Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Waktu baik sepertinya belum memihak pada hubungan Siti dan Gio. Justru Siti semakin terpuruk dengan peristiwa itu setelah Dokter menyatakan Siti telah berbadan dua.
Mereka yang sama-sama masih tertatih membangun kembali hubungan supaya berjalan normal kini harus terseok badai kenyataan. Lebih menyakitkan dari apapun juga.
Kehamilan yang seharusnya membawa kebahagiaan kini justru membawa malapetaka untuk hubungan Siti dan Gio. Setelah satu bulan dari peristiwa itu, Gio belum ada lagi menyebutnya.
Sudah bisa dipastikan jika itu adalah anak Teo.
Siti jatuh pingsan untuk yang ketiga kalinya setelah dinyatakan hamil. Kehamilan yang sangat menguras air mata, emosi, tenaga, hati dan pikirannya.
Gio pun tidak terlihat menemani Siti, dia tidak cukup kuat dan siap untuk menerima kenyataan kalau istrinya hamil anak pria lain.
Siti menoleh ke arah pintu yang terbuka, dia sangat ingin ditemani suaminya tapi dia mendapati Teo berjalan ke arahnya. Entah kenapa pria itu terlihat baik. Namun Siti sangat membencinya.
"Aku akan bertanggung jawab kalau Gio tidak menginginkanmu lagi. Sekarang ada anakku di dalam rahimmu."
Ya, Teo mengetahui kehamilan Siti saat tidak sengaja melihat Gio membawa Siti yang pingsan. Dia mendengar Dokter yang memberikan obat yang aman untuk wanita hamil. Dia sangat yakin kalau itu anaknya karena dia menjadi orang yang pertama yang menyentuh Siti, bahkan sampai tiga kali. Sudah bisa dipastikan kalau itu adalah anaknya.
Jelas saja Teo sangat bahagia, jelas ini kemenangan terbesar dalam hidupnya.
Siti terdiam walau tangannya mengepal kuat. Sudah seharusnya pria seperti Teo tidak pernah ada dimuka bumi ini. Karena pria itu telah menghancurkan semuanya.
"Tidak akan! Bermimpi saja sana! Ini anaknya Mas Gio!." Setiap kalimatnya mengandung penekan. Amarah dan benci tersirat dari nada suaranya Siti.
"Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan anak kita." Teo meletakkan kartu ATM yang dikeluarkannya dari dalam dompet.
"Aku tidak sudi!," Siti membuangnya asal.
"Pergi dari sini!," lalu Siti mengusirnya.
"Baik, aku akan menunggumu di luar." Teo segera keluar dan duduk di bangku yang ada di depan ruangan.
Baru juga Teo duduk di bangku, Gio sudah berdiri di hadapannya.
"Aku berharapnya kamu mati tak tertolong waktu aku pukuli."
Teo tersenyum meremahkan. "Tapi sayangnya aku masih hidup dan kabar baiknya Siti sedang mengandung anakku."
Rahang Gio mengeras, harga dirinya sangat terluka. Tangan yang mengepal diam tak berdaya karena dia masih memikirkan kesehatan Siti yang masih syok atas kehamilannya.
"Aku siap bertanggung jawab kalau kamu melepas Siti." Sambung Teo.
Gio yang tidak mau semakin terpancing emosinya langsung memasuki ruangan Siti. Siti menatap jendela dengan mata yang basah.
"Apa kita masih bisa bertahan? Mempertahankan yang sudah hancur." Siti melihat Gio dari kaca jendela.
"Apa harus kita menyerah? Menyerah pada keadaan yang membuat kita sangat lemah."
"Semua yang kita perjuangkan sirna tersapu ombak. Hilang tanpa jejak." Siti terisak.
"Kita masih bisa berjuang kalau masih ada kemauan. Tapi aku tidak memaksa kalau kamu menyerah pada keadaan ini." Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Gio. Pria itu tidak mau memperburuk hubungan mereka.
Siti semakin terisak. Lepas atau tetap berada di sisi Gio sama-sama sangat menyakitkan baginya.
"Dokter belum mengizinkanmu pulang, harus transfusi darah terlebih dahulu." Gio mengubah topik pembicaraan. Sebisa mungkin dia menyembunyikan kesakitannya karena di sini Siti yang lebih tersakiti.
Siti dan Gio sama-sama belum ada yang memejamkan mata. Padahal waktu saat ini sudah menujukkan pukul 00.30 wib. Tidak ada obrolan, hanya Keheningan. Kedua orang itu terlihat seperti orang asing.
Mata keduanya bertemu, tak ada yang menghindari. Mereka sangat lelah selalu harus dihadapkan dengan perasaan. Jika ujian, cobaannya dalam bentuk materi. Mereka bisa bekerja keras banting tulang untuk memenuhinya. Tapi ini perasaan, bagaimana?.
Tak ada satu pun yang bisa bersikap dewasa menghadapi masalah ini pelik perasaan ini. Hingga semakin memperparah hubungan mereka.
"Apa mungkin anak yang aku kandung sekarang adalah anakmu?. Anak yang hadir karena cinta kasih, keikhlasan dan sukarela."
Gio bungkam, menutup rapat mulutnya. Dia sangat ingin percaya tapi dia belum ada menyentuh lagi Siti setelah disentuh Teo. Berarti anak itu bukan miliknya.
Siti menghapus air matanya.
"Atau kamu percaya ini anaknya pria itu?."
Gio pun masih bungkam. Tidak mau melukai Siti dengan jawabannya. Tapi diamnya Gio sudah menjelaskan semuanya. Siti pun sudah tahu harus menentukan sikap setelah keluar dari rumah sakit.
Kembali hening, sampai pagi tak ada lagi yang bicara namun keduanya tetap terjaga.
Siti dan Gio sudah tiba di kontrakan, keduanya berusaha bersikap biasa saja meski belum ada yang membuka obrolan.
Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan saat ini hanya duduk diam saling berhadapan. Gio memainkan kancing kemeja yang paling bawah guna menenangkan perasaannya yang terus berkecamuk.
Wajah lelah keduanya tampak begitu nyata. Memang tidak pernah mudah jika berhadapan dengan perasaan.
"Ini hanya menurutku saja, apa tidak lebih baik kita tinggal terpisah dulu."
Kancing kemeja yang dimainkan Gio terpental jauh, air mata Gio langsung menetes. Tapi mulutnya rapat terkunci.
Siti menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Memberikan ruang dan waktu untuk perasaan kita masing-masing. Aku takut keadaan kita akan semakin buruk jika berada dalam atap yang sama. Apapun nanti hasil akhirnya hubungan kita ini, itu sudah yang terbaik bagi kita berdua."
Tak ada kata iya atau tidak yang keluar terucap dari mulut Gio. Dia pasrah karena dia pun tidak tahu pasti apa yang diinginkannya. Kemudian Gio mengambil beberapa potong pakaian, dia akan tinggal di tempat kerjanya. Lumayan cukup jauh jarak keduanya.
"Jaga dirimu baik-baik," kalimat yang terucap sebelum Gio keluar dari kontrakan.
Siti meraba perutnya yang sudah terasa perbedaannya. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia meyakini kalau ini anak Gio. Tapi kenyataan menamparnya keras, bisa juga itu memang anaknya Teo.
Siapa pun Ayah dari anak yang saat ini dikandungnya, dia akan menyayanginya sepenuh hati. Dia sadar keberadaannya sudah pasti tertulis dalam takdirnya.
"Aku harus lebih kuat untuk bisa menjagamu dan kamu harus membantuku baik-baik di dalam sana." Air matanya menetes. Menangis terisak sambil mengucap astagfirullah. Hanya dengan beristigfar hatinya menjadi tenang dan pikiran kalutnya sedikit terbuka untuk menerima.
Tiba-tiba saja dia teringat Asih setelah malam itu. Karena terlalu fokus pada kesedihannya sampai dia lupa tentang Asih. Siapa tahu Asih tahu sesuatu mengenai peristiwa itu. Dan kenapa juga Asih tidak pernah terlihat lagi.
Siti sudah berada di depan rumah Asih tapi penghuninya orang baru yang belum pernah dilihatnya. Mereka pun tidak tahu pemilik lamanya karena rumah itu sudah dijual keluarga Asih.
Siti menghubungi kantor dan Asih sudah tidak bekerja lagi di sana.
"Ke mana perginya?."
Siti hamil anak Gio
saat kejadian malam kelam yg lalu,AQ yakin bahwa yg tidur dgn Teo bukanlah Siti melainkan Asih
tetap semangat berkarya kak 💪💪🙏🙏
semoga asih n teo dpt karma yg lebih kejam dari perbuatan nya pada siti