Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Menerimanya
...🪞Selamat Membaca🪞...
Hulya pergi sambil menghentakkan kakinya, saat hendak keluar rumah, pintu rumah terkunci. Gadis itu hilang kesabaran menghadapi Marchel kali ini, baginya, Marchel sudah sangat keterlaluan.
"Dengar Marchel, aku ini bukan tahanan kamu, kau bagai seorang pengecut kalau seperti ini." Marchel mendekati Hulya perlahan saat mendengar bentakan dari gadisnya.
"Dengar istriku sayang, kamu milikku, Hulya. Tidak baik terlalu membangkang pada suamimu sendiri."
"Aku bukan istrimu, buka pintunya." Hulya terus mencoba untuk membuka pintu sembari mencari di mana letak kunci rumahnya sendiri.
Tak lama ponsel Hulya berdering, dengan cepat dia jawab panggilan dari Aarav.
Hulya :
Kamu di mana? Jadi jemput aku, kan?
^^^Aarav : ^^^
^^^Jadi sayang, ini aku mau jalan ke rumah kamu. ^^^
Hulya :
Aku tunggu, cepetan ya.
^^^Aarav : ^^^
^^^Kamu kenapa? Kok suara kamu kayak orang cemas begitu? Kamu baik-baik aja kan?^^^
Belum Hulya menjawab, ponselnya diambil paksa oleh Marchel dan dibanting hingga pecah ke lantai. Jantung Hulya benar-benar sudah tidak karuan lagi sekarang, melihat Marchel saat ini, dia tidak yakin bisa kabur.
“Kamu itu apa-apaan? Kamu gak berhak ya ngatur-ngatur aku begini. Kamu pikir dengan begini, kamu hebat? Enggak, Marchel. Kamu itu menakutkan,” hardik Hulya saat dirinya sudah tidak tahan lagi menghadapi sikap pria di hadapannya sekarang.
“Tidak sopan menghubungi pria lain di depan suamimu, Hulya.”
“Kamu bukan suamiku. Aku tidak mencintai kamu dan tidak mau menikah denganmu, tolong mengertilah, Marchel.” Kali ini Hulya begitu kalut hingga menangis.
"Lihat ini!" Marchel memberikan ponselnya pada Hulya, di sana dia melihat Amar melakukan ijab kabul dengan Marchel dan disaksikan oleh beberapa orang.
Hulya kaget bukan main, dia menatap Marchel tidak percaya, menganggap kalau video itu hanya editan.
"Aku tidak bisa dibohongi dengan video editan begini."
"Aku bukan orang yang suka mengedit apapun, ini real dan kau itu istriku, aku menikahimu ketika kau berusia delapan belas tahun, tepat saat kau baru saja lulus sekolah."
"Tidak mungkin, papa tidak mengatakan apapun padaku mengenai pernikahan ini."
"Jelas tidak, karena aku yang meminta dia untuk tidak mengatakan apapun padamu dulu sampai kau benar-benar siap dan lulus kuliah."
"Bohong! Aku bukan istrimu."
"Aku sudah menikahimu sah secara agama, aku memeluk kepercayaanmu dan pernikahan kita sah. Sekarang, aku ingin pernikahan kita di sahkan secara negara dan hukum. Itulah kenapa, aku datang ke sini dan mengambil kamu lagi dari Aarav-mu itu." Hulya terdiam, tubuhnya merosot ke lantai, dia tidak bisa mempercayai hal ini sama sekali.
"Tidak mungkin, ini tidak mungkin," lirihnya pelan, dia tidak hanya terkejut tetapi juga tertekan akan pernikahan yang sama sekali tidak dia ketahui.
Bagaimana mungkin dia akan hidup dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai? Ini mustahil. Terlebih pria kasar dan suka memerintah seperti Marchel.
"Berarti usia pernikahan kita sudah 5 tahun?" Marchel berjongkok di depan istrinya itu, tatapannya tidak setajam tadi lagi.
"Iya Hulya, itulah kenapa, aku sangat menjaga dirimu dan aku menyingkirkan semua pria yang berusaha untuk mendekatimu karena kamu itu istriku."
Selama ini, Amar selalu mengatakan pada Hulya kalau Marchel adalah pria yang tepat untuknya, tapi semua itu dianggap angin lalu oleh Hulya, mengingat perbedaan usia mereka yang terpaut jauh, yaitu sepuluh tahun.
Hulya awalnya menganggap kalau Marchel adalah seorang paman, dia tidak pernah membayangkan kalau Marchel ternyata suaminya.
"Aku tidak mencintaimu Marchel, aku mencintai Aarav dan ini tidak mungkin terjadi, aku tidak mencintaimu."
Tangis Hulya pecah, walau Marchel merasa sakit mendengar ungkapan Hulya tapi dia tidak terlalu menanggapi.
"Kamu hanya butuh waktu, cinta itu bisa hadir karena terbiasa. Aku tidak akan menyentuhmu sampai kamu benar-benar siap. Sekarang aku ingin meresmikan dan mendaftarkan pernikahan kita lalu membawamu ke New York." Hulya menggeleng, dia tidak ingin menjadi istri Marchel.
"Aku mohon Marchel, tolong ceraikan saja aku, aku sangat mencintai Aarav, aku tidak ingin meninggalkan dia." Marchel kembali menatap Hulya dengan seringainya.
"Aku tidak akan pernah menceraikanmu, kau itu milikku Hulya, kau istriku dan sampai kapan pun, kau akan tetap menjadi istriku. Bila perlu, aku akan melenyapkan Aarav agar pria itu tidak merusak pikiran dan hatimu lagi." Marchel berdiri, tekadnya bulat untuk membunuh Aarav.
"Jangan, jangan Marchel, tolong jangan sakiti Aarav. Aku mohon."
"Kalau begitu ayo urus segala keperluan kita, aku ingin semua selesai dalam minggu ini, mengerti." Hulya mengangguk, tidak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan Marchel.
...***...
Selang 10 hari setelah mengurus semua surat-surat pernikahan, pesta besar dan mewah diadakan oleh Marchel di New York, dia tidak mengadakan di Indonesia karena Hulya tidak ingin Aarav tersakiti.
Hulya menatap pantulan dirinya di cermin besar dalam kamar pengantin, dirinya sangat cantik bak seorang ratu. Selama pernikahan dan resepsi berlangsung tadi, Hulya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi keterpaksaan. Dia menghargai Marchel karena tamu yang hadir merupakan orang penting dan Marchel juga bukan orang sembarangan, dia memiliki kuasa serta power yang kuat di negara itu.
Marchel memasuki kamar mereka, dia sangat bahagia karena akhirnya lima tahun penantian, dia bisa memiliki Hulya seutuhnya. Gadis itu akhirnya setuju untuk menjadi istrinya walau dengan keterpaksaan.
"Biar aku bantu," ujarnya ketika Hulya hendak membuka gaun pengantin itu. Marchel menurunkan gaun itu dari tubuh istrinya dan mengecup punggung Hulya.
"Aku mau mandi dulu." Hulya menahan gaunnya ketika Marchel hendak menurunkan sepenuhnya, mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Wajah Hulya sangat berbeda ketika acara tadi, sekarang dia terlihat murung.
"Maafkan aku Hulya, aku tidak bisa melihatmu dimiliki oleh pria lain, itulah kenapa aku terus mendesak Amar untuk menikahkan kita berdua. Tapi aku berjanji, aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu. Cinta? Itu bisa saja datang kalau sudah bersama," kata Marchel sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
Dia juga mengambil handuk dan mandi di kamar mandi lain, agar nanti ketika tidur, tubuhnya terasa lebih segar.
...***...
Hulya berdiri di balkon kamar, tatapannya kosong dan hampa, dia tidak bisa menolak takdir saat ini. Dia teringat dengan perkataan Marchel sebelum mereka menikah secara resmi dan saat itu masih di Indonesia.
"Bahkan jika takdir tidak bisa mempersatukan kita, aku akan membuat takdirku sendiri agar bisa memiliki dan terus bersamamu. Apapun itu, akan aku jalani sesuai dengan keinginanku."
Sekarang Hulya hanya akan menjalani semuanya sesuai dengan kehendak Marchel, hidupnya sudah di bawah kendali sang suami tanpa bisa dia kelola sendiri.
Marchel sudah berdiri di samping Hulya, menatap wajah sendu istrinya yang saat ini belum menyadari keberadaannya. Marchel mencium pipi Hulya dengan lembut, gadis itu langsung menoleh sebentar pada Marchel dengan ekspresi kaget dan kembali menatap lurus ke depan.
"Istirahatlah! Jangan terlalu lama di balkon, udara malam tidak baik untuk kesehatanmu, kamu bisa membuatmu sakit nanti." Hulya menatap Marchel sendu, dia bingung dengan situasi saat ini, siapa yang bisa dia salahkan? Ayahnya? Tidak mungkin.
"Aku belum ingin tidur," jawabnya singkat.
"Kalau begitu, aku pergi dulu, jangan begadang, tidak baik." Marchel mencium kening Hulya lalu pergi dari kamar itu, dia memilih untuk tidur di kamar lain agar Hulya merasa nyaman.
...🪞Bersambung🪞...