NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 / THTM

Malam itu hujan turun pelan, hanya gerimis halus yang menimpa genteng dan jendela rumah sederhana milik keluarga Nayara.

Lampu ruang tamu menyala lembut, tapi suasananya terasa sunyi, terlalu sunyi sampai suara jarum jam di dinding terdengar begitu jelas.

Nayara duduk di depan meja belajarnya.

Tumpukan buku terbuka, pena di tangan, tapi tak satu pun kata berhasil ia tulis.

Kepalanya masih penuh oleh bayangan tadi siang—tatapan Alaric, nada bicaranya, kalimat pendek yang terus terputar di telinganya.

...“Kau tak pernah tahu siapa yang memperhatikanmu dari kejauhan.”...

Napasnya terasa berat setiap kali mengingatnya.

Ia mencoba menghapus bayangan itu dengan menggigit bibir, memaksa diri fokus pada lembar tugas yang terbuka di hadapannya.

Tapi semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat suara itu menggema dalam kepala.

“Dia tidak mungkin datang lagi,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri.

“Dia hanya ingin menakut-nakuti, itu saja…”

Namun, saat ia mengangkat wajah, matanya menangkap sesuatu di jendela.

Bayangan gelap.

Samar, tapi jelas.

Nayara terdiam.

Tubuhnya menegang, matanya terpaku.

Ia menatap lebih lama, mencoba memastikan apakah itu hanya pantulan pohon di luar, atau seseorang yang benar-benar berdiri di sana.

Tapi hujan membuat kacanya buram, dan bayangan itu menghilang sebelum sempat ia yakinkan diri.

Dengan jantung berdebar, Nayara bangkit perlahan.

Langkahnya ringan, tapi setiap lantai yang ia injak menimbulkan bunyi kecil yang membuatnya makin gugup.

Ia mendekat ke jendela dan mengintip keluar.

Gelap.

Hanya halaman kecil dan pagar rumah, basah oleh air hujan.

“Tidak ada siapa-siapa…” bisiknya pelan, tapi tangannya tetap menggenggam tirai erat.

Ia ingin menutupnya, tapi sesuatu di dalam dirinya takut kalau saat menutup, bayangan itu justru muncul lagi.

Dan seolah semesta mendengar ketakutannya, suara dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan.

Ting!

Layarnya menyala.

Nomor tak dikenal.

Pesan masuk:

“Kau tampak lelah hari ini. Istirahat yang cukup, Nayara.”

Ponsel hampir terjatuh dari tangannya.

Matanya membesar, wajahnya memucat.

Jari-jarinya bergetar hebat saat ia membaca ulang pesan itu—tak ada kesalahan, tak ada imajinasi.

Pesan itu nyata.

Singkat, dingin, dan terlalu spesifik untuk dianggap kebetulan.

Ia menutup ponsel cepat-cepat, melemparkannya ke kasur, lalu memeluk lutut di kursi.

Air matanya mulai mengalir tanpa suara.

“Kenapa dia nggak berhenti…” suaranya pecah, lirih, hampir tak terdengar.

“Aku cuma mau hidup tenang. Itu aja…”

Namun di balik segala ketakutannya, di sela tangis dan paniknya, ada sesuatu yang lain — sesuatu yang ia benci tapi tak bisa ia pungkiri: rasa kehilangan.

Karena seaneh apapun hubungan mereka, kehadiran Alaric selalu meninggalkan ruang kosong yang entah kenapa justru lebih menyakitkan saat tidak ada.

Nayara mengusap air matanya dengan kasar, lalu mematikan lampu.

Ia berbaring, menarik selimut hingga ke dada.

Tapi bahkan dalam gelap, matanya enggan terpejam.

Setiap suara kecil terdengar seperti langkah kaki di luar kamar.

Dan setiap bayangan di balik tirai seolah menatapnya kembali.

...----------------...

Langit malam masih basah.

Rintik hujan menetes di jendela besar rumah Alaric, meninggalkan jejak tipis seperti urat halus di kaca.

Di balik kaca itu, ia duduk santai di kursi kulit hitam—ruangan luas, sunyi, hanya ditemani cahaya temaram dari lampu meja dan suara lembut hujan yang menetes.

Di tangannya, sebuah ponsel menyala.

Satu pesan baru telah terkirim beberapa menit lalu.

“Kau tampak lelah hari ini. Istirahat yang cukup, Nayara.”

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

Senyum yang nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk mengubah ekspresi wajahnya jadi sesuatu yang sulit ditebak—antara puas dan tertekan oleh pikirannya sendiri.

Ia menyandarkan kepala ke kursi, menatap layar yang kini gelap, lalu meletakkan ponselnya di meja.

Sebelah tangannya mengambil segelas wine, memutar isinya perlahan.

Tatapannya kosong, tapi tidak benar-benar hilang.

Ada sesuatu yang jelas—fokus yang tidak berpaling dari satu bayangan tertentu: Nayara.

Sebuah nama yang bahkan ia ucap dalam hati dengan tenang, tapi setiap kali terlintas, nadinya berdetak sedikit lebih cepat.

“Aku tidak bermaksud menakuti mu,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hujan.

“Aku hanya ingin kau tahu… aku masih di sini.”

Ia meneguk wine-nya pelan.

Di meja kerja di depannya, bertumpuk berkas laporan dari perusahaan keluarga—kontrak, surat perjanjian, nama-nama besar.

Namun tak satu pun menarik perhatiannya malam ini.

Pandangannya justru jatuh ke satu lembar foto kecil yang terselip di antara map.

Foto itu diambil dari jarak jauh, samar, tapi cukup jelas menunjukkan sosok perempuan muda berseragam sekolah sedang menunduk di depan mesin fotokopi.

Nayara.

Alaric menatap foto itu lama, matanya tajam namun juga mengandung sesuatu yang sulit diuraikan—bukan sekadar obsesi, tapi semacam keterikatan yang aneh, sakit, dan personal.

Ia menghela napas pelan, menegakkan tubuhnya.

Jemarinya bergerak ke arah ponsel lagi.

Bukan untuk mengirim pesan, hanya sekadar membuka layar dan melihat kontak itu—nama tanpa foto, tanpa identitas.

Ia mengetik sesuatu.

Lalu menghapusnya lagi.

Mengetik ulang.

Menghapus lagi.

Akhirnya ia menekan tombol save draft dan menutup ponsel itu perlahan, seolah khawatir suara kecil pun bisa mengganggu pikirannya.

Senyumnya kembali muncul, kali ini lebih tipis.

Dingin, tapi nyata.

“Kau tidak akan bisa menghindar selamanya, Nayara,” bisiknya, hampir seperti doa.

“Karena bahkan saat aku tidak menyentuhmu… aku masih di dekatmu.”

Hujan semakin deras.

Petir menyambar jauh di luar, membuat bayangan wajah Alaric di kaca jendela tampak dua kali lipat lebih gelap.

Ia menatap refleksi itu lama, lalu menutup matanya sejenak—dan di antara tarikan napasnya yang dalam, seolah ada sesuatu yang retak di dalam dirinya, tapi ia biarkan.

Dan malam itu, di dua tempat berbeda, dua hati yang terikat oleh masa lalu yang belum selesai—masing-masing berjuang dalam diam:

Yang satu ingin melupakan,

Yang satu tidak bisa berhenti mengingat.

...----------------...

Hari itu, suasana kelas terasa seperti biasa—riuh rendah suara murid yang tertawa, bercanda, menyalin catatan. Tapi bagi Nayara, semua itu hanya seperti bayangan kabur di kejauhan.

Buku di depannya terbuka, pena di tangannya tak bergerak. Gurunya memanggil namanya dua kali baru ia tersadar.

“Eh? Iya, Bu?”

Semua kepala menoleh. Beberapa teman menahan tawa kecil.

Guru hanya menghela napas. “Kamu tidak apa-apa, Nayara? Akhir-akhir ini kamu sering melamun.”

Nayara memaksakan senyum. “Gak apa-apa, Bu. Cuma lagi kurang tidur.”

Padahal bukan kurang tidur. Ia tidak tidur. Setiap malam wajah itu muncul—tatapan Alaric yang dingin tapi juga menjerat. Semakin ia ingin melupakan, semakin kenangan itu melekat seperti tinta yang menodai pikirannya.

Di bangku belakang, Elara memperhatikan diam-diam.

Sahabatnya yang biasanya ceria, kini seperti orang lain.

Tatapan matanya kosong, senyumnya hanya sekilas, dan kadang—saat tak ada yang melihat—ada air di sudut matanya yang cepat-cepat dihapus Nayara.

Saat bel istirahat berbunyi, Elara menarik tangan Nayara ke taman belakang.

“Nay, serius deh, kamu kenapa?”

Nayara menatapnya kaget. “Aku gak kenapa-napa, Ra. Cuma banyak pikiran aja.”

“Banyak pikiran soal apa?” Elara tak mau menyerah.

Tapi Nayara hanya tersenyum samar. “Gak penting. Aku bisa kok ngurusin sendiri.”

Elara terdiam. Ada hal di mata Nayara—sesuatu yang bukan sekadar lelah. Seperti ketakutan yang berusaha disembunyikan.

Siang itu di kantin, televisi sekolah sedang menyiarkan berita tentang perusahaan besar yang baru saja menutup kerja sama internasionalnya.

Nama “Tuan Alaric.” disebut oleh pembawa berita, dan dalam sekejap tubuh Nayara menegang.

Gelas di tangannya nyaris terlepas.

Jantungnya berdetak keras.

Ia berusaha menatap ke arah lain, tapi Elara memperhatikan semuanya.

“Nay? Kamu kenapa?”

“Gak… gak apa-apa.” Nayara buru-buru berdiri. “Aku… aku ke toilet dulu, ya.”

Elara menatap kepergian sahabatnya, perasaan aneh mulai tumbuh di hatinya. Ia tidak tahu mengapa hanya dengan nama kakaknya membuat sahabatnya bersikap seperti itu… tapi jelas, dan hal itu jelas terlihat di mata elara jika menimbulkan ketakutan di diri Nayara.

Malamnya, ponsel Nayara bergetar. Pesan dari Elara.

Elara: “Nay, aku gak bisa pura-pura gak liat. Kamu sembunyiin sesuatu, ya?”

Elara: “Aku gak maksa kamu cerita, tapi aku pengen kamu tahu, aku di sini kalau kamu butuh.”

Nayara menatap layar cukup lama.

Hatinya ingin jujur.

Tapi jika ia jujur… dunia Elara akan runtuh.

^^^Nayara: “Aku cuma capek, Ra. Makasih ya udah peduli.”^^^

Ia menekan kirim, lalu menutup ponsel.

Air matanya jatuh begitu saja tanpa ia sadari.

Di sisi lain kota, di ruangan kantor yang sunyi, Alaric menatap layar laptopnya.

Sekretarisnya baru saja meninggalkan ruangan setelah memberikan laporan kegiatan sosial sekolah Elara.

Dan di daftar undangan acara itu, matanya tertumbuk pada satu nama.

Nayara.

Jari-jarinya berhenti di atas meja.

Senyum kecil terbentuk di bibirnya—dingin, penuh rencana.

“Sepertinya… waktu tenang mu sudah cukup, Nayara.”

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!