Mess Up!
Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.
Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 9 Kencan Pertama!
”Jadi, kemana kamu ingin pergi, Lya?” tanya Ben sambil matanya fokus melihat ke jalanan, sedang menyetir tanpa tujuan setelah mengajak Lya melewatkan perkuliahan hari ini. Lya diam sejenak, berpikir menghadap luar jendela.
”Bagaimana kalau menonton film?’ tanya Lya segera mendapat anggukan setuju dari Ben.
”Boleh! Apa ada hal yang ingin kamu tonton?”tanya Ben lagi.
Lya meraih ponselnya, menatap sendu layar kecil itu sebelum akhirnya membuka suara. “Serial ini sudah menayangkan season baru. Aku ingin menontonnya,” ucapnya pelan.
Ben hanya mengangguk sekali. Ia tidak perlu tahu film apa yang akan ditonton—apa pun pilihan Lya, ia akan menuruti. Baginya, yang terpenting adalah membuat kencan pertama ini menjadi pelipur untuk perempuan itu. Ben berharap Lya bisa sejenak melupakan beban yang menindihnya sejak pagi tadi, juga menghapus bayangan manusia brengsek bernama Leo yang telah membuat mata Lya bengkak karena tangis.
Mobil pun melaju tenang menuju tujuan. Di kota tempat mereka merantau, terdapat cukup banyak bioskop tersebar. Namun Ben memilih bioskop terjauh yang berada di pusat perbelanjaan terbesar di pinggir kota—yang memiliki banyak hal untuk dilihat. Untungnya jalanan sedang tidak dalam kondisi macet sehingga mereka dapat tiba dengan cepat, yaitu sekitar 30 menit.
Sesampainya di parkiran pusat perbelanjaan, keduanya tidak langsung turun dari mobil. Lya menatap ke luar jendela, teringat betapa sulitnya ia berjalan saat membukakan pintu untuk Ben di apartemen Leo. Rasa nyeri di kakinya masih belum hilang sepenuhnya.
“Tunggu sebentar, Lya.” Ben lebih dulu turun sebelum gadis itu sempat berkata apa pun. Ia membuka bagasi, lalu mengeluarkan sebuah tongkat jalan yang tampak masih terawat. Dengan langkah cepat, ia menghampiri sisi Lya dan membukakan pintu.
“Ini dulu milikku. Aku pernah patah tulang gara-gara jatuh dari pohon. Untung masih kusimpan sampai sekarang,” jelas Ben dengan senyum kecil. Lya menahan tawa, matanya berkilat geli.
“Terima kasih, Ben.”
Dengan hati-hati, ia mencoba berdiri. Ben menopang tubuhnya sambil memandu bagaimana cara menggunakan tongkat. Lya sempat goyah, namun akhirnya bisa menyesuaikan diri.
“Apa terasa tidak nyaman?” tanya Ben penuh cemas. Lya menggeleng pelan sambil tersenyum, Ben pun merasa lega setelahnya.
Mereka akhirnya berjalan memasuki pusat perbelanjaan dengan langkah pelan. Ben sengaja menyesuaikan iramanya dengan Lya yang masih harus bertumpu pada tongkat. Sesekali, tangannya terulur ringan ke punggung Lya, memastikan gadis itu tidak kehilangan keseimbangan.
Setibanya di lantai bioskop, Ben segera membeli dua tiket film pilihan Lya. Jadwal tayang masih satu jam lagi, membuat mereka punya sedikit waktu sebelum masuk ke studio.
”Apa ada yang kau ingingkan? Aku akan membelikannya untukmu.” Ben masih dengan cekatan memperhatikan Lya.
Lya terdiam, pikirannya melayang entah ke mana sementara tatapannya kosong. Ben tidak mendesak, hanya duduk sabar di sisinya. Beberapa menit berlalu sampai akhirnya mata Lya menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya. Pandangannya terhenti pada area mesin capit di luar ruang bioskop—berkilau terang dengan beragam hadiah di balik kaca. Ia tidak langsung mengutarakan keinginannya, namun Ben segera menyadari arah mata Lya dan ikut menoleh, menatap mesin capit itu bersama-sama.
”Kamu mau kuambilkan sesuatu dari mesin itu?” tanya Ben membuyarkan lamunan sesaat Lya.
”Aku mau,” jawab Lya tanpa ragu sambil mengangguk sekali.
Ben tersenyum, lalu bangkit dari kursinya. Tangannya sempat mengusap lembut surai Lya sebelum ia menunduk sedikit, berbicara dengan nada penuh semangat.
“Tunggu di sini sebentar, ya. Akan kutangkapkan banyak boneka untukmu, Lya!” ucap Ben penuh semangat. Ia melangkah ringan menuju mesin capit, meninggalkan Lya yang menatapnya dengan campuran tak percaya sekaligus hangat. Sorot lampu permainan itu berkilau di matanya, seakan menariknya perlahan ke dalam kenangan lama.
Detik itu, kesadarannya jatuh pada memori indah yang pernah ada—tentang tiga teman masa kecil yang begitu akrab. Tiga anak yang selalu saling ada di tengah kerasnya tuntutan keluarga.
“Akan kutangkapkan boneka itu untukmu, Lya!”
Suara lain, bukan milik Ben, bergema di kepalanya—suara dari masa lalu yang kini terasa begitu dekat, suara dari seorang perempuan.
Sosok perempuan yang melintas samar di memorinya memiliki surai hitam panjang, selalu dibiarkan tergerai. Ada kesan anggun dalam setiap geraknya, meski hanya dibalut pakaian sederhana berwarna putih yang seakan menjadi ciri khasnya. Itulah kakak yang begitu dikaguminya—perempuan yang tak hanya jadi pelindung, tapi juga sahabat dan panutannya.
Di samping mereka, Leo berdiri dengan wajah bersemangat. Tangannya sibuk mengacungkan koin, menunggu giliran, matanya berbinar penuh percaya diri. ”Kalau begitu, boneka untukmu, aku yang akan mengambilkannya, Anna.” Leo dengan wajahnya yang tampak cerah penuh cinta menatap lurus pada Anna yang ikut merekahkan senyum.
Leo dan Anna adalah teman sepermainan jauh sebelum Lya lahir. Sejak dulu keduanya selalu menempel, tidak terpisahkan, seperti saudara sedarah di mata orang lain. Akan tetapi kenyataannya tidak begitu. Hubungan mereka ditempa bukan oleh ikatan darah, melainkan oleh waktu panjang yang dihabiskan bersama, serta posisi yang sama di dalam keluarga masing-masing.
Keduanya tumbuh di tengah harapan orangtua yang keras—didorong untuk menjadi anak yang selalu sempurna, selalu menuruti kehendak, tanpa banyak ruang untuk berbuat salah. Dalam tekanan itu, Leo dan Anna menemukan pelarian satu sama lain. Mereka berbagi rahasia kecil, keluhan, bahkan mimpi yang tak pernah bisa diucapkan di depan orangtua mereka. Seiring waktu, kebersamaan itu menumbuhkan ikatan yang jauh lebih kuat dari sekadar persahabatan biasa.
Ketika Lya lahir, lingkaran kecil itu tidak pernah tertutup. Justru sebaliknya, Anna yang beranjak menjadi kakak segera merangkul adiknya ke dalam kebersamaan itu, sementara Leo—dengan sifat hangatnya—menerima kehadiran Lya seperti bagian keluarga sendiri. Sejak itulah Lya tumbuh dalam pelukan dua sosok yang selalu melindunginya. Anna dengan kelembutan dan ketegasannya, Leo dengan keceriaan yang tak pernah padam. Bersama-sama, mereka membentuk dunia kecil yang membuat kerasnya tuntutan keluarga terasa lebih ringan—
”Aku mendapatkan yang lucu, Lya. Ini, mirip denganmu.”
Itu adalah Ben, yang kini berada di hadapannya—berlutut, mensejajarkan tinggi mereka—dengan sebuah boneka kelinci putih di tangan. Lelaki itu mengulurkannya, lalu mengetuk pelan hidung Lya dengan hidung boneka seakan menggoda. Sentuhan ringan itu cukup untuk meretakkan bayangan masa lalu yang sempat menyelubungi pikirannya, membawanya kembali pada kenyataan masa kini.
Lya terdiam sesaat. Hatinya masih setengah terikat pada memori indah yang tadi hadir begitu nyata, namun sorot mata Ben yang hangat membuatnya tak ingin larut terlalu lama. Ia berkedip beberapa kali, menarik napas perlahan, lalu tersenyum—senyum yang tulus, yang seolah menyembunyikan riak kecil di dalam dadanya.
“Untukmu,” ucap Ben ringan, dengan kebanggaan kecil di wajahnya.
Lya menerima boneka itu dengan kedua tangan. “Terima kasih,” balasnya lembut, senyum hangat terukir di bibirnya. Jika ia ingat, Kakaknya Anna pada akhirnya tidak pernah dapat mengambilkan satu pun boneka sehingga Leo yang harus mendapatkan dua boneka untuk kedua bersaudara itu.
”Mau kuambilkan yang lain?” tanya Ben segera mendapat gelengan kepala.
”Kurasa ini sudah cukup,” jawab Lya jujur, ia sudah merasa sangat puas hanya dengan boneka kelinci putih yang kecil namun lembut itu.
”Tapi aku sudah bilang akan mengambilkan banyak untukmu...” Ben cemberut, rautnya dengan mudah mengekspresikan kekecewaaan sehingga membuat Lya terkekeh.
Gadis itu tidak tahan untuk tidak mengusap lembut surai Ben. “Ini, akan kujaga dengan baik,” ucapnya sambil menempelkan boneka itu di pipinya.
Lya memang selalu tampak manis di mata Ben, namun senyum kali ini—tidak lebar, tapi penuh ketulusan—membuatnya tersipu, seakan kembali jatuh cinta. “Hahaha, kau tak perlu sampai begitu,” ucap Ben, menyentuh kepalanya sendiri, tempat jemari Lya tadi singgah, salah tingkah dibuatnya.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita habiskan waktu dengan duduk santai saja di sini, kau bisa ceritakan lebih banyak tentangmu, Ben.” ucap Lya lembut. Secara alami tangannya terulur, segera diraih oleh Ben. Tidak cukup dengan sentuhan biasa, perempuan itu pun menyelipkan jemari mereka, lalu memberi kecupan singkat—hangat dan sederhana, namun cukup membuat hati Ben bergetar.
“Hahhh, kadang aku jadi ragu kalau aku pacar pertamamu, Lya... Kau seperti sudah ahli saja,” seloroh Ben, membuat Lya terkekeh kecil.
***
Satu jam berlalu begitu cepat. Meski Ben berusaha mengajaknya mengobrol, nyatanya tidak banyak percakapan yang benar-benar dua arah. Lya lebih banyak terdiam, hanya menyimak sambil menyandarkan pundaknya pada Ben. Ia membiarkan lelaki itu bercerita dengan semangat tentang kisah-kisah masa lalu—tentang bagaimana perasaan Ben tumbuh begitu besar terhadap Lya.
Begitu suara himbauan dari bioskop terdengar, Ben segera menuntun Lya memasuki studio. Mereka duduk dengan nyaman di kursi yang telah ia pilihkan sebelumnya—posisi strategis yang tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Ben memastikan Lya bisa meregangkan kakinya sedikit, sebelum akhirnya mereka tenggelam dalam suasana remang studio.
”Film ini... sudah lama ya? Kurasa season sebelumnya sudah tayang sejak kita duduk di bangku SMP?”
Basa-basi Ben hanya dibalas dengan anggukan singkat dari Lya. Di ruang yang perlahan gelap, tatapannya pun ikut meredup tanpa disadari Ben. Dua iris hitam itu menempel pada layar lebar, seolah enggan berpaling
Namun yang ia lihat bukan hanya film yang berputar, melainkan potongan kenangan. Ia kembali pada masa ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, di kursi bioskop bersama Anna dan Leo, menyaksikan season perdana film yang sama. Sebuah film fantasi megah yang kala itu menyalakan mimpi Anna—mimpi untuk kelak menjadi seorang sutradara.
”Aku juga ingin bisa membuat film seperti itu,” ungkap Anna pada Leo dan Lya yang tengah menikmati makan siang mereka.
”Lakukanlah. Kau bisa mengambil kuliah perfilman setelah menyelesaikan yang ini,” dukung Leo. Tangannya sibuk mengelap pipi Lya yang belepotan es krim sebelum kemudian meraih sisi bibir Anna yang juga telah ditempeli nasi.
Anna termenung lesu. Ia menghela nafas panjang. Sendok makannya kini ia mainkan tanpa menyendok sebutir nasi. Leo sebagai kekasih dan teman kecil sangat tahu perkuliahan telah banyak menguras tenaga Anna, apalagi jurusan yang kini dimasuki Anna bukanlah pilihannya melainkan pilihan Ayahnya. Dan kini, Anna mengalami sedikit hambatan dalam mengerjakan penelitian kelulusannya, membuat Ayahnya semakin menekannya.
”Leo hebat, ya... kau akan wisuda bulan depan, kan?” tanya Anna sejurus kemudian.
Leo semula hanya diam. Perlahan ia bergeser, meninggalkan kursi di depan Anna dan kini duduk tepat di sampingnya. Kedua tangannya terulur, mengapit lembut pipi kekasihnya itu. Lalu, tanpa kata, ia mendekat, mempertemukan kening mereka dalam keheningan penuh makna.
“Aku akan membantumu, Anna. Apapun itu, serahkan semua padaku. Kau hanya perlu bersandar padaku,” kata Leo dengan mantap. Ucapannya begitu serius dan meyakinkan sehingga Anna menarik napas panjang, lalu tersenyum lega.
“Aku mohon bantuannya, Leo.”
Lya teringat hari itu—sebuah hari yang seakan menegaskan bahwa mereka memang ditakdirkan bersama. Cinta di antara Leo dan Anna begitu tulus: Leo selalu menatap Anna tanpa ragu, siap menghadapi semua beban bersamanya. Di hadapan Leo, Anna tak lagi perlu berpura-pura kuat; ia melunak, tak lagi memaksakan diri. Bila memungkinkan, Anna juga selalu berusaha membalas: memberi semangat, menenangkan dengan ketukan kening yang sederhana namun penuh arti.
Pertemuan kening itu seakan menjadi mantra rahasia di antara mereka bertiga setiap kali gelisah melanda. Hanya dengan menyatukan kening, keajaiban kecil terjadi—hati yang bergejolak mendadak tenang, seolah diingatkan bahwa masih ada seseorang untuk dijadikan sandaran.
Lya pun kerap menerima ketukan kening dari Anna sejak Ayah mereka mulai semakin keras terhadap putri keduanya itu. Tuntutan agar Lya bisa melampaui sang kakak mendorong Anna untuk berbagi ketenangan dengan cara sederhana namun penuh makna itu.
Anna adalah sosok kakak yang baik bagi Lya—terlalu baik, bahkan hingga ia hampir tak pernah menampakkan kemurungan saat hanya berdua dengannya. Ia selalu berusaha tampak kuat, menutupi segala rapuh di balik senyum. Hanya ketika Leo berada di sisinya, topeng itu bisa runtuh, memperlihatkan sisi Anna yang hampir tidak pernah Lya lihat ketika mereka hanya berdua
Lya sebenarnya tahu, kakaknya tidaklah sekuat yang selalu ditunjukkannya. Sebab di antara mereka bertiga, tak ada satu pun yang benar-benar kuat. Dunia kecil itu mereka bentuk bersama—sebuah ruang aman tempat saling menopang dan menguatkan, seperti yang tengah Leo lakukan pada Anna saat ini.
Namun, semua itu telah Lya hancurkan. Keegoisannya meruntuhkan dunia kecil itu, meninggalkan kehampaan tanpa sisa—
“Lya?”
Lamunan itu buyar seketika, disapu cahaya lampu bioskop yang kembali menyala, bersamaan dengan panggilan lembut Ben. Saat kesadarannya pulih, Lya mendapati para penonton sudah bangkit dari kursinya, berbondong menuju pintu keluar. Ia sendiri masih terpaku, terbengong layaknya seseorang yang baru terjaga dari mimpi panjang.
“Apa kamu tidak menikmati filmnya? Aku merasa kau murung sepanjang film.” Wajah Ben ikut meredup, dihantui ketakutan kalau saja Lya tidak bahagia dengan kencan mereka. Padahal, kencan itu sengaja ia atur secara mendadak demi membangkitkan semangat kekasihnya. Yang tidak ia sadari, justru memberi Lya keleluasaan memilih film dan memandu jalan telah mengarahkannya ke jurang sebaliknya.
Lya hanya tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip topeng ketimbang ungkapan bahagia. Hatinya tetap termenung, terperangkap dalam memori-memori masa lalu yang tak kunjung melepaskannya.
Beberapa menit setelah menunggu ruangan bioskop benar-benar sepi, Ben membantu Lya berdiri. Dengan sabar ia menuntun langkah pelan gadis itu hingga akhirnya mereka keluar dari studio. Suara langkah mereka bergema sayup di lorong kosong, tanpa percakapan sedikit pun. Begitu sampai di parkiran, lampu-lampu temaram menyinari deretan mobil yang berjejer rapi. Sesekali terdengar deru mesin lain yang meninggalkan tempat itu, disusul decit ban yang semakin menjauh.
Keheningan tetap menyelimuti hingga mereka masuk kembali ke dalam mobil. Udara di antara mereka terasa berat, seakan dipenuhi kata-kata yang tak terucap. Ben duduk di kursinya dengan perasaan terpojok; ia tidak tahu di mana letak kesalahannya, hanya bisa menebak-nebak dari raut Lya yang jelas sedang tidak bahagia.
Di tengah itu, Lya menyadari kegelisahan Ben. Ia mendengus pelan sambil menampilkan senyum tipis, lalu meraih punggung tangan Ben.
“Hari masih panjang... bisakah kau mengabulkan tempat tujuan yang ingin kutuju selanjutnya?”
“Di mana itu?”
“Agak jauh... tapi dalam perjalanannya, kita bisa menjumpai tepi laut yang indah. Bagaimana?”
Tentu saja, demi Lya, permintaan itu segera Ben kabulkan. Mobilnya melesat tanpa ragu, menempuh perjalanan yang memakan waktu sekitar 1 sampai 2 jam. Hingga akhirnya, hamparan laut tersingkap di hadapan mereka. Angin asin menyapu wajah, sementara cahaya mentari hampir condong ke barat, memantul di permukaan air yang berkilau. Ombak berkejaran ke tepi, seolah menyambut kedatangan mereka.
Mereka turun dari mobil, dan dengan sabar Ben membantu Lya melangkah menuju tepi laut. Gadis itu melepas alas kakinya, lalu menapakkan telapak kaki perlahan di pasir yang dingin. Ombak datang membasahi pergelangan kakinya, sementara tubuhnya dibiarkan diterpa angin kencang tanpa perlawanan.
Dalam diam, Lya melepaskan diri dari Ben, membiarkan dirinya berdiri sendiri di tepi laut itu, semakin maju dan maju hingga tinggi air sudah melewati mata kakinya. Kini Ben berada di belakangnya, terus memandangi perempuan itu. Langit perlahan berubah jingga, membuat Lya seolah ditelan ke dalam cahaya senja. Punggung mungil itu seperti menyimpan seribu kesedihan, meraung tanpa suara, hanya terwakili oleh deru ombak yang terus berdesir.
Entah dorongan apa yang muncul, tangan Ben reflek bergerak kembali meraih tangan Lya kini dengan sangat erat—seakan mencegah gadis itu hanyut bersama arus, menghilang dari genggamannya. Yang terjadi justru Lya menoleh dengan tatapan bingung, baru sadar akan kekuatan genggaman Ben yang lebih kencang.
”Maaf...” ucap Ben ”Kamu seperti akan membiarkan dirimu tenggelam...”
Lya tersenyum getir, lalu perlahan melepaskan genggaman tangan Ben. Ia menunduk susah payah, jemarinya menyapu tumpukan pasir yang dingin, sebelum akhirnya menemukan sebuah cangkang kerang kosong—retak di salah satu sisinya, seakan menyimpan cerita yang tak lagi utuh.
“Dulu Kak Anna dan Leo sering kemari berdua. Mereka akan meminta sopir pribadi Leo mengantar, lalu di sini… mereka bisa berlari sejenak dari kenyataan bersama,” ucap Lya, akhirnya membuka suara.
“Kak… Anna?” Ben mengulang pelan, nama asing itu menggantung di udara.
“Dia kakak perempuanku… dan juga kekasih Leo,” jawab Lya tenang, meski matanya tak beranjak dari laut.
Ben terdiam, menelan ludah. “Lalu… di mana dia sekarang…?” Pertanyaan itu meluncur lirih, bukan karena ingin tahu, melainkan karena tak tahu bagaimana harus merespons. Dalam hatinya, ia bahkan sudah bisa menebak jawaban—meski tak sanggup benar-benar mendengarnya dari bibir Lya.
”Ben ingin tahu?” Ben mengangguk mantap.
Lya menatap kerang retak di tangannya, lalu melemparkannya kembali ke laut. Ombak datang, menelan benda itu tanpa sisa—seperti kebahagiaan dalam dunia kecil yang pernah ada. Satu keegoisan cukup untuk mematahkan segalanya, mengikis mimpi, dan merenggut cinta pertama yang tidak akan pernah bisa kembali.
.
.
.
To Be Continue
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
✿⚈‿‿⚈✿
Tapi... Dahlah bodoamat🗿