Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Setelah berpikir panjang, akhirnya Riana memutuskan untuk memenuhi permintaan kakaknya bertemu di taman Rumah Sakit X. Dalam hati, ia juga bertekad untuk sekalian menemui Septian untuk meminta lelaki itu menandatangani surat perjanjian perceraian, agar dirinya bisa pergi dengan tenang setelah semua ini selesai.
Begitu kakinya melangkah ke halaman rumah sakit, ponselnya bergetar, menampilkan satu notifikasi pesan dari Nisa.
[Riana, kamu di mana? Kata Alif kamu keluar sendirian. Mumpung di luar, yuk sekalian belanja barang buat persiapan ke Sorong. Ada Naya juga.]
Senyum kecil terbit di bibir Riana. Ada rasa hangat yang menyelinap di dadanya, dimana ia bisa merasakan seperti benar-benar memiliki seorang kakak dan adik, meski mereka tak sedarah. Ia sempat merasa tak enak hati, lalu segera membalas pesan itu.
[Aku sekarang di Rumah Sakit X, kakakku minta ketemu. Sekalian mau minta tanda tangan mantan suamiku biar proses perceraiannya cepat selesai.]
Setelah mengirim pesan itu, Riana menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Sementara di seberang sana, Naya yang membaca pesan tersebut langsung menatap Alif lalu memberi tahu ke mana Riana pergi.
***
Riana melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju taman rumah sakit. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan dedaunan dan menebarkan aroma bunga kamboja yang samar-samar menenangkan. Namun, ketenangan itu sama sekali tidak menjamah dadanya. Setiap langkah terasa berat, seolah tanah yang ia pijak menahan tubuhnya untuk tidak maju.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Liliana duduk di bangku taman dengan perban masih melingkar di kepala dan Lira yang berada di pangkuannya. Wajah kakaknya tampak pucat, tetapi tatapan mata itu tetap tajam seperti dulu, tatapan yang dulu sering membuatnya merasa kecil dan bersalah tanpa alasan.
Riana berhenti beberapa langkah di hadapan Liliana.
“Kak,” sapanya pelan.
Liliana menoleh perlahan. Sekilas senyum terukir di bibirnya, tapi matanya tetap dingin.
“Kamu datang juga akhirnya,” ucapnya datar.
Riana mengangguk, mencoba tersenyum walau bibirnya terasa kaku. “Kakak bilang penting, jadi aku datang.”
Liliana menatapnya tanpa ekspresi. “Riana, kamu sendiri yang bilang kalau Septian mencintaiku. Dia juga sudah berjanji akan memberikan aku dan Lira keluarga yang utuh. Jadi, Riana… tolong, pergilah. Jauh dari kami.”
Riana menghela napas, menahan getir yang mulai memenuhi dadanya. “Kalau dia memang sudah berjanji padamu, seharusnya kamu nggak perlu memintaku datang ke sini, kan?”
Ia menatap Liliana tajam, suaranya bergetar tapi penuh luka. “Kadang aku masih nggak percaya… kenapa bisa ada kakak seperti kamu? Apa dunia ini memang sekejam itu, sampai-sampai kakak sendiri tega merebut lelaki dari adiknya?”
“Jangan berbicara seolah-olah aku kakak yang kejam dan kamu adik yang baik!” seru Liliana, suaranya meninggi, matanya berkilat menahan amarah.
Riana menatapnya tanpa gentar. “Jadi Kakak mau bilang aku adik yang jahat, sementara Kakak selalu berperan sebagai korban?” ujarnya tenang namun getir. Ia menarik napas, lalu mengeluarkan sebuah map dari tasnya. “Aku sudah bilang, aku akan merelakan lelaki itu untukmu. Kalau Kakak masih nggak percaya, ini buktinya.”
Ia membuka map itu dan memperlihatkan selembar dokumen di dalamnya. “Ini surat perjanjian perceraian. Aku cuma ingin dia tanda tangan, dan semuanya selesai.”
Tatapan Liliana seketika berubah, bola matanya berbinar menatap surat di tangan adiknya. Namun di balik sorot itu, pikiran Liliana bekerja cepat, memikirkan sesuatu. Bagaimana caranya agar Septian menandatangani surat itu? gumamnya dalam hati.
Belum sempat ia berkata apa pun, pandangannya menangkap sosok Septian yang sedang berjalan ke arah mereka dari kejauhan. Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya.
“Kamu mau aku bantu?” ucap Liliana lembut, tiba-tiba berdiri di depan Riana.
Riana menatap bingung, tubuhnya sedikit mundur karena jarak di antara mereka terlalu dekat. “Kakak maksudnya—”
Belum sempat kalimat itu selesai, Liliana menjatuhkan tubuhnya sendiri ke tanah bersama Lira yang masih berada di dalam gendongannya.
“Ka—Kakak!” seru Riana panik. Namun suaranya kalah cepat oleh langkah kaki yang berlari mendekat.
“Liliana!” teriak Septian, napasnya memburu saat melihat wanita itu tergeletak di tanah.
Riana mematung. Dunia seakan berhenti sesaat, sampai akhirnya kesadaran itu menghantam dirinya seperti badai. Matanya membesar, baru sekarang ia mengerti, kakaknya sedang bermain manipulasi lagi.
“Liliana!” suara Septian menggema di udara, diikuti langkah tergesa-gesanya menuju tubuh wanita itu. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlutut, memeriksa keadaan Liliana dan Lira yang kini menangis ketakutan di pelukannya.
“Lili, kamu dengar aku? Tolong, buka matamu!” ucap Septian panik, menepuk pipinya perlahan.
Liliana membuka matanya perlahan, menatap Septian dengan wajah pucat dan nafas terengah. “Aku… aku nggak sengaja, Tian. Aku cuma ingin bicara baik-baik sama Riana, tapi dia… dia dorong aku,” ujarnya lirih, suaranya nyaris bergetar seperti orang shock.
Riana sontak membeku. “Apa? Kakak, jangan memutarbalikkan—”
“Tutup mulutmu, Riana!” potong Septian dengan suara keras. Ia menatap Riana tajam, rahangnya mengeras. “Kamu masih tega melakukan ini setelah semua yang terjadi?”
“Septian, aku nggak—”
“Sudah!” bentaknya, menahan emosi yang hampir meledak. “Aku sudah cukup sabar melihat kamu selalu menjelekkan kakakmu, dan sekarang kamu nyakitin dia lagi? Bersama dengan Lira? Kamu benar-benar kejam!”
Lira menangis lebih keras, membuat suasana taman itu semakin menegangkan. Liliana berusaha bangkit, namun pura-pura meringis, membuat Septian semakin yakin bahwa ia terluka.
“Aku nggak apa-apa, Tian… jangan marahi Riana… mungkin Riana cuma salah paham. Aku tadi hanya ingin menasehati dia agar tidak buru-buru mengambil langkah untuk membuatmu tanda tangan surat perceraian, tapi dia—” ucap Liliana lirih, penuh nada ‘korban’ yang justru membakar amarah Septian lebih dalam.
Riana menggigit bibirnya keras-keras, matanya panas menahan air mata. Kesal kenapa kakaknya ingin membatu perceraiannya harus dengan cara seperti ini.
“Kakak, berhenti! Aku nggak mendorongmu. Kakak sendiri yang—”
“Cukup, Riana!” seru Septian lagi, kali ini berdiri dan menatapnya dari atas dengan tatapan dingin. “Kalau kamu benar-benar mau bercerai denganku, tunjukkan sekarang apa yang kamu bawa tadi!”
Riana mengerjap, terkejut. “Maksudmu… surat ini?”
“Ya! Bukankah itu yang kamu inginkan selama ini? Perceraian?” Ia mengulurkan tangan dengan kasar. “Berikan padaku sekarang!”
Riana menatapnya lama, amarah, sedih, dan pasrah bercampur jadi satu di matanya. Kemarin, saat ia meminta lelaki itu menandatangani surat perceraian, Septian hanya diam tanpa keberanian untuk memutuskan. Tapi kini, hanya karena satu fitnah dari kakaknya, pria itu berubah tidak ada keragu, bahkan berpikir panjang.
Dengan tangan bergetar, Riana menyerahkan map itu. “Kamu benar, Septian,” ucapnya lirih namun tegas. "Silakan tandatangani surat ini.”
Septian membuka map itu sekilas, lalu mengambil pena dari saku jasnya. Wajahnya keras, nadanya penuh amarah yang ditahan.
“Kalau ini yang kamu mau, Riana… anggap mulai detik ini, semua sudah berakhir.”
Tanpa ragu, ia menandatangani surat itu di hadapan mereka. Suara gesekan pena di atas kertas terdengar begitu nyaring di tengah sunyi sore, seperti memotong sesuatu yang tak kasat mata di antara mereka.
"Jangan pernah berani kembali memohon padaku. Sebentar lagi aku akan menikah dengan kakakmu dan saat itu, kamu tak akan punya tempat lagi di hidupku.”
Setelah kalimat itu meluncur dari mulut Septian, lelaki itu dibuat menegang dengan suara yang mendadak menggema dari belakang.
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....