Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBUAH TAMPARAN
Udara malam itu terasa lebih berat dari biasanya. Mobil yang di kendarai Ares, melaju menuju pusat kota. Keheningan menyelimuti suasana Ares, Noval, Luna, dan Nuri. Tidak ada yang memulai percakapan untuk memecah kesunyian, seakan-akan setiap kata bisa berubah menjadi pisau yang menoreh luka baru. Luna masih pucat setelah kejadian di gudang.
Ares menggenggam erat setir, namun matanya tak lepas dari kaca spion yang sesekali menyorot wajah Luna. Sementara itu, Noval duduk di samping Ares dengan wajah lelah. Setelah melumpuhkan beberapa anak buah Celine, membuat tenaga Noval terkuras banyak.
Ketika mobil berhenti di depan hotel tempat Luna menginap, Ares mematikan mesin tanpa sepatah kata. Ia turun lebih dulu, lalu dengan sigap membuka pintu belakang untuk Luna. Noval juga segera turun dan membukakan pintu untuk Nuri.
“Biar aku yang masuk dulu,” ucap Ares tiba-tiba.
Luna menoleh bingung. “Kenapa?”
“Untuk memastikan kamarmu aman,” jawab Ares singkat, lalu melangkah masuk bersama Noval.
Koridor hotel terasa sunyi. Ketika pintu kamar Luna terbuka, Ares dan Noval dengan sigap memeriksa seisi ruangan.
“Luna, kamu besok sudah bisa pindah ke Apartemen yang sama denganku. Kalau perlu Nuri juga menginap disana. Memastikan kalian berdua aman,” bisik Noval. Terlihat dari gelagatnya, Noval tidak ingin Ares mengetahui tempat tinggal Luna yang baru.
Luna mengangguk pelan dengan sisa tenaganya yang ada.
Luna melangkah perlahan, matanya menelurusi setiap sudut kamar yang kini terasa lebih dingin dari biasanya. Tubuhnya masih terasa sakit akibat terpental. Mungkin jika bajunya dibuka terdapat banyak lebam di tubuhnya.
Ares berdiri tak jauh dari sana, memperhatikan Luna duduk di tepi ranjang sambil memegang lengannya sendiri.
“Aku harus menjelaskan sesuatu,” katanya lirih suaranya bergetar.
Luna mendongak, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Jelaskan apa lagi, Ares? Tentang kenapa kamu melakukan semua ini? Tentang mengapa kamu tega menyakitiku? Aku sudah lelah dengan semua masalah ini.”
Tatapan Ares goyah. Ia menelan ludah, seolah kalimat itu terlalau berat untuk keluar. Di dengar oleh Nuri, Noval, dan Luna, akhirnya Ares untuk pertama kalinya menjelaskan pada Luna. “Aku tidak pernah berniat untuk menyakiti kamu. Semua ini, karena aku ingin melindungi kamu.”
Ares memejamkan mata sejenak, lalu berkata pelan, “Ada hal yang tidak bisa kamu ketahui sekarang, atau bahkan selamanya. Kalau aku menceritakannya padamu, kamu akan terluka, Luna. Aku hanya ingin kamu selamat meski harus membuatmu membenciku.”
Suasana hening kembali. Luna menatap Ares cukup lama, lalu perlahan air mata jatuh dari pipinya. “Kalau memang benar melindungiku, kenapa justru aku terus dipermainkan. Sebenarnya kamu melindungiku dari apa?”
Ares terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras dari apapun. Nuri akhirnya bersuara, pelan namun tegas. “Kalau begitu, paling tidak seharusnya jangan biarkan Luna merasa sendiri. Kalau kamu benar-benar menyanyangi dan melindunginya, buktikan dengan tindakan, bukan dengan luka.”
“Semua itu tidak semudah seperti apa yang kamu pikirkan Nuri. Jika saja aku bisa melakukan hal tersebut, mungkin saat ini Luna tidak merasakan sakit seperti ini.” Ares menunduk, tak mampu menatap mata siapapun.
Malam itu berakhir tanpa jawaban pasti. Ares pamit pergi, menyisakan kebingungan.
Hari berganti, di kantor cabang bank tempat Luna bekerja, suasana pagi tampak biasa saja. Ramai dengan nasabah yang keluar masuk. Namun di balik meja kerjanya, Luna duduk dengan pikiran kacau. Matanya sembab akibat tangis semalam.
Siang harinya, Luna berjalan ke area pelayanan nasabah. Ia ingin mencari pemandangan baru setelah cukup lama menghadap komputer. Begitu sampai, kerumunan orang sudah memenuhi area.
Tanpa sengaja Luna kembali melihat pemandangan yang membuat dadanya berdegup kencang. Di sana berdiri Ares bersama Celine.
Ini benar-benar membingungkan Luna. Bagaimana bisa, baru beberapa jam yang lalu Ares mengatakan ingin melindunginya, namun kini Ares datang bersama orang yang paling membuatnya terluka.
Wajah Luna memucat. Ia menatap Ares dengan campuran bingung dan takut. Sementara Celine tersenyum sinis, lalu berteriak dengan lantang agar semua orang mendengar.
“Tampar dia!”
Ruangan seketika riuh. Semua mata memandang ke arah mereka. Ares terdiam, wajahnya tegang. Tangannya mengepal, jelas ia tidak mau melakukannya.
Namun Celine melangkah lebih dekat, suaranya meninggi. “Aku bilang, tampar dia!”
“Celine cukup!” Ares berusaha menahan, tapi Celine mendorong dadanya keras.
“Kalau kamu tidak melakukannya, aku akan pastikan Luna mengetahui semuanya. Dan itu akan membuatnya hancur lebih dari ini.” Bisik Celine dengan nada bengis.
Bisik-bisik semakin terdengar. Luna berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Luna harus membayangkan akankah tubuh nya kembali disakiti oleh Ares. Matanya menatap Ares, berharap mantan suaminya itu menolak, melawan, melakukan apapun selain menyakitinya lagi.
Tapi beberapa detik kemudian, suara tamparan keras menggema diruangan.
“plak!”
Kepala Luna terhempas ke samping. Pipi kirinya terasa panas, merah, dan hatinya seakan pecah berkeping-keping.
Beberapa orang menjerit kecil, yang lain mengeluarkan ponsel dan mulai merekam. Dalam hitungan detik, momen itu sudah tersebar di media sosial. Ares berdiri terpaku, wajahnya pucat,tangannya bergetar. Celine tersenyum puas lalu merangkul tangan Ares.
“Kalian semua lihat!” teriak Celine. “Bahkan mantan suaminya sendiri memilih aku!”
Tak lama kemudian datang dua orang satpam masuk ke dalam kerumunan bersama Noval.
“Tolong bawa mereka pergi pak. Mereka sudah sering kali membuat kekacauan disini.” Noval menunjuk Celine dan Ares.
Dengan sigap kedua satpam membawa paksa Celine dan Ares keluar bangunan. Tidak ada perlawanan dari Ares dan Celine. Seolah misi nya sudah terselesaikan.
Kerumunan ramai, sebagian terkejut, sebagian lagi berbisik sinis. Luna tidak tahan lagi. ia berlari kecil masuk ke dalam ruangannya dengan air mata bercucuran.
***
Luna tidak bisa tidur semalaman. Setiap kali ia memejamkan mata, suara tamparan itu kembali terngiang di telinganya. Rasa sakitnya seolah di berikan bertubi-tubi. Bukan hanya batinnya. Melainkan fisiknya.
Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk keras. “Luna buka pintunya. Ini aku, Nuri.” Suara itu terdengar cemas.
Luna buru-buru menghapus air matanya, lalu membuka pintu. Nuri masuk bersama Noval, keduanya tampak panik.
“Ya Tuhan Luna… wajahmu.” Nuri menutup mulutnya, nyaris menangis melihat pipi Luna yang masih kemerahan.
“Luna memaksakan senyum getir. “Aku baik-baik saja.”
Tepat ketika Noval dan Nuri masuk, secara tiba-tiba ponsel Luna mengeluarkan bunyi notifikasi.
Dengan cepat Nuri mengambil dari meja. perasaan Nuri sudah tidak karuan. Ia tahu akan ada babak baru lagi. Dan benar saja, pesan itu dikirim oleh Celine.
Dengan jantung berdebar, Nuri membuka pesan tersebut, dibaca bersama dengan Noval dan Luna.
Isinya singkat, tapi menghancurkan:
“Sekarang semua orang sudah bisa melihat bagaimana kamu lebih rendah dariku. Bahkan mantan suamimu yang sangat kamu cintai rela menamparmu di depan umum.”
Luna menutup mulutnya dengan tangan. Air matanya kembali mengalir deras. Nuri segera memeluk Luna untuk menenangkannya.
“Kenapa harus aku? Kenapa semua ini tidak berhenti?” bisiknya lirih.
Bayangan masa lalu, ucapan ibu Ares, penyelamatan di gudang, hingga tamparan di depan umum semuanya berputar di kepalanya.
Dan kini, ia merasa dunia benar-benar ingin menghancurkannya.