Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Dapur Suci, Noda Membandel, dan Dao Panci
Li Xian melangkah melewati ambang pintu dapur, dan rasanya seperti melintasi dunia lain.
Jika halaman luar adalah dojo untuk menempa Niat, dapur ini adalah kuil untuk Hasil.
Dapur itu sempurna. Dinding batu giok putih yang sama memancarkan kehangatan yang lembut. Kompor utamanya—yang kini dipahami Li Xian terhubung langsung ke jantung gunung—mendesis pelan dengan api biru yang murni. Satu set pisau yang tampak sederhana tergantung di dinding. Dan di sudut, sebuah batu yang diukir halus mengalirkan air jernih dari mata air gunung, yang entah bagaimana dialirkan oleh Zhu Lao.
Aromanya.... Campuran teh melati, kayu cendana, dan aroma samar ubi bakar dari luar.
Di tengah ruangan, di meja kayu sederhana, Zhu Lao duduk. Di depannya ada dua benda ubi bakar terbaik dari angkatan terbaru Shen Hu (jelas baru saja diantar) dan cangkir porselen kotor dari tadi malam, masih ternoda oleh sisa-sisa anggur 'Osmanthus'.
Zhu Lao sedang mengetuk-ngetukkan jarinya yang ramping di atas meja, tatapannya tidak sabar.
"Kau lambat," katanya, suaranya yang merdu bergema di ruangan yang tenang. "Aku lapar. Dan aku haus."
Li Xian, masih gemetar karena kelelahan, membungkuk dalam-dalam. "Maaf, Guru! Saya... saya akan..."
Dia bingung harus mulai dari mana.
"Logika," kata Zhu Lao, terdengar lelah. "Kau tidak bisa minum teh dari cangkir kotor. Dan kau tidak bisa menikmati teh dengan perut kosong. Dapatkan sarapanku."
"Sarapan! Ya!" Li Xian menatap ubi di atas meja. "Tapi... ini sudah ada di sini?"
"Itu punyaku," kata Zhu Lao. "Sarapanmu ada di luar. Kau adalah Asisten Dapur. Ambilkan sarapanmu sendiri, makan dengan cepat, dan kembali bekerja. Aku tidak mempekerjakanmu untuk melamun."
Li Xian merasa bodoh. Tentu saja. Dia berlari keluar pintu.
"Shen Hu!" Shen Hu, yang sedang mengajari Mu Qing cara menyusun bara api (sementara Mu Qing terlihat seperti ingin membekukan kepalanya), berbalik dengan ceria. "Ya, Saudara Li? Mau ubi?"
"Ya! Tolong!"
Shen Hu memberinya satu yang besar dan panas. Li Xian melahapnya dalam tiga gigitan, hampir tidak merasakan rasanya, hanya menelan energi hangat itu. Dia meneguk air dari sumur dan berlari kembali ke dapur. Seluruh proses memakan waktu kurang dari tiga puluh detik.
Zhu Lao mengawasinya, satu alisnya yang sempurna terangkat. "Hmph. Setidaknya kau makan dengan cepat." Dia menunjuk ke cangkir. "Sekarang. Itu. Cuci."
Ini dia. Tugas barunya. Pangkat barunya. Li Xian mengambil cangkir itu dengan kedua tangan, seolah-olah itu adalah artefak suci.
Dia membawanya ke wastafel batu. Noda anggur 'Osmanthus' itu tampak gelap dan membandel.
Li Xian mengambil pembersih sederhana yang ada di sana. Dia mulai menggosok.
Noda itu tidak bergeming.
Dia menggosok lebih keras. Tetap tidak bergeming. Noda itu, yang ditinggalkan oleh anggur spiritual, telah menyatu dengan porselen.
Li Xian mengerutkan kening. Dia teringat kerikil itu. Ini... perlawanan.
Dia memejamkan mata. Dia memegang cangkir itu. Dia mencoba memanggilnya: Maksud Sapu. Dia memfokuskan Niat-nya, mencoba memerintahkan noda itu untuk hancur dan lenyap.
Hapus!
Dia bisa merasakan Niatnya menyentuh noda itu. Dan noda itu, yang dipenuhi sisa-sisa Dao anggur, mendorong balik. Itu adalah energi yang pasif, tetapi keras kepala.
"Bodoh," suara Zhu Lao terdengar tepat di belakangnya, membuatnya melompat.
"G-Guru!"
Zhu Lao tampak sangat kesal. "Apa yang kau lakukan? Mencoba berperang dengan sisa anggur? Kau baru saja belajar cara menghancurkan batu, dan sekarang kau pikir kau bisa menghancurkan konsep?"
Dia mengambil cangkir itu dari tangan Li Xian. "Ini adalah noda. Itu adalah sisa-sisa Dao lain. Kau tidak menghancurkannya seperti kau menghancurkan kerikil. Itu tidak efisien. Kau akan merusak cangkirku."
Zhu Lao mengambil sepotong kain lap sederhana. "Kau membersihkannya. Kau membujuknya. Kau menghormati lawannya, lalu kau menggosoknya sampai bersih."
Dia menggosok noda itu dengan gerakan memutar yang sederhana namun kuat. Skreee... skreee... Itu adalah ritme yang sama persis dengan sapuannya.
Dalam sekejap, noda itu memudar dan hilang. Cangkir itu kembali berkilau.
Zhu Lao menyerahkan cangkir yang bersih itu kembali ke Li Xian. "Maksud Sapu-mu adalah palu. Itu bagus untuk memecahkan batu. Tapi kau tidak bisa menggunakan palu untuk mencuci cangkir. Kau harus belajar kontrol. Kau harus tahu kapan harus menghancurkan, dan kapan harus membersihkan."
Pelajaran itu meresap ke dalam pikiran Li Xian yang kelelahan. Terobosan yang baru saja dia raih... hanyalah langkah pertama yang paling kasar.
"Sekarang," kata Zhu Lao, kembali ke mejanya. "Keringkan. Aku mau teh."
Li Xian mengeringkan cangkir itu dengan hati-hati, memastikan tidak ada setetes air pun yang tersisa. Dia meletakkannya dengan hormat di depan Zhu Lao.
Zhu Lao mengangguk. Dia mengeluarkan sendok teh peraknya (yang pernah membunuh iblis) dan mulai menyeduh tehnya.
"Jangan hanya berdiri di sana, Asisten Dapur," kata Zhu Lao sambil mengaduk tehnya. "Kau pikir sarapan hanya ubi?" Dia menunjuk ke sekeranjang sayuran akar spiritual yang segar (jelas tumbuh bersamaan dengan pondok). "Itu panci. Itu air. Itu pisau. Buat sup."
"Tapi... Guru... aku tidak tahu cara membuat sup!"
"Bagus," kata Zhu Lao, menyesap tehnya. "Kalau begitu, kau akan belajar."
Di luar, DONG!...DONG!... berlanjut, suara keputusasaan Tao Lin. Di dekat api, terdengar suara desisan marah saat Mu Qing secara tidak sengaja menjatuhkan sepotong kayu basah, menyebabkan api berasap.
Di dalam, di dapur suci, Li Xian—Murid Penyapu yang baru dipromosikan—menatap sepotong wortel spiritual seolah-olah itu adalah musuh bebuyutannya.
😍💪
💪