Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Hari berganti minggu. Minggu pun menjelma bulan. Mereka masih tinggal di tempat yang sama, masih berbagi ranjang setiap malam, tapi kehangatan yang dulu terasa lekat kini kadang hilang, seperti ada jarak tak kasat mata yang menyelinap di antara keduanya.
Malam itu Yuan baru saja pulang, sedikit lebih larut dari biasanya. Begitu masuk kamar, matanya langsung tertuju pada Reinan yang sudah terbaring di kasur, membelakangi arah pintu. Helaan napas Reinan terdengar teratur, seolah sudah tertidur lelap.
Yuan melepas jasnya, mengganti baju dengan lebih tenang, lalu perlahan menghampiri sisi ranjang. Dengan hati-hati, ia duduk di tepinya. Tangannya terulur, menyibak sedikit helai rambut Reinan yang jatuh di bantal. Usapannya lembut, penuh rasa bersalah.
Ia berbisik pelan, "Sudah tidur...?"
Reinan sebenarnya belum sepenuhnya tertidur. Sentuhan itu membuat matanya perlahan terbuka. Ia berbalik sedikit, menatap Yuan yang kini begitu dekat.
"Yuan? Kamu sudah pulang..." suaranya serak, masih setengah mengantuk, tapi juga ada rasa lega yang terselip.
Yuan tersenyum kecil, menatap wajah Reinan yang lelah. "Iya, maafkan aku akhir-akhir ini jarang menemanimu"
Tangannya tetap berada di rambut Reinan, jemarinya mengusap lembut pelipisnya. Ada keinginan besar untuk menjelaskan semua hal yang terjadi di kantor, tentang Hyeri, tentang makan malam perjodohan itu. Tapi kata-kata seolah tercekat di tenggorokan.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Reinan, lalu perlahan merebahkan diri di sampingnya. Ia menarik Reinan ke dalam pelukan, menempelkan dagunya di bahu sang kekasih.
"Tidurlah lagi... aku di sini sekarang."
Reinan diam, tak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke arah gelap kamar, hatinya penuh tanya. Tapi di saat yang sama, hangatnya pelukan Yuan membuatnya sulit untuk benar-benar menjauh.
...****************...
Besoknya, Reinan melakukan aktivitas seperti biasa di kantor. Namun anehnya akhir-akhir ini ia merasa cepat lelah dari biasanya padahal beban kerja tidak terlalu berat.
Di pantry, Reinan sedang membuat kopi bersama Minji. Dari tadi wajahnya pucat, keringat dingin mulai muncul di pelipis.
"Nanan, lo kenapa? Dari tadi kelihatan lesu banget," tanya Minji sambil menatap khawatir.
Reinan berusaha tersenyum. "gak apa-apa, mungkin kurang tidur aja."
Namun sebelum sempat meraih gelas, pandangannya tiba-tiba menggelap. Tubuhnya goyah, dan dalam sekejap ia jatuh.
"Reinan!" Minji panik, langsung menahan tubuh sahabatnya dan berteriak minta bantuan. Beberapa karyawan buru-buru datang, membantu membawanya ke ruang kesehatan.
Sementara itu, di ruang rapat lantai atas, Yuan sedang membahas agenda penting bersama direksi. Ia terlihat fokus, sampai Taesung tiba-tiba masuk dan berbisik di telinga Yuan.
"Bos... saya dengar dari Minji hari ini Reinan pingsan di Pantry "
Begitu Taesung membisikkan kabar itu, wajah Yuan langsung kehilangan kendali. Matanya melebar, napasnya tercekat, seakan kata "pingsan" membuat jantungnya berhenti sepersekian detik.
"Apa?!" serunya nyaris lebih keras dari yang seharusnya, membuat beberapa orang di meja rapat menoleh penasaran.
Ia refleks berdiri dengan tergesa, kursinya bergeser keras hingga menimbulkan bunyi berderit. Tangannya meraih map di meja tanpa sadar, lalu menjatuhkannya lagi karena tubuhnya gemetar.
Taesung cepat menahan lengannya. "Bos... tolong kendalikan diri dulu."
Yuan menoleh dengan wajah tegang, dahinya berkerut dalam. Rahangnya mengeras menahan emosi.
"Kendalikan diri? Reinan pingsan, Taesung! Bagaimana saya bisa-" suaranya tertahan, matanya berkaca-kaca seolah menahan kepanikan.
"Tenang. Reinan sudah berada di ruang kesehatan bersama Minji. Kalau Anda pergi sekarang, semua orang akan bertanya-tanya. Kita selesaikan ini dulu agar orang- orang tidak curiga." Bisik Taesung lagi, lebih tegas.
Yuan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ia menunduk, mencoba bernapas dalam-dalam, tapi jelas sekali ekspresinya tak bisa menutupi rasa panik. Wajahnya pucat, keringat tipis mulai muncul di pelipis.
Akhirnya ia kembali duduk, tapi gelisah jari-jarinya mengetuk meja tanpa henti, kakinya bergoyang resah di bawah meja. Setiap menit terasa seperti penyiksaan.
"Cepat percepat rapat ini," gumamnya dengan suara serak, tatapannya kosong ke arah pintu, pikirannya jelas sudah terbang ke ruang kesehatan tempat Reinan berada.
Begitu rapat selesai, Yuan bahkan tidak sempat menutup map atau menyapa peserta lain. Ia berdiri lebih cepat dari siapapun, langkah kakinya panjang, tergesa. Taesung hampir kewalahan mengejar di belakangnya.
Setiap detik di lorong terasa begitu lambat. Yuan berulang kali mengepalkan tangannya, seolah ingin melampiaskan rasa panik yang membakar dadanya.
Saat pintu ruang kesehatan terbuka, pandangannya langsung tertuju pada sosok Reinan yang terbaring di ranjang kecil. Wajah pucat, mata masih terpejam. Di sampingnya Minji duduk, cemas sambil menggenggam tangan sahabatnya.
"Reinan..." suara Yuan serak, nyaris pecah. Ia melangkah cepat ke sisi ranjang, menunduk, lalu tanpa peduli ada orang lain, ia meraih tangan Reinan dengan erat.
Minji menoleh, sedikit lega. "Pak Yuan, akhirnya datang. Tadi Reinan tiba-tiba pingsan waktu di pantry."
Yuan menelan ludah, jemarinya mengusap pelan punggung tangan Reinan yang dingin. "Kenapa kamu gak bilang ke saya lebih cepat?" tanyanya dengan nada tertahan, bukan marah pada Minji, tapi lebih kepada diri sendiri yang terlambat.
"Dia baru sadar sebentar tadi, tapi masih lemah," jawab Minji hati-hati.
Seolah mendengar suara itu, kelopak mata Reinan perlahan terbuka. Pandangannya kabur, namun segera menangkap wajah Yuan yang begitu dekat, penuh kecemasan.
"Yuan...?" bisiknya lirih.
Yuan langsung mendekat, wajahnya menegang, mata berkaca. "Iya, aku di sini. Reinan kamu kenapa kalo sakit gak bilang aku sih? Kenapa kamu kerja hari ini" suaranya parau, seakan menahan perasaan yang meluap.
Reinan mencoba tersenyum lemah. "Aku cuma... sedikit pusing..."
"Sampai pingsan begitu, itu bukan cuma sedikit, Reinan," potong Yuan, suaranya bergetar. Ia merapikan helaian rambut yang menempel di wajah Reinan, menatapnya seolah takut kehilangan.
Taesung masuk pelan, memberi laporan singkat. "Dokter kantor sudah periksa. Tekanan darahnya agak turun, mungkin kelelahan. Sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lengkap."
Begitu Taesung menyarankan rumah sakit, Yuan langsung berdiri seolah siap menggendong Reinan saat itu juga.
"Aku yang antar sekarang," tegasnya, wajah masih pucat penuh panik.
Namun Reinan buru-buru meraih tangannya, meski tenaganya masih lemah. "Jangan... gak usah sekarang, Yuan," suaranya pelan, hampir berbisik.
"Bagaimana bisa jangan?" Yuan menunduk, menatapnya dengan mata merah. "Kamu baru aja pingsan di depan semua orang! Aku gak peduli apa yang mereka pikirkan yang penting kamu aman."
Reinan menggeleng pelan, matanya memohon. "Justru itu... aku gak mau semua orang di kantor tahu. Kalau kamu tiba-tiba keluar rapat dan mengantarku, semua akan curiga. Aku gak mau jadi bahan gosip"
"Reinan..." nada suara Yuan lirih, bercampur frustrasi. Ia mengusap wajahnya, lalu menunduk kembali, menatap dalam ke mata Reinan. "Aku gak akan tenang sebelum liat kamu diperiksa dokter"
"Aku janji akan pergi ke rumah sakit," ucap Reinan mantap, meski bibirnya masih pucat. "Tapi tolong... biarkan aku pulang dulu. Aku gak mau jadi pusat perhatian."
Suasana hening sejenak, hanya terdengar napas berat Yuan yang menahan diri. Ia ingin membantah, tapi tatapan bersikeras Reinan membuatnya goyah.
Minji yang dari tadi ikut menahan napas akhirnya angkat bicara, "Gimana kalo Taesung yang antar. Orang-orang gak akan berpikir aneh kalau Taesung yang keluar bersama Reinan."
Yuan mengepalkan tangannya begitu keras sampai buku jarinya memutih. Jelas sekali ia sedang menahan dorongan hatinya. Setelah beberapa detik, ia menarik napas panjang, lalu mengangguk berat.
"Baiklah... tapi hanya kalau Taesung yang antar," ucapnya dengan nada penuh tekanan, seolah memberi ultimatum. "Dan setelah itu, kamu harus kabari aku. Setiap hasil pemeriksaan, aku harus tahu. Mengerti, Reinan?"
Reinan tersenyum tipis, berusaha menenangkan. "Mengerti. Jangan khawatir terlalu banyak."
Yuan mendekat sekali lagi, menunduk, lalu mengecup keningnya sekilas cepat, tapi penuh kegelisahan. Tatapan matanya masih sulit lepas dari wajah Reinan saat Taesung bersiap membantu menuntunnya keluar.
Begitu pintu ruang kesehatan tertutup, Yuan tetap berdiri terpaku di tempat, tangan masih mengepal, seolah sedang menahan rasa bersalah karena membiarkan orang lain yang menjaga Reinan, bukan dirinya.
Saat Taesung menuntun Reinan keluar dari ruang kesehatan, suasana terasa hening. Yuan masih berdiri dengan rahang mengeras, matanya menatap kosong ke pintu yang baru saja tertutup.
Tanpa ia sadari, di balik pintu ruangan penyimpanan obat yang setengah terbuka, ada sosok yang sejak tadi berdiri diam. Kang Hyeri.
Awalnya ia hanya berniat mengambil vitamin untuk alasan klasik sekalian "tidak sengaja" bertemu Yuan. Namun langkahnya terhenti saat mendengar percakapan yang baru saja terjadi. Ia melihat jelas bagaimana Yuan menunduk cemas di sisi Reinan, bagaimana tangannya gemetar menolak tapi akhirnya pasrah saat Reinan meminta ruang. Bahkan ia sempat menangkap tatapan penuh sayang ketika Yuan mengecup kening gadis itu.
Seketika, dada Hyeri serasa diremas.
'Jadi... ini alasan dia selalu menjaga jarak dariku. Bukan karena sibuk, bukan karena masalah kantor... tapi karena dia sudah punya seseorang.'
Hyeri menggigit bibirnya, menahan emosi.
Namun air matanya tidak jatuh ia terlalu keras untuk itu. Justru di balik senyum tipis yang perlahan muncul, pikirannya mulai berputar cepat.
Kalau memang itu alasannya... maka satu-satunya jalan adalah membuat Yuan menjauh darinya. Membuat mereka berpisah.
Tangannya meraih botol vitamin di rak, tapi genggamannya begitu kencang sampai hampir merusak kotaknya. "Aku tidak akan tinggal diam, Reinan..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.