Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cahaya Yang Tidak Padam
Langit masih retak.
Cahaya ungu dari sisa energi Rayan berdenyut pelan, seperti jantung yang baru mulai berdetak. Dari bawah tebing, Wang Lin memandang ke atas, sementara angin membawa serpihan abu dan kilatan energi aneh yang menari di udara.
“Dia benar… api itu tidak padam,” gumam Wang Lin pelan.
Yue berdiri di sampingnya, masih menatap langit dengan mata cemas.
“Kalau begitu, artinya… Rayan masih hidup?”
Wang Lin menggeleng perlahan.
“Tidak dalam bentuk yang kau kenal. Tapi sebagian dirinya,kesadarannya, mungkin menyatu dengan inti dunia ini. Energi sebesar miliknya tidak mungkin lenyap begitu saja.”
Dari kejauhan, bumi bergetar halus. Tanah berdenyut seperti nadi, dan bunga-bunga di sekitar mulai layu, seolah bereaksi pada kekuatan asing itu.
Yue memeluk dirinya sendiri, menahan dingin yang tiba-tiba menyelimuti udara. “Ini bukan energi manusia… bahkan bukan api Asura biasa.”
Wang Lin memejamkan mata, membiarkan kekuatan spiritualnya menjelajah sekitar. Ia bisa merasakan getaran samar,panggilan lembut tapi menyesakkan, seolah seseorang memintanya datang.
“Dia memanggilku,” katanya akhirnya. “Rayan… masih ingin bicara.”
“Bicara?” Yue terkejut. “Tapi bagaimana mungkin? Bukankah jiwanya sudah hancur?”
“Bukan jiwanya,” jawab Wang Lin lirih. “Hanya bentuknya. Tapi api... selalu meninggalkan percikan.”
Langit mendadak menyala. Cahaya ungu membentuk pusaran besar di tengah awan, seperti mata raksasa yang perlahan terbuka. Suara petir tanpa suara menggema di udara.
Wang Lin menatap ke atas, lalu menatap Yue.
“Pergilah dari sini. Ini bukan lagi tempat manusia.”
“Tapi—!”
“Cepat!”
Nada suaranya membuat Yue terdiam. Ia menggigit bibir, lalu berlari menjauh sebelum seluruh lembah terguncang lagi.
Wang Lin menatap pusaran itu dalam diam. Cahaya ungu semakin terang, menembus kulit dan tulangnya. Lalu sebuah suara muncul bukan dari luar, tapi dari dalam pikirannya.
“Guru…”
Wang Lin menatap kosong ke depan. “Rayan?”
“Aku… tidak bisa menahan ini lebih lama. Api yang kubangkitkan… bukan hanya milikku.”
Seketika, Wang Lin merasakan hawa dingin menusuk tulangnya. Ia menatap tanah di sekitarnya dan sadar bahwa bayangan di bawahnya bergerak sendiri.
Bayangan itu membentuk siluet Rayan… tapi matanya bukan lagi ungu, melainkan hitam pekat.
“Mereka… terbangun, Guru. Para Asura lama… yang dulu dikurung bersamamu.”
Wang Lin terdiam. Matanya membesar perlahan. “Tidak mungkin…”
Langit bergetar, dan suara tawa rendah bergema dari segala arah, gelap, berat, dan penuh amarah.
“Kami telah menunggu lama, pewaris api…”
Wang Lin mengepalkan tangannya. Api merah keemasannya menyala lagi, tapi kali ini… bergetar.
Karena dari balik cahaya ungu di langit, muncul tangan raksasa yang terbuat dari api hitam menembus awan, perlahan turun ke dunia.
“Sepertinya… waktu damai sudah berakhir,” bisik Wang Lin dengan senyum getir.
Suara gemuruh mengguncang lembah.
Tanah bergetar seperti napas raksasa yang baru saja terbangun dari tidur ribuan tahun. Dari pusaran langit ungu itu, tangan hitam raksasa turun perlahan, jari-jarinya membakar udara dan menciptakan petir api di sekitarnya.
Wang Lin berdiri tegak di tengah badai energi itu, matanya memantulkan warna merah dan ungu yang berkelindan. Api emasnya bergetar seolah enggan menghadapi kekuatan yang sama asalnya.
“Jadi… benar kata Rayan,” bisiknya. “Asura lama telah terbangun.”
Suara tawa berat menggema dari atas awan.
“Pewaris kami... akhirnya mengingat darahnya.”
Wang Lin mengangkat kepalanya perlahan. “Aku bukan pewarismu. Aku adalah kutukan dari darah itu.”
Langit menyala lagi, dan kali ini tiga siluet raksasa muncul di antara kabut cahaya—bayangan para Asura purba, dewa perang dari masa sebelum dunia mengenal kedamaian. Mereka tidak sepenuhnya memiliki bentuk fisik, tapi aura mereka cukup untuk mematahkan gunung dan menundukkan langit.
Salah satu dari mereka, dengan mata seperti bara hitam, menatap langsung ke arah Wang Lin.
“Kau... yang dulu menolak kekuatan kami. Kau yang memilih jalan manusia.”
“Ya,” jawab Wang Lin pelan tapi tegas. “Dan aku tak menyesalinya.”
Bayangan itu tertawa keras, membuat bumi bergetar.
"Kau lemah, Wang Lin. Api Asura bukan untuk dijinakkan. Api itu untuk menelan dunia, seperti dulu.”
Api di tubuh Wang Lin membesar, seolah menolak kata-kata itu.
“Aku sudah belajar dari masa lalu. Kekuatan tanpa kendali hanya membawa kehancuran.”
Suara tawa itu berubah menjadi geraman.
“Kalau begitu, biarkan kami menunjukkan padamu arti kekuatan sejati.”
Dalam sekejap, tiga bayangan Asura turun dari langit. Suara dentuman meledak seperti guntur. Energi hitam bercampur dengan api ungu, menghantam tanah di sekitar Wang Lin dan menciptakan kawah besar.
Wang Lin melompat mundur, tubuhnya melayang di udara. Ia mengatupkan kedua telapak tangannya, menciptakan formasi api berbentuk lingkaran di sekeliling tubuhnya. Api itu berdenyut seperti jantung hidup, memancarkan cahaya emas yang menusuk langit.
“Formasi Pelindung Asura… Bangkit!”
Ratusan simbol kuno muncul di udara, mengelilingi Wang Lin seperti lingkaran matahari. Serangan pertama dari Asura purba menghantam pelindung itu, menimbulkan suara retakan yang menggetarkan dada.
“Dia melawan kekuatan leluhurnya sendiri,” gumam Yue dari kejauhan, bersembunyi di balik batu besar.
Wang Lin menahan serangan itu dengan kedua tangannya, tapi darah menetes dari sudut bibirnya. Tubuhnya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena tekanan yang luar biasa.
“Kau pikir manusia bisa melawan darahnya sendiri?” suara salah satu Asura bergema seperti guruh.
“Kalau manusia tak bisa,” Wang Lin tersenyum pahit, “biar aku yang membuktikan sebaliknya.”
Api di tubuhnya berubah warna dari merah keemasaan menjadi putih terang. Api murni, yang bahkan para Asura tidak kenal. Udara di sekeliling menjadi tenang, seolah waktu berhenti.
“Api ini bukan milik Dewa Asura… dan bukan milik Dewa. Ini api kehidupan.”
Dengan teriakan keras, Wang Lin melepaskan kekuatan itu. Gelombang cahaya putih menyapu lembah, menembus kegelapan dan menahan tangan hitam raksasa yang turun dari langit.
Ledakan berikutnya menelan segalanya. Suara dentuman berubah menjadi keheningan panjang.
Yue menutup matanya dari cahaya yang menyilaukan. Ketika ia membukanya kembali, langit telah bersih.
Hanya Wang Lin yang masih berdiri di tengah kawah, napasnya berat, matanya kosong menatap langit yang kini kembali tenang.
“Untuk sementara… mereka tertahan,” katanya lirih. “Tapi mereka tidak lenyap. Dunia ini baru saja retak.”
Yue mendekat perlahan, suaranya gemetar. “Jadi… semua ini belum berakhir?”
Wang Lin menatapnya, senyum lemah tersungging di bibirnya.
“Belum. Tapi kali ini, aku tidak sendiri.”
Yue menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.
“Baiklah, Dewa Asura. Mari kita selamatkan dunia ini… satu percikan demi satu.”
Wang Lin menatap ke arah matahari yang perlahan muncul dari balik kabut ungu, sinarnya menembus reruntuhan lembah yang kini mulai tenang.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu cahaya itu hanya jeda sebelum badai berikutnya datang.