⚠️Mature Content (Harap bijak memilih bacaan)
“Dia hanya bosku… sampai aku terbangun di pelukannya."
Aku mencintainya apapun yang mereka katakan, seburuk apapun masa lalunya. Bahkan saat dia mengatakan tidak menginginkan ku lagi, aku masih percaya bahwa dia mencintaiku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Priska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Kabar
Anna masih duduk memandangi sandwich dan botol teh hitam yang ditinggalkan Jonathan. Tangannya ragu-ragu menyentuh botol kaca itu, seolah benda sederhana itu menyimpan beban yang lebih berat dari sekadar minuman.
“Anna?” suara Daniel memecah lamunan.
"Hah...."
“Kalau kau sudah kenyang, aku bisa mengantarmu pulang. Sudah terlalu malam untuk naik taksi sendirian.”
Anna menggeleng pelan sembari tersenyum kecil. “Terima kasih, Daniel. Aku masih ada yang harus kuselesaikan.”
Daniel menatapnya sejenak, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya mengangguk. Ia membereskan sisa makanannya dan bangkit. “Baiklah. Jangan terlalu memaksakan diri. Aku pamit dulu.”
"Terimakasih makannya. Berhati-hatilah."
"Kau juga." Balas Daniel.
Daniel keluar...
Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menyelimuti ruangan. Anna bersandar ke kursi, menutup wajah dengan kedua tangannya. Jantungnya berdegup tidak teratur—bukan karena Daniel, melainkan karena sosok Jonathan yang tadi hanya singgah sebentar, namun meninggalkan jejak yang jauh lebih dalam.
"Apa lagi kali ini Mr. Jonathan." Suara Hati Anna berucap.
......................
Pagi Hari – Kantor Amstel Core Group
Koran digital pagi itu penuh dengan satu headline besar: “CEO Amstel Core Group, Jonathan Vanderlicht, Tertangkap Kamera Bersama Lyla Celeste Tengah Malam.”
Foto-foto buram namun jelas memperlihatkan Jonathan merangkul pinggang Lyla, model sekaligus artis yang saat ini menjadi brand ambassador produk baru perusahaannya. Senyum Lyla begitu manis, dan Jonathan terlihat… berbeda. Santai, bahkan hangat.
Anna sudah membaca berita itu sebelum berangkat ke kantor. Ponselnya penuh dengan notifikasi, termasuk pesan singkat
Fara :
“Anna bosmu ternyata gentleman juga ya. Rumor pacaran sama Lyla, wow.”
Anna hanya menatap layar, lalu menutup ponselnya tanpa membalas.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Kalau memang ada orang itu , kalau memang ia bisa semesra itu… lalu untuk apa semalam repot-repot datang membawakan makanan untukku?."
Ketika ia masuk ke ruang Jonathan, ekspresinya Anna terlihat datar tetapi ia masih sudah dipoles untuk tetap tenang. “Selamat pagi, Mr. Jonathan.”
Ia meletakkan map agenda di meja, suaranya datar tanpa intonasi.
Jonathan menoleh sekilas, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tidak tejadi apa-apa, bahkan mungkin berita itu pun tak menganggunya. “Pagi.” Jawabnya.
Jonathan duduk sendiri, menatap layar laptop yang kosong. Tangan kirinya menggenggam pena, tapi tidak menulis apa-apa.
Ia menutup mata sejenak, berusaha mengendalikan pikirannya. "Kenapa aku memperhatikannya sejauh ini?." Jonathan tampak frustasi
Ruang Rapat – Siang Hari
Rapat internal proyek Green District berlangsung seperti biasa. Anna duduk di samping Jonathan, menulis catatan cepat di laptop. Namun, berbeda dari biasanya, ia tidak sekali pun menatap Jonathan.
Ketika seorang direktur memberi pujian, “Laporan ini luar biasa detail, terima kasih atas kerja keras tim,”
Jonathan hanya mengangguk. “Kita lanjutkan ke tahap berikutnya. Tidak ada yang perlu ditambahkan.”
Anna menutup laptop dengan gerakan tenang, wajahnya tetap datar. Bahkan ketika rapat usai, ia tidak seperti biasanya yang membantu membereskan dokumen Jonathan. Ia hanya berdiri, menundukkan kepala singkat, lalu bersiap keluar ruangan.
“Nona Anna.” Suara Jonathan menghentikannya.
Ia berbalik, berdiri tegak di depan pintu. “Ya, Mr. Jonathan?”
Tatapan Jonathan menusuk, seolah mencoba membaca ekspresi yang ia sembunyikan. “Ada yang salah?”
Anna menahan napas sejenak. “Tidak ada. Saya hanya melakukan pekerjaan saya.”
Nada suaranya dingin, terlalu formal berbeda dari Anna yang sebelumnya selalu merespon dengan tenang .
Jonathan mengerutkan kening, lalu berkata dengan nada rendah, “Kalau kau marah karena sesuatu yang kau baca di luar sana—”
Anna langsung memotong, suaranya tajam.
“Itu bukan urusan saya, Mr. Jonathan. Kehidupan pribadi Anda bukan ranah saya. Tugas saya hanya memastikan pekerjaan Anda berjalan lancar. Dan itu yang sedang saya lakukan.”
Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik. Jonathan menatapnya lama, rahangnya mengeras.
“Baik,” akhirnya ia berkata singkat. “Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu.”
Anna mengangguk tanpa ekspresi, lalu keluar meninggalkan ruangan.
Sore Hari – Ruang Kerja Jonathan
Anna kembali masuk membawa beberapa berkas yang harus ditandatangani. Gerakannya cekatan, rapi, dan cepat.
“Ini dokumen final proyek Green District, Mr. Jonathan. Perlu tanda tangan Anda di beberapa halaman.”
Suaranya tenang, dingin.
Jonathan mengambil berkas itu, jarinya sempat menyentuh jari Anna tanpa sengaja. Membuat mereka saling menatap persekian detik lalu kembali saling mengabaikan.
“Tinggalkan di meja saja. Nanti saya periksa.” Kata Jonathan akhirnya.
“Baik.” Jawab Anna singkat, kemudian ia berbalik tanpa menambahkan apa pun.
...----------------...
Malam harinya- Kamar Anna
Anna merebahkan tubuhnya di ranjang. Lampu kamar hanya menyala redup. Ponselnya masih bergetar dengan notifikasi gosip dari portal berita. Beberapa pesan dari Fara belum ia balas.
Ia menatap layar kosong ponsel itu lama-lama, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri.
“Kenapa aku harus peduli? Itu bukan urusanku…”
Namun, wajah Jonathan saat menatapnya tadi di rapat, tatapan yang seolah meminta jawaban, masih jelas terlintas di pikirannya.
Anna menarik selimut, menutup matanya rapat-rapat.
Sementara itu…
Jonathan berdiri di depan jendela apartemennya, memandang lampu kota Amsterdam. Segelas wine di tangannya tidak disentuh. Pikirannya hanya berputar pada satu hal yang tidak bisa untuk dijelaskan olehnya.
...****************...