Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12 Nuha tidur nyenyak
Nuha tidur nyenyak, tapi tubuhnya hampir menempel pada dinding. Dengan hati-hati, Naru menarik tubuh istrinya agar lebih ke tengah, meraihnya hingga punggung lembut itu bersandar di dada hangatnya. Ia menarik selimut, lalu ikut berbaring di samping.
Ia tahu, titik terlemah Nuha adalah saat tertidur. Sekali saja ia terbangun karena ulahnya, bisa-bisa gadis itu langsung marah. Tiba-tiba, batuk kecil lolos dari tenggorokan Naru.
"Khh-- uhuk... Uhuk,"
Nuha bertanya terbata, “Kamu, sakit?”
“Apa aku mengganggumu?” bisik Naru.
“Asal kamu nggak bangunin aku, kamu boleh peluk aku buat hangat. Aku nggak mau kamu sakit,” jawab Nuha dengan suara lembut, separuh mimpi.
Senyum tipis muncul di wajah Naru. “Terima kasih…” ucapnya lirih, sambil menelusupkan tangannya, mencari kehangatan tubuh yang selalu ia rindukan.
Ia hanya ingin beristirahat sebentar. Di tempat yang membuatnya merasa hidup. Tapi di balik kehangatan itu, pikirannya masih berputar. Tentang bisnis yang baru ia bangun, tentang masa depan yang ingin ia ciptakan… sebuah istana untuk wanita yang kini tertidur di pelukan.
Benak Naru terus bergulat. Proyek pembangunan gedung impian yang seharusnya jadi simbol masa depan mereka justru tersendat. Seorang kakek tiba-tiba muncul, mengklaim tanah itu sebagai milik leluhur dan menolak menyerah meski Naru punya sertifikat sah.
Di sisi lain, pekerja berhenti, dan warga sekitar ikut memihak si kakek yang dianggap korban ketidakadilan. Naru terjebak di antara kebenaran hukum dan nurani, antara mempertahankan haknya atau mencari jalan damai tanpa merusak nama baik keluarga.
Paginya...
Pria itu sudah tak lagi di samping Nuha yang baru terbangun. Pergi hanya meninggalkan kecupan hangat di kening.
Suara Nuha nyaris tenggelam dalam helaan nafas dalam, “Maafkan aku, Naru. Kalau sering menyakiti hatimu. Tapi... aku juga merasa terganggu oleh kehadiranmu.” Ia menatap kosong ke arah tempat tidur yang dingin. “Setidaknya, aku membiarkanmu memelukku saat aku tertidur. Mungkin suasana itu bisa sedikit mengobati hatimu. Dan aku pun… merasa hangat.”
Di kampus...
Nuha duduk di bawah pohon rindang. Gemerisik angin dan tarian daun membangkitkan imajinasinya yang tenang.
Di pangkuan, sebuah iPad seukuran kertas kuarto menggantikan kanvas. Stylus pen menari lembut di atas layar, mengikuti irama jemarinya yang lincah.
“Aku nggak tahu ke mana arah kesuksesanku,” gumamnya. “Yang kulakukan cuma terus mendesain pakaian. Entah untuk apa... tapi ini membuatku bahagia.”
Gadis bernama Kanaya Putri menghampirinya dengan napas sedikit terengah. “Kamu di sini, Inara? Aku cari ke mana-mana, taunya nongkrong di bawah pohon,” ujarnya sambil menyeka keringat di pelipis.
“Kenapa kamu mencariku?” tanya Inara, begitu teman-teman memanggilnya di kelas.
“Sombong!” sahut suara lain dari belakang. Sari Wijaya, sahabat Kanaya yang terkenal ceplas-ceplos, melangkah mendekat dengan tangan terlipat di dada. “Dicariin orang bukannya seneng, malah nanya balik.”
“Eh?” Nuha menatap keduanya bingung, merasa baru saja diserang tanpa sebab.
Kanaya tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana. “Aku cuma pengin jadi temanmu. Kamu selalu sendirian, jadi aku pikir... mungkin kamu butuh teman. Aku pun tertarik berteman denganmu.”
“Jangan asal ngomong, Kay!” Sari langsung menimpali dengan nada tak setuju. “Cewek kayak dia tuh nggak butuh teman. Lihat aja, tiap hari dateng cuma buat belajar, abis itu langsung cabut tanpa sapa siapa pun. Dingin banget kayak kulkas lima pintu.”
Nuha terdiam. Begitulah sifat introvertnya sering disalahpahami. Ia tak bermaksud sombong, hanya… sulit memulai.
Nuha menjawab pelan, “Bo-- boleh sih. Tapi… aku memang begini orangnya, maaf…” ucapnya dengan nada sungkan.
Kalimat sederhana itu justru membuat Sari mengerutkan kening. Ia mengharapkan respons yang lebih hangat, bukan permintaan maaf dingin seperti itu. Dengan nada mencibir, ia berkata, “Begini gimana? Antisosial gitu maksudnya?”
Nuha hanya menunduk, memilih diam. Tapi sikap itu malah membuat Sari geram. Ia spontan merebut iPad di pangkuan Nuha. “Lihat nih, tiap hari sibuk sama layar doang. Pantes aja nggak punya teman! Kamu pikir dunia cuma di dalem gadget, hah?”
Nuha terperanjat, mencoba mengambil kembali iPad-nya. “Sari, tolong balikin--”
Namun Sari mengangkatnya tinggi-tinggi sambil terkekeh, “Atau jangan-jangan isinya cuma curhatan aneh? Sok sosialita di dunia maya gitu? Nyimpen Foto sendiri? Hahaha, kasihan banget sih.”
Kali ini, Nuha berdiri. Matanya menatap lurus ke arah Sari, tenang tapi menusuk. Suasana yang tadinya ramai oleh suara angin, tiba-tiba seakan membeku. Ada sesuatu di tatapan itu, sesuatu yang membuat Sari, tanpa tahu kenapa, sedikit mundur setapak.
“Kamu nggak berhak mengkritisi setiap sifat manusia. Kalau kamu nggak mau menerimaku, lebih baik kamu angkat kakimu dari sini.”
Plak!
Tamparan keras dari Sari mendarat di pipi sensitif Nuha, meninggalkan bekas merah yang langsung terasa perih.
Kanaya terkejut, matanya membelalak. “Apa-apaan sih kamu, Sar! Niat aku cuma pengin berteman, bukan cari musuh. Kamu tuh selalu aja kebablasan!”
“Cari teman itu yang bener!” balas Sari lantang, matanya menyipit penuh kesombongan. Ia menuding Nuha dengan kasar. “Punya teman kayak dia tuh malah nyusahin, nggak asik!”
Dengan gerakan penuh amarah, Sari menjatuhkan iPad yang sejak tadi ia pegang. Suara jatuhnya terdengar seperti ancaman di udara.
Refleks, Nuha menunduk cepat dan menangkap iPad itu sebelum menyentuh tanah. Nafasnya tersengal, tangannya bergetar. Benda itu bukan sekadar alat, di sanalah dunia kecilnya hidup, semua desain dan impian yang ia simpan dalam diam.
Sari mendengus, menatap dengan tatapan merendahkan. “Kan? Dia lebih milih main di dunianya sendiri daripada ngobrol sama teman.” Ia lalu menarik tangan Kanaya. “Ayo pergi, Kay. Buang waktu banget.”
Sebelum mereka benar-benar pergi, Kanaya berseru, "Minggu depan! Minggu depan ada peragaan busana di kampus A. Datang ya!! Bersamaku!"
Nuha menatap kosong.
Nuha kembali duduk perlahan. Ia menatap Sari dengan mata dingin, “Justru kamu yang nggak ngerti, Sari. Pertemanan itu bukan tentang seberapa sering kita ngobrol, nongkrong, atau ketawa bareng. Tapi tentang bagaimana kita saling menghargai ruang dan diam masing-masing. Aku nggak pandai menyapa duluan, tapi bukan berarti aku nggak peduli. Aku cuma butuh waktu buat merasa aman.”
Ia menunduk sebentar, lalu menatap lagi dengan tatapan jujur. “Kadang, yang diam itu bukan sombong. Dia cuma berusaha memahami dunia dengan caranya sendiri.”
Lalu tatapan dingin itu memudar. “Hefff…” desahnya panjang, menepuk dadanya lega. “Untung aja iPad-nya nggak rusak.”
IPad itu sangat berharga, pemberian dari suaminya. Dulu, di masa sekolah, Nuha sering menggambar di atas kertas-kertas sketch book yang kini sudah pudar warnanya. Kini, media hobi itu digantikan oleh iPad. Hadiah yang tak sekadar benda, tapi juga bentuk dukungan dan cinta. “Supaya hasil karyamu bisa abadi,” kata suaminya waktu itu.
Barang-barang pemberian suaminya itu selalu bikin dia kesal setengah mati. Bukan karena nggak suka, tapi karena setiap kali melihatnya, ia merasa seperti 'punya hutang tak kasat mata.' Dia nggak pernah minta, tapi Naru selalu saja memberi. Dan membuat Nuha serasa dituntut untuk 'menjaganya baik-baik dengan sepenuh hati.'
“Kalau ditotalin, bisa ratusan juta kali, ya Tuhan…” gumamnya, menopang dagu. “Mana mungkin aku bisa ganti. Uang tabunganku aja belum tentu cukup buat bayar kuliah semester depan.” Ia mendengus pelan. “Apa aku yang kere ini harus cari kerja sampingan juga ya…”
Kemudian matanya menyipit, nada bicaranya berubah jadi seperti sedang berdebat dengan diri sendiri.
“Tapi ya… seenggaknya aku udah bayar dengan harga yang pantas kok.” Ia menatap iPad itu dengan senyum geli. “Ciuman- ciuman paksa yang dia rebut tiap kali aku lagi fokus? Pelukan tiap malam pas aku mau tidur? Itu nggak gratis, Naru.”
Nuha tertawa kecil, lalu mengelus pipinya yang masih perih. “Impas? Nggak lah. Aku lebih mahal dari semua hadiahmu.”
Senyumnya perlahan memudar. “Lucu, ya… ngomongnya kayak nggak peduli,” gumamnya pelan. “Padahal tiap kali dia pergi, rasanya kayak ada yang ikut dicabut dari dada.”
Ia menggigit bibir bawahnya, seolah ingin menahan sesuatu yang tak mau diakui. “Aku cuma nggak mau kehilangan diriku sendiri, itu aja. Aku cuma pengin tahu… aku masih punya arah selain jadi ‘istrinya Naru’, kan?”
Angin kampus berembus pelan, membuat helaian rambutnya menari di depan wajah. Ia mengusapnya sambil tertawa getir. “Ya udahlah, Nuha. Hidup aja dulu. Toh cinta juga butuh jeda buat napas.”
Perlahan, sebuah langkah kaki mendekatinya. Pak Syarif datang menghampirinya...
.
.
.
. ~ Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊