Sakit Nasional Universitas Jeju
Seo Han tidak bisa tidur. Jam dinding di atas kepala perawat seolah bergerak lebih lambat dari biasanya. Ia merasa sangat bosan dan tidak nyaman dalam balutan gaun rumah sakit yang tipis. Kainnya terasa dingin dan gatal di kulitnya. Ia mengambil ponselnya—perangkat dengan layar retak yang menjadi satu-satunya penghubung ke masa lalu.
Dibukanya galeri, dan mata Seo Han langsung terpaku pada foto-foto lama bersama ayahnya. Di sana, ia tersenyum lebar, gigi kecilnya terlihat, berdiri bangga memegang piala. Ia tersenyum, namun senyum itu terasa hambar—senyum yang hilang. Ia ingat betapa pandainya dia dulu tersenyum tanpa beban. Sensasi kebahagiaan itu kini terasa asing, hanya tontonan di layar.
Tak lama, dokter paruh baya dan seorang perawat masuk, membawa papan klip. Mereka mulai memeriksa tanda vitalnya. Benda logam stetoskop yang dingin menyentuh dadanya, menimbulkan sensasi kejut kecil.
"Dokter," Seo Han bertanya, tidak sabar, "saya sudah boleh pulang, kan?"
Dokter itu menatapnya dari balik kacamatanya, menyelesaikan pemeriksaan detak jantung. "Tuan Han, kondisi Anda membaik dengan cepat. Tetapi demam Anda baru turun total pagi ini. Kami perlu memastikan tidak ada komplikasi lain, terutama karena kondisi dehidrasi parah yang Anda alami."
"Tetapi saya merasa baik-baik saja sekarang," Seo Han mendesak, menarik lengannya dari genggaman dokter. Ia hanya ingin pergi. Ruangan ini, bau antiseptik yang menusuk tajam, terasa mencekik. Ia harus kembali ke rumah, kebohongan yang ia katakan pada Jae Hyun terasa menekan.
"Kami mengerti, tetapi tidak sekarang," kata Dokter dengan nada tegas namun lembut. "Satu hari lagi. Hanya untuk memastikan Anda benar-benar stabil. Jika besok pagi semua hasilnya baik, Anda boleh pulang."
Seo Han menghela napas panjang, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. "Baiklah."
Setelah Dokter dan perawat keluar, keheningan kembali. Ia menatap selang infus, mendengar suara tetesan yang ritmis. Hanya satu hari lagi. Dia harus menemukan cara agar bisa keluar, atau setidaknya mempersiapkan diri untuk menghadapi Jae Hyun dan Ryeon yang pasti akan menginterogasinya setelah 'pulang dari Seoul'.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Perkataan perawat itu kembali berdengung di telinganya.
Siapa tetangga itu?
Keanehan itu terasa seperti duri kecil yang menusuk pikiran Seo Han. Ia jarang berinteraksi dengan tetangga di kompleksnya. Ibu Jae Hyun tinggal terlalu jauh untuk melihat pintu rumahnya terbuka. Siapa yang akan tahu ia pingsan? Siapa yang akan memiliki kunci atau keberanian untuk masuk?
Pria itu melihat keadaan saya.
Seo Han mengatupkan rahangnya. Ia tidak percaya bahwa ada 'tetangga baik hati' yang kebetulan lewat, kebetulan melihatnya, dan kebetulan memanggil ambulans tanpa meninggalkan nama atau nomor kontak. Cerita itu terlalu mulus, terlalu rapi. Kecurigaan yang dingin, lebih dingin dari cairan infus yang mengalir di nadinya, mulai menjalar.
Ia harus tahu. Siapa yang menolongnya, dan mengapa orang itu memilih untuk tidak menampakkan diri.