NovelToon NovelToon
Istri Pesanan Miliarder

Istri Pesanan Miliarder

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Zayn Alvaro, pewaris tunggal berusia 28 tahun, tampan, kaya raya, dan dingin bak batu. Sejak kecil ia hidup tanpa kasih sayang orang tua, hanya ditemani kesepian dan harta yang tak ada habisnya. Cinta? Ia pernah hampir percaya—tapi gadis yang disayanginya ternyata ular berbisa.
Hingga suatu hari, asistennya datang dengan tawaran tak terduga: seorang gadis desa lugu yang bersedia menikah dengan Zayn… demi mahar yang tak terhingga. Gadis polos itu menerima, bukan karena cinta, melainkan karena uang yang dijanjikan.
Bagi Zayn, ini hanya soal perjanjian: ia butuh istri untuk melengkapi hidup, bukan untuk mengisi hati. Tapi semakin hari, kehadiran gadis sederhana itu mulai mengguncang tembok dingin di dalam dirinya.
Mampukah pernikahan yang lahir dari “pesanan” berubah menjadi cinta yang sesungguhnya? Ataukah keduanya akan tetap terjebak dalam ikatan tanpa hati?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Omar

Langkah Zayn terdengar mantap menuruni tangga besar dengan berlantaikan marmer. Arvin berjalan sedikit di belakangnya, wajahnya menegang. Biasanya, setiap tamu yang datang sudah tercatat dan diagendakan olehnya. Tapi kali ini tidak. Dan itu membuat Zayn semakin waspada.

Di ruang tamu utama, seorang pria dengan kemeja sederhana tapi rapih berdiri menyambut. Usianya tampak sedikit lebih tua dari Zayn, mungkin pertengahan tiga puluhan. Senyumannya ramah, namun sorot matanya tajam, seolah menilai setiap detail ruangan. Di meja, sudah ada tas kertas berisi beberapa camilan yang ia bawa.

Zayn mendekat, langkahnya tenang tapi penuh wibawa. “Aku tidak ingat membuat janji temu hari ini,” ucapnya dingin, duduk di kursi utama tanpa basa-basi.

Pria itu tersenyum tipis, lalu ikut duduk setelah dipersilakan Arvin. “Memang tidak, Tuan Zayn. Maaf jika kedatangan saya mendadak. Saya Omar. Saya hanya ingin menawarkan sebuah bentuk kerjasama. Sesuatu yang saya yakin akan sangat menguntungkan bagi Anda.”

Alis Zayn terangkat tipis. “Kerjasama?” suaranya datar, namun ada sedikit rasa penasaran.

Omar menggeser tas kertas berisi camilan ke arah Zayn. “Saya tahu, kebanyakan orang mungkin biasa membawa wine, rokok impor, atau benda-benda mahal saat bertamu. Tapi saya berbeda. Ini camilan tradisional buatan keluarga saya. Saya ingin memulai pembicaraan dengan sesuatu yang sederhana, tapi jujur.”

Zayn melirik sekilas ke dalam tas itu. Bentuknya memang unik, ada kue-kue tradisional yang jarang ia lihat. Namun bukan itu yang membuatnya tertarik, melainkan keberanian pria ini yang datang tanpa janji, membawa sesuatu yang berbeda, lalu berbicara langsung tanpa bertele-tele.

Zayn menyandarkan tubuh, jari-jarinya mengetuk lengan kursi. “Lanjutkan. Apa sebenarnya yang kau tawarkan?”

Omar tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuh. “Saya ingin mengajak Anda membangun jaringan distribusi bersama. Saya punya jalur yang kuat di beberapa wilayah yang, katakanlah, jarang tersentuh… Anda punya sumber daya dan reputasi. Kita bisa saling melengkapi.”

Arvin yang berdiri di belakang Zayn melirik tuannya, jelas menunggu keputusan. Sementara Zayn hanya menatap pria itu lekat-lekat, mencoba membaca lebih dalam.

_____

Sementara itu, di lantai atas, Alisha memiringkan tubuhnya di ranjang. Tidur terasa sulit ketika ia tahu Zayn sedang menemui tamu. Ia sempat berpikir untuk mengintip ke kamar Bima, ingin memastikan adiknya tidur nyenyak setelah siang tadi begitu antusias di mall. Namun, ia teringat pesan Zayn.

"Kau istirahat saja. Jangan ikut memikirkan."

Alisha menarik napas panjang. “Kenapa aku merasa malah semakin kepikiran, sih…” gumamnya lirih, menatap langit-langit kamar.

Di tangannya, lembaran hasil photobooth dengan Zayn tadi masih tergenggam. Itu sedikit menghibur, namun rasa penasaran tentang siapa tamu yang datang tanpa janji membuat pikirannya terusik.

.....

Zayn menyandarkan tubuh lebih dalam ke kursinya, matanya tak lepas dari pria di hadapannya. Cara Omar berbicara terlalu tenang, terlalu yakin, seolah-olah ia sedang menyembunyikan sesuatu di balik senyum ramahnya.

“Menarik,” ucap Zayn datar. “Kau datang tanpa janji, membawa sesuatu yang berbeda, dan langsung bicara mengenai kerjasama. Tapi aku punya pertanyaan—” ia berhenti sejenak, menatap tajam, “—apa sebenarnya yang membuatmu yakin aku akan percaya begitu saja?”

Omar masih menahan senyum, seakan tak terusik oleh tatapan Zayn yang mengintimidasi. “Karena saya membawa sesuatu yang nyata. Bukan janji kosong.” Tangannya menepuk tas kertas berisi camilan yang sudah diletakkan di meja. “Cobalah, Tuan Zayn. Mungkin Anda akan mengerti maksud saya.”

Zayn melirik tas itu sekali lagi. Di dalamnya terlihat beberapa kue berbentuk bulat dan kotak, warna-warni, tampak biasa—tapi justru terlalu asing baginya. Hidungnya tak mendeteksi aroma mencurigakan, namun pengalaman panjangnya mengajarkan bahwa yang berbahaya seringkali justru yang terlihat biasa.

Dengan tenang, ia menoleh pada Arvin yang berdiri tegak di belakang. “Bawa ke belakang.” Suaranya rendah, tapi cukup jelas.

Arvin langsung mengangguk, mendekat, lalu mengambil tas kertas itu dengan hati-hati. Tatapannya sekilas bertemu dengan Zayn, cukup untuk saling mengerti. Tidak ada kata tambahan, tapi Zayn tahu Arvin paham persis apa yang harus dilakukan: memeriksa, menganalisa, memastikan tidak ada hal berbahaya di dalamnya.

Omar memperhatikan gerakan itu, tapi senyumnya tetap tak berubah. “Hanya camilan, Tuan Zayn. Tak lebih.”

Zayn menyilangkan tangan di dada, menatap lekat, suaranya dingin. “Dan aku tak pernah makan sesuatu yang aku sendiri belum tahu asal-usulnya.”

Ada jeda singkat. Ruangan terasa sedikit menegang. Omar masih berusaha mempertahankan kesan ramahnya, namun jelas ada kilatan kecil di matanya—antara kecewa atau mungkin… tertawa dalam hati.

Zayn, meski tenang di luar, namun dalam hatinya ia semakin curiga. Pria ini terlalu berani. Terlalu percaya diri. Apa tujuannya sebenarnya?

.....

Di dapur utama, suasana hening begitu Arvin masuk membawa tas kertas berisi camilan pemberian Omar. Langkahnya terukur, sorot matanya penuh kewaspadaan. Ia tidak menaruh tas itu sembarangan, melainkan langsung meletakkannya di meja kerja stainless yang biasa dipakai untuk persiapan makanan khusus.

Tak lama, seorang pria paruh baya berseragam hitam dengan apron putih di tubuhnya mendekat. Ia adalah Pak Surya, kepala pelayan yang sudah puluhan tahun bekerja untuk Zayn, dan dikenal memiliki pengalaman di luar dapur—terutama dalam urusan keamanan pangan dan ramuan.

Arvin membuka tas kertas itu dengan hati-hati. “Pak Surya, bantu aku cek ini.”

Pak Surya mengangguk tenang, seperti sudah terbiasa. Ia mengenakan sarung tangan tipis lalu mengeluarkan satu kotak kecil berisi camilan bulat berwarna cokelat muda. Matanya mengamati bentuk, tekstur, bahkan pola taburan halus di permukaannya.

“Sekilas tampak biasa,” gumamnya, “tapi yang terlalu biasa justru patut dicurigai.”

Arvin menyiapkan sebuah nampan kaca, kemudian mengambil alat kecil seperti strip reagen dan botol cairan transparan dari laci tersembunyi di dapur. Itu bukan peralatan masak—melainkan kit sederhana untuk mendeteksi bahan kimia tertentu.

Pak Surya memotong sepotong kecil camilan itu, meneteskan cairan di atasnya. Reaksi pertama, tidak ada perubahan warna. Namun setelah beberapa detik, strip kertas yang ditempelkan Arvin perlahan berubah menjadi kebiruan.

Mata Arvin menyipit. “Ada sesuatu di dalamnya.”

Pak Surya mengangguk, menatap hasilnya dengan sorot hati-hati. “Bukan racun mematikan langsung… lebih seperti zat penenang dosis tinggi. Jika dimakan tanpa sadar, bisa membuat seseorang kehilangan fokus, bahkan tertidur berjam-jam.”

Arvin mengepalkan rahangnya, segera menutup sisa camilan ke dalam wadah kedap udara. “Seperti yang kuduga. Tamu itu tidak datang untuk kerjasama. Ia sedang menguji reaksi Tuan Zayn.”

Pak Surya menghela napas panjang. “Apa yang akan Anda lakukan?”

Arvin menatap lurus, dingin. “Aku akan melaporkan ini segera. Tuan harus tahu seberapa jauh permainan orang itu.”

.....

Di ruang tamu, suasana menegang. Omar masih duduk dengan postur santai, seolah rumah itu miliknya sendiri. Senyumnya tipis, tatapannya penuh perhitungan. Di hadapannya, Zayn duduk tenang tapi tatapan matanya menusuk.

“Kerjasama, katamu?” suara Zayn rendah, nyaris seperti gumaman, namun setiap kata mengandung ketegasan.

Omar tersenyum miring. “Ya. Dunia bisnis kita ini luas, Tuan Zayn. Kadang, pintu kesempatan datang dari arah yang tidak disangka. Aku pikir… kau tipe pria yang tidak akan melewatkan peluang.”

Zayn tidak menjawab langsung. Ia menyilangkan tangan, memandang pria itu lekat-lekat. Ada sesuatu pada cara Omar bicara—pola kalimatnya terlalu licin, terlalu penuh selubung. Dan lebih dari itu, aura tenang pria itu justru terasa dibuat-buat, seperti seseorang yang sedang menyembunyikan maksud.

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Biasanya, orang yang ingin bekerjasama sudah menghubungi asistenku jauh-jauh hari. Tapi kau tidak. Kau hanya muncul dengan—buah tangan.” Nada suaranya berat pada dua kata terakhir.

Omar tidak kehilangan senyum, tapi tatapannya sekilas berubah dingin. “Anggap saja… aku lebih suka kejutan. Bukankah kejutan itu menyenangkan?”

Zayn hanya mengangkat sebelah alisnya, seolah sedang menimbang-nimbang. Dalam hati, ia sudah yakin Arvin sedang bekerja di belakang, menguji ‘camilan’ itu. Waktu berjalan lambat, setiap detik terasa penuh ketegangan.

___

Sementara itu, di lantai atas, Alisha bangkit, berjalan mondar-mandir. Sekilas ia ingin sekali menuju kamar Bima, tapi suara Zayn kembali terngiang,“Tetap di kamar, istirahatlah. Aku tahu kau lelah.”

Alisha menggigit bibirnya, menatap foto hasil photobooth yang masih tergeletak di meja samping. Senyumnya tadi siang seolah berubah getir. Ia menatap pintu kamar, rasa ingin tahu bercampur cemas semakin kuat.

Siapa tamu itu? Kenapa Zayn terlihat serius sekali tadi?

Perasaannya yang peka menangkap sesuatu—ketegangan yang merayap dari lantai bawah, entah bagaimana. Seperti ada bahaya yang diam-diam menyusup ke rumah ini.

Alisha duduk kembali, tapi tangannya tanpa sadar meremas selimut. Jantungnya berdegup lebih cepat.

.....

Di ruang tamu, Omar mencondongkan tubuh sedikit, menatap Zayn lurus. “Kau tahu, Tuan Zayn… dalam dunia ini, tidak ada yang benar-benar teman. Kita semua hanya menunggu saat yang tepat untuk—memanfaatkan satu sama lain.”

Zayn hanya diam, tapi tatapannya semakin tajam. Rahangnya mengeras, nyaris tak terlihat. Ia tahu, permainan pria ini baru saja dimulai.

Omar akhirnya bersandar ke sofa, lalu berdiri perlahan. Gerakannya tenang, penuh perhitungan. Dari jasnya ia mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam pekat dengan tulisan perak mengkilap, lalu meletakkannya di atas meja kecil di hadapan Zayn.

“Siapa tahu… kau berubah pikiran. Dunia bisa sangat sempit, Tuan Zayn,” ucapnya, nada suaranya lembut tapi mengandung sesuatu yang samar—seperti ancaman tersembunyi.

Zayn hanya melirik kartu nama itu tanpa menyentuhnya. “Aku tidak terbiasa membuat keputusan gegabah. Jika aku tertarik, aku yang akan menghubungimu.”

Omar mengangguk seolah mengerti, senyumnya tipis—senyum yang semakin meyakinkan Zayn bahwa pria ini tidak datang hanya untuk sekadar menawarkan kerjasama. Ada misi lain yang dibawanya.

Saat itu, terdengar langkah pelan menuruni tangga. Alisha. Dengan gaun rumahan sederhana dan rambut terurai, ia turun perlahan, matanya mencari Zayn.

Omar mendongak, pandangannya langsung tertuju pada Alisha. Sekilas, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya—bukan sekadar rasa hormat pada nyonya rumah. Senyum tipis melintas di wajahnya, senyum yang penuh arti, dan bukan senyum yang ia tunjukkan kepada Zayn sebelumnya.

Zayn menangkap perubahan itu. Sekejap, hawa dingin menyelubungi dirinya. Rahangnya mengeras, tatapannya menusuk Omar.

“Terima kasih atas waktumu, Omar. Pelayanku akan menunjukkan jalan keluar,” ujar Zayn, nada suaranya tegas.

Namun Omar hanya menoleh sebentar pada pelayan yang sudah siap berdiri di sisi ruangan, lalu ia terkekeh kecil. “Tidak perlu. Aku bisa menemukan jalan sendiri.”

Ia melangkah menuju pintu, meninggalkan aroma parfum tajam yang entah kenapa membuat suasana semakin menyesakkan. Pelayannya melirik Zayn, menunggu instruksi, tapi Zayn hanya menggerakkan dua jarinya—tanda agar tidak perlu mengantar lebih jauh.

Pintu utama akhirnya tertutup. Keheningan yang aneh menyelimuti ruangan.

Alisha berdiri beberapa langkah dari tangga, menatap Zayn dengan rasa ingin tahu bercampur khawatir. “Siapa dia…?” suaranya lirih.

Zayn menatap pintu yang baru saja menutup rapat, lalu beralih pada istrinya. Pandangan Omar yang barusan, senyum itu—semua menancap dalam benaknya.

1
Lisa
Benar² kejam Omar & Lucas itu..menghilangkan nyawa org dgn seenaknya..pasti Tuhan membls semua perbuatan kalian..utk Alisha & Bima yg kuat & tabah ya..ada Zayn,Juna, Arvin yg selalu ada di samping kalian..
Lisa
Ya Tuhan sembuhkan Ibunya Alisha..nyatakan mujizatMu..
Lisa
Makin seru nih..ayo Zayn serang balik si Omar & Lucas itu..
Lisa
Ceritanya menarik
Lisa
Semangat y Zayn..lawan si Omar & Lucas itu..lindungi Alisha & Bima..
Lisa
Selalu ada pengganggu..ayo Zayn ambil sikap tegas terhadap Clarisa
Lisa
Moga lama² Zayn jatuh cinta pada Alisha..
Lisa
Ceritanya menarik nih..
Lisa
Aku mampir Kak
Stacy Agalia: terimakasiiihh🥰
total 1 replies
Amora
lanjut thor, semangaaatt
Stacy Agalia: terimakasiiiiih🥰
total 1 replies
Stacy Agalia
menarik ceritanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!