Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Mantan Menjijikkan
Hari Senin, jangan lupa tiket votenya disumbangkan untuk Dijah dan Bara ya XD
Selamat membaca :*
*************
Dalam perjalanan menuju kembali ke kost-an Dijah, Bara teringat akan ponsel yang dibelinya siang tadi. Paperbag itu sekarang tersimpan di bawah laci meja kerjanya di kantor.
"Jah, kita mampir ke kantorku sebentar ya. Aku mau ngambil sesuatu yang ketinggalan." Bara berbicara saat motornya sudah berbelok ke simpang yang berlawanan menuju tempat kost Dijah.
Dijah mendengar apa yang dikatakan Bara, tapi ia terlalu lelah untuk sekedar mengiyakan saja. Toh, Bara sudah menuju ke sana tanpa perlu menunggu persetujuannya.
Sesaat kemudian motor Bara telah memasuki halaman kantor berita yang tak pernah tidur itu. Bara tak mengarahkan motornya ke tempat parkir. Karena hari sudah malam, Bara langsung menuju lobby pintu masuk dan menghentikan motornya di seberang teras.
"Turun dulu, bisa? Nanti kamu jatuh kalo tetep duduk di boncengan." Bara menoleh ke kiri untuk berbicara pada Dijah, namun wanita itu masih meletakkan dagunya di bahu Bara.
"Hmmm? Bisa..." jawab Dijah yang memang sudah sangat mengantuk. Angin yang menerpanya dalam perjalanan membuat rasa kantuk itu semakin tak tertahan. Dijah merasakan helm Bara yang sedang menoleh menempeli bagian depan helmnya.
"Ngantuk?" tanya Bara menempelkan kepalanya.
"Hmmm.." gumam Dijah.
"Turun sebentar, dari sini langsung pulang. Mau makan apa? Kita beli dulu. Kamu belum makan," tukas Bara.
Dijah mengangkat kepalanya. "Aku ngantuk tapi laper. Laper tapi ngantuk."
"Entar kita beli makan," sahut Bara mengusap tangan Dijah yang masih melingkari pinggangnya.
Bukan sentuhan yang terlalu intens, tapi bagi Dijah itu sangat mesra. Terlebih lagi tadi Bara mengatakan pada Bayu kalau ia adalah pacarnya. Dijah belum pernah mengalami hal seperti itu.
Dengan berpegangan pada tubuh Bara, Dijah melompat turun. Tangannya mencengkeram jaket Bara yang masih terikat di pinggangnya.
"Di sini aja ya, jangan ke mana-mana." Bara kemudian berlari setelah melepaskan helmnya dan merapikan rambutnya sekilas.
Ponsel yang dibelinya tadi harus sampai pada Dijah malam ini. Mengajari Dijah menggunakan ponsel itu bisa membuat waktu berkunjungnya lebih lama.
Tak sampai 15 menit, Bara telah kembali keluar dari pintu lobby kantornya. Ponsel itu telah dikeluarkannya dari kotak dan masuk ke dalam saku celananya. Di tangannya tergenggam sebuah charger yang langsung dicemplungkannya ke dalam tas Dijah yang berada di stang motor.
Waktu hampir menunjukkan tengah malam, dan mereka telah kembali berada di jalan menuju kediaman Dijah.
Bara berencana membeli sesuatu untuk Dijah karena memang wanita itu pasti belum makan malam. Dua bungkus nasi goreng menjelang tengah malam di dalam kost-kostan tampaknya bakal menjadi momen romantis, pikir Bara.
"Mau makan apa?" tanya Bara saat mereka berhenti di lampu merah. Sudah hampir tengah malam namun jalanan masih ramai mengingat itu adalah Jumat malam.
Besok pekerja kantoran bakal libur dan orang-orang yang berpisah dengan keluarganya selama lima hari karena jarak, biasanya akan kembali ke rumah di Jumat malam.
"Aku makan apa aja mau. Nggak masalah. Kalau nggak beli, aku juga bisa masak mi. Yang dikasi kemarin juga belum dibuka," tukas Dijah. Ia membuka kaca helm bening agar suaranya bisa didengar Bara.
Bara menoleh ke kiri dan sedikit menelengkan kepalanya agar helm mereka beradu pelan. Momen yang manis sekali pikir Bara. Kenapa dia baru menyadari sekarang, kalau membawa wanita yang disukainya ke mana-mana akan seindah itu rasanya.
Bara kembali menepuk-nepuk punggung tangan Dijah yang kembali melingkar erat di pinggangnya. Saat menoleh kembali ke kiri, Bara merasakan bahwa mereka sedang diawasi oleh pengemudi mobil yang berada di sebelah kiri mereka.
Kaca mobil itu terbuka setengah, dan mata pengemudi itu terus menerus menatap Dijah. Bara seperti pernah melihat pria yang sepertinya sedang mengamati Dijah dengan teliti.
Bara pun melakukan hal yang serupa, ia tengah meneliti wajah dan mata pria yang tengah khusyuk memperhatikan Dijah. Pria berumur 30-an dengan rambut ikal yang sedikit panjang. Mata pria itu... Bara merasa pernah melihatnya.
Ketika satu ingatan telah muncul di kepalanya, Bara terbelalak. Itu Suami Dijah. Fredy sedang berusaha mengenali wajah mantan isterinya yang sedikit berbeda dan berada di balik helm.
Bara langsung menurunkan kaca helmnya, dan seketika melakukan kendaraan sebegitu lampu berganti merah warna.
Entah karena rasa penasaran atau memang sudah berhasil mengenali Dijah, mobil itu sepertinya langsung menambah kecepatan untuk menyusul mereka.
"Pelan-pelan aja," teriak Dijah dari belakang.
Bara tak sempat menjawab. Ia hanya konsentrasi dengan jalanan di depannya. Menyalip puluhan mobil dan motor untuk segera tiba di depan dan mengaburkan tujuan mereka dari mata penasaran Fredy.
Bara menoleh ke kaca spion berkali-kali untuk memastikan bahwa Fredy tak lagi melihat ke mana mereka pergi. Setelah berputar beberapa kali untuk melihat keadaan, Bara kemudian masuk ke jalanan yang menuju gang kost-kostan.
Keinginannya membeli makanan menguap. Bara tak takut pada Fredy. Kalau berhadapan satu lawan satu, Bara bisa memastikan dia bisa memenangkan duel itu. Tapi pikiran logis Bara mengatakan kalau Fredy tak sendirian di mobil minibus itu.
Membayangkan Dijah, seorang wanita yang tak sanggup membalas tapi bisa babak belur di tangan Fredy jelas membuat Bara geram. Belum mengenal Dijah secara dekat saja ia sudah geram, apalagi keadaannya seperti sekarang.
"Kenapa? Kok tiba-tiba ngebut?" tanya Dijah saat turun dari boncengan dan membuka helmnya.
"Nggak apa-apa," jawab Bara melepaskan helmnya. Dahinya masih mengernyit memikirkan Fredy barusan.
Dijah masih berdiri memandang Bara.
"Kenapa?" tanya Dijah lagi. Bara tak ceria seperti tadi. Pria itu seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Nggak apa-apa, emang nggak apa-apa. Jadi makannya gimana? Aku lupa mampir untuk beli," ujar Bara.
"Ya udah, aku masak sebentar nggak apa-apa. Masuk dulu." Dijah menarik ujung lengan kemeja Bara. Bukan tangannya.
Bara menuruni motornya sambil mengamati pintu kamar Tini yang tertutup rapat. Di manakah si rambut api itu? Setelah Fredy, Tini masuk dalam daftar yang membuatnya was-was.
"Aku mandi dulu ya, gerah." Dijah mengambil tasnya dari tangan Bara dan langsung menuju lemari untuk mencantolkannya di pegangan pintunya.
"Aku masuk emang boleh?" tanya Bara dengan bodohnya. Padahal sudah sejak kemarin ia masuk ke kamar itu. Tapi membayangkan ucapan Dijah yang mengatakan akan mandi, Bara langsung membayangkan kalau wanita itu akan bertelanjang ria di depannya untuk mengganti pakaian.
"Ya masuk aja, kemarin diusir pulang juga tetep di sini. Hari ini nanya boleh masuk atau enggak." Dijah membuka lemari dan mengambil pakaian bersih dan sepasang pakaian dalamnya.
Bara mengeluarkan dua ponsel yang sejak tadi dikantonginya dan mencampakkannya ke atas ranjang. Sudut matanya memperhatikan Dijah yang tengah menjepit pakaian gantinya di lengan dan bergegas melewatinya menuju ke luar.
Ganti di kamar mandi rupanya, pikir Bara. Ia memarahi dirinya sendiri yang sekarang tampaknya susah berpikir normal sejak adegan gerilyanya di dada Dijah.
"Pintunya tutup aja," ujar Dijah pada Bara. "Aku nggak lama, nggak keramas. Dingin," tambah Dijah.
Bara mengangguk dan menutup pintu kamar wanita itu. Masih memikirkan soal Fredy sekilas tadi, Bara meraih ponselnya dan membuka pesan masuk.
Pesan Joana terlihat paling atas. Ada 35 pesan yang belum dibaca. Bara melewatinya dan langsung mencari nama yang dirasanya paling penting. Mas Heru. Direksi sekaligus kakak sepupunya itu mengirimkan pesan penting.
'Minggu depan ada konferensi di Belanda. Temenin gue ke sana ya. Lo sekalian ngeliput aja. Buat nambah pengalaman Lo. Seminggu aja di sana. Harus mau Lo!'
Seminggu ke Belanda. Di saat-saat dia sedang butuh kepastian akan rasa penasaran dan gejolak darah perjakanya, dia harus meninggalkan wanita yang baru dikencaninya selama seminggu. Ditolak pun tak mungkin. Bara kemudian langsung mengetikkan jawaban, 'Oke.'
Pesan-pesan lain hanya dibaca Bara sekilas dan menjawab seperlunya. Sedangkan pesan Joana, ia hanya tertegun memandangnya. Joana mengatakan, 'Bara... Besok aku ke rumah untuk ketemu Ibu kamu. Boleh nggak?'
Bara tak mengacuhkannya. Ia mengambil ponsel yang tadi dibelinya untuk Dijah dan menyalakannya. Dijah tak boleh tahu kalau itu adalah ponsel baru. Wanita seperti Dijah menganggap semua pemberian harus jelas alasannya. Jika tidak, ia merasa semua pemberian itu harus dibalas. Dijah tak terbiasa menerima kebaikan dari orang lain.
"Woi Jah... Baru selesai mandi? Ini ada motor Mas-mu. Pasti dia di dalem ya?" Suara Tini yang baru pulang menyapa Dijah yang baru saja keluar dari kamar mandi belakang.
Bara menajamkan pendengarannya. Ia ingin mengetahui apa lagi yang dikatakan si rambut api itu soal dia.
"Baru pulang?" tanya Dijah pada temannya.
"Ia, capek. Mana Mas-ku ngambek. Awalnya aku yang ngambek, minta diturunin di jalan. Eh taunya malah bener diturunin. Asem! Aku jadi naik ojek. Laki-laki biadab dia emang," tukas Tini. Bara meringis di balik pintu.
"Mas-mu ngapain?" tanya Tini.
"Tidur mungkin," jawab Dijah.
"Udah mandi yang bersih? Sela lipatan kakimu juga digosok Jah biar kilap. Biar Mas-mu silau waktu buka kakimu," ujar Tini tertawa kemudian memasukkan kunci ke lubangnya.
"Pikiranmu itu Tin, bener-bener harus dibersihkan."
"Udah masuk sana, Mas-mu itu ngarepnya kamu ganti baju di kamar aja loh Jah. Di depan dia, kamu kok malah bawa baju ganti ke kamar mandi. Mas-mu itu belum pernah liat perempuan telanjang pastinya. Makanya dia penasaran. Nggak percaya aku? Tanya aja sama Mas-mu. Ucapan Tini montok yang pengalaman nggak diragukan kebenarannya," sambung Tini kemudian masuk ke kamarnya.
"Gendeng!" sahut Dijah kemudian.
Dasar Tini brengsek pikir Bara. Wanita itu benar-benar mengesalkan. Semua yang diucapkannya benar. Dan Bara kesal karena Tini memang benar.
Dijah membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Kemudian ia memutar anak kunci dan langsung melihat Bara yang sedang menatapnya.
"Pasti denger omongan Tini barusan makanya muka kamu jadi gitu," tukas Dijah pada Bara yang memang sedang merona.
"Iya..." sahut Bara. "Jah!" Bara menarik tangan Dijah sampai wanita itu menunduk di depannya.
"Apa?"
"Tini bener, kamu harusnya ganti baju di kamar. Bukannya malah bawa baju ganti ke kamar mandi."
"Jadi?"
"Aku kan emang belum pernah ngeliat," ucap Bara pelan. Bara menarik Dijah sampai wanita itu berlutut di depannya. Ia langsung menekankan bibirnya untuk merasakan sensasi dingin dan segar pasta gigi yang baru saja digunakan Dijah saat mandi.
Dijah mendongak memejamkan matanya. Ia berada di antara kedua kaki Bara yang sedang duduk di tepi ranjang pendek dan mengunci tubuhnya.
Ciuman Bara saja sudah enak sekali pikir Dijah. Kedua tangannya kini sudah mencengkram erat bagian depan kemeja Bara. Entah bagaimana hubungannya nanti bersama pria ini, tapi untuk sekarang Dijah hanya ingin menikmati kehangatan yang ditawarkan Bara padanya.
To Be Continued.....