"Setelah bertahun-tahun diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh keluarganya sendiri, senja Aurelie Wijaya anak kandung yang terlupakan memutuskan untuk bangkit dan mengambil alih kendali atas hidupnya. Dengan tekad dan semangat yang membara, dia mulai membangun dirinya sendiri dan membuktikan nilai dirinya.
Namun, perjalanan menuju kebangkitan tidaklah mudah. Dia harus menghadapi tantangan dan rintangan yang berat, termasuk perlawanan dari keluarganya sendiri. Apakah dia mampu mengatasi semua itu dan mencapai tujuannya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ariyanteekk09, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 13
Caca menggigit bibir bawahnya, air mata mengancam untuk tumpah. "Papi tahu nggak, Mami sama Kakak-Kakak cuek banget sama Caca hari ini. Mereka lebih milih kumpul sama Eyang Mommy dan Senja daripada Caca," adu Caca pada Rudy, suara lirihnya bergetar.
Rudy mengusap lembut rambut putrinya. "Masih sih, Sayang?" tanyanya lembut, berusaha meredakan kesedihan Caca.
"Iya, Papi. Tadi sore aja Caca didorong sama Senja, Mami juga lihat, tapi Caca nggak dibantu, malah Mami ngajak Senja masuk rumah," isak Caca. Air matanya akhirnya jatuh membasahi pipinya. "Caca nggak papa kok, Pi. Caca cuma sakit hati sama Senja, karena sekarang Mami dan yang lain udah berpihak ke dia dan ngelupain Caca."
Rudy memeluk erat Caca. Wajahnya menegang. Kekhawatiran bercampur amarah memenuhi hatinya. Ia tak tega melihat putrinya terluka. "Kamu nggak apa-apa kan, Sayang? Mana yang sakit, sini Papi lihat," katanya, suaranya penuh kekhawatiran.
Caca menggeleng, air matanya masih mengalir. "Caca nggak papa, Pi, cuma sakit hati..."
Amarah Rudy memuncak. Ia melepaskan pelukannya dan melangkah cepat menuju taman belakang. Melihat keluarganya berkumpul, tertawa riang saat barbeque tanpa mengajak Caca, amarahnya semakin membuncah. Asap barbeque seakan-akan menghalangi pandangannya, membuatnya semakin geram.
Senja, yang sedang cemberut karena Eyang Mommy melarangnya ikut balapan liar, mendongak. Ia melihat kedatangan Rudy dengan wajah merah padam, menahan amarah. "Ya Tuhan, drama apa lagi yang akan terjadi setelah ini?" batin Senja. Ia sudah muak dengan drama yang setiap hari terjadi di rumahnya.
"Bagus ya kalian! Di sini enak-enakan makan, tapi nggak ngajak Caca ikut serta!" bentak Rudy, suaranya menggema di taman.
Helena, ibunya Senja, mengangkat alisnya. "Emang dia siapa harus ikut gabung kita di sini?" jawabnya dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Karena dia juga anak dari keluarga ini, Mommy! Sudah berapa kali aku katakan, Caca juga anak kita!" tegas Rudy, suaranya bergetar menahan amarah.
"Mommy juga sudah berapa kali bilang kalau dia bukan cucu Mommy dan bukan bagian dari keluarga Smit," balas Helena, suaranya tajam seperti pisau. Ia menatap Rudy dengan tatapan menantang.
Helena, dengan marga Smit yang terpandang dan kekayaan melimpah, selalu bersikap angkuh dan sombong. Keluarga Smit terkenal kejam dan tak kenal kompromi. Tak seorang pun berani mengusik mereka.
"Cucu keluarga Smit cuma Raka, si kembar, dan Senja, bukan anak pungutmu itu!" Helena menunjuk Caca dengan dagunya. "Ayo, Sayang, kita pergi dari sini, Eyang..." Helena menarik tangan Senja, meninggalkan Rudy yang terpaku di tempatnya, amarah dan keputusasaan bercampur aduk dalam hatinya. Caca hanya bisa menangis tersedu-sedu di pelukannya. sebenarnya di dalam hati nya caca mengumpat helena.
Ketegangan menyelimuti taman setelah ucapan Helena yang menusuk. Senja, diam-diam, menikmati drama yang tengah terhampar di hadapannya. Seulas senyum sinis mengembang di bibirnya, menikmati kekacauan yang diciptakan oleh pertengkaran keluarga ini.
"Papi! Lebay banget sih! Gitu aja marah-marah?! Dan lo, Ca! Di-kit-di-kit ngadu terus sama Papi?! Sampai kapan sih kelakuan bocah kayak gini?! Lo pikir Papi boneka?!” Galih membentak, suaranya bergetar menahan amarah. Ia menunjuk Caca dengan jari telunjuknya yang gemetar.
"Bukan gitu, Kak," jawab Caca lirih, air matanya kembali menetes. Suaranya hampir tak terdengar di tengah amarah Galih.
"Bukan gitu?! Jadi gimana?! Papi marah-marah gara-gara cerita karangan lo! Lo sengaja bikin cerita yang nggak-nggak, cuma biar kita benci sama Senja, kan?! Lo pikir kita bego?!” Galih semakin kehilangan kendali. Ia merasakan kepalsuan yang terpancar dari Caca. Ia merasa dimanfaatkan dan dipermainkan.
"Gak…," bantah Caca, suaranya terisak.
"Gak?! Liat aja! Papi udah ngamuk! Keluarga kita jadi kacau gara-gara drama murahan lo! Coba liat muka Papi sekarang! Semua ini gara-gara lo!" Galih membuang muka, frustasi. Ia merasa lelah dengan drama keluarga yang tak kunjung usai, dan Caca adalah pusat dari semua kekacauan ini.
Galih berlalu meninggalkan taman, diikuti oleh yang lainnya. Raka menggandeng tangan Senja, membawanya masuk ke dalam rumah. Galih menggandeng tangan Eyang Mommy, meninggalkan Rudy yang terdiam sendirian di tengah kekacauan yang diciptakannya sendiri.
"Ayo, Mi, kita masuk aja. Biar Bibi yang beresin semua ini, atau mungkin Papi mau lanjutin BBQ-nya sama Caca," ajak Radit, saudara Galih, berusaha menenangkan suasana. Ia lelah dengan drama keluarga yang tak kunjung usai.
"Bisa sih, Pi, nggak usah ganggu Mami sama anak-anak Mami," gerutu Sekar, ibunya Galih dan Radit. Ia meninggalkan Rudy sendirian di taman belakang, meninggalkan Rudy yang terdiam, diliputi penyesalan dan kesedihan. Ia telah gagal menjadi seorang ayah dan suami yang baik di tengah keluarga yang tengah berantakan. Keheningan malam menyelimuti taman, menyisakan kesunyian yang berat bagi Rudy.
*******
Pintu kamar Caca terbanting keras, suara dugh nya bergema di ruang sempit itu, beradu dengan derit engsel pintu yang sudah usang. Bau parfum Senja, parfum bunga yang Caca selalu benci, masih tercium samar di udara, menambah rasa sakit di hatinya. Tangisnya pecah, suara isak yang tertahan di awal, kemudian menjadi ratapan pilu yang menggema di antara boneka-boneka berdebu yang berserakan di lantai, di bawah tumpukan buku cerita bergambar yang sudah kusam. Ia membanting boneka kelinci kesayangannya, yang bulu putihnya sudah rontok di beberapa bagian, ke lantai, kemarahannya meledak, tapi lebih kepada rasa putus asa yang terpendam. Bayangan Senja, dengan senyum mengejeknya yang selalu membuat Caca merasa kecil dan tak berdaya, menari-nari di benaknya.
"Mereka semua jahat! Jahat banget! Semua gara-gara Senja!" teriakan Caca tertahan, suaranya serak karena menangis. Ia memukul-mukul bantal kesayangannya, yang sudah kehilangan bentuknya karena sering dipeluk, dengan keras, menumpahkan amarahnya yang membuncah, tapi di antara amarah itu, terdengar keputusasaan yang dalam. "Mami nggak sayang Caca lagi! Kak Galih juga! Mereka semua lebih sayang Senja! Senja… Si pencuri perhatian itu! Senja…!" Ia menggigit bibirnya, menahan amarah yang hampir membuatnya kehilangan kendali. Ia membayangkan Senja, tenang dan riang, sedang menikmati perhatian yang seharusnya menjadi miliknya.
malah sebaliknya dia lah orang yang paling licik di sini, semua yang dia katakan itu ada di dalam dirinya.. rela melakukan apapun supaya mendapatkan apa yang dia ingin kan.
Air matanya mengalir deras, membasahi bantal dan seprai tempat tidurnya yang sudah mulai pudar warnanya. Di atas nakas kecil di samping tempat tidurnya, foto keluarga yang sudah usang tergeletak miring, seaakan ikut merasakan kesedihan Caca. Perasaan diabaikan dan dikhianati begitu menyesakkan dadanya. Ia merasa dirinya bukanlah bagian dari keluarga ini lagi. Semua kasih sayang yang dulu ia rasakan kini sirna, diganti oleh rasa sakit yang menusuk. Ia meraih sebuah pigura kecil yang jatuh dari nakas, foto dirinya dan Papi, dan memeluknya erat-erat, seakan mencari sedikit sisa kasih sayang yang masih tersisa. Namun, bayangan Senja yang selalu berhasil merebut perhatian Papi dan keluarganya, terus menghantuinya.
Caca meringkuk di lantai, memeluk lututnya erat-erat, di antara boneka-boneka dan buku-buku yang berserakan. Ia merasa kecil dan lemah, tak berdaya menghadapi kenyataan pahit yang harus ia terima. Bayangan-bayangan buruk memenuhi pikirannya, menambah rasa sakit yang ia rasakan. Ia merasa telah kehilangan segalanya. Keluarga, kasih sayang, dan tempat untuk bermanja. Hanya kesunyian dan kesedihan yang tersisa, di dalam kamar kecil yang penuh dengan kenangan pahit dan mainan yang sudah usang. Ia terisak, suara tangisnya tercampur dengan suara derit pintu yang bergoyang pelan karena angin yang masuk melalui celah jendela yang tak tertutup rapat. Di dalam kesunyian itu, Caca sendirian, berjuang melawan rasa sakit dan kesedihan yang begitu mendalam, dan kebencian yang membara terhadap Senja, saingan yang selalu berhasil merebut segalanya darinya.