Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seminar Fakultas Hukum, Ruang 204
Kantor Hukum Djoenaedi, Martadinata & Rekan – Jakarta. Pukul 10.35 WIB
Cahaya matahari menerobos jendela kaca tinggi yang menghadap ke gedung-gedung raksasa Jakarta. Di balik sekat kaca ruangan bertuliskan Senior Associate, Adrian Martadinata duduk di balik meja, matanya terpaku pada layar laptop.
Kemeja putihnya rapi, meski dasi hitam sudah sedikit longgar. Ujung lengan digulung hingga siku, memperlihatkan urat di tangannya yang menegang saat mengetik cepat.
Berkas perkara “PT Gema Artha Digital – Gugatan Investasi & Manipulasi Data” terbuka di sampingnya, penuh catatan dan coretan tinta merah. Di dunia hukum komersial, Adrian adalah salah satu nama yang diperhitungkan meski usianya masih muda. Prestasi dan kecepatannya membaca arah kasus membuatnya disegani, juga ditakuti.
Dari luar, terdengar suara printer menyala dan obrolan rekan kerja. Tapi di ruang itu, hanya suara jari yang mengetik cepat dan dengung halus AC.
Ponsel Adrian bergetar.
Pesan masuk dari Managing Partner:
“Jam 2 siang klien dari Mega Berkah datang. Review MOU, dan cek detail pasal arbitrase.”
Tanpa berpikir panjang, Adrian membalas:
“Noted. Sedang disusun.”
Ia berdiri dan menatap keluar jendela. Langit Jakarta mulai muram, dan bayangan gedung-gedung di luar seperti bergetar samar di balik kabut polusi.
Beberapa menit kemudian, seorang staf magang mengetuk pintu dan masuk dengan beberapa berkas.
“Ini ada permohonan konsultasi masuk dari mahasiswa. Diantar langsung ke meja resepsionis tadi pagi. Masih awal, tapi katanya sensitif.”
Adrian menerima berkas itu tanpa banyak bicara. Ia hanya melirik halaman pertama sekilas, membaca baris-baris awal laporan yang ditulis tangan, lalu meletakkannya di tumpukan bawah.
Belum penting.
Belum mendesak.
Belum ia tahu bahwa perempuan muda yang namanya tertulis di berkas itu—yang kini hanya selembar kertas tak bernilai baginya—kelak akan mengubah ritme hidupnya. Menguji hatinya. Dan mengguncang seluruh dunia yang selama ini ia pikir telah ia kendalikan.
Adrian menutup jendela email, dan menyiapkan dokumen-dokumen penting. Seminar bisa menunggu. Tapi hari ini—hari ini penuh dengan urusan yang tak kalah penting.
Pesan masuk dari Managing Partner:
“Jangan lupa jam 2 siang hari ini, klien Mega Berkah.”
Ia mengecek berkas-berkas yang telah disusun asistennya pagi tadi. Kontrak konsolidasi lahan, lampiran perjanjian kerja sama, dan satu bundel legal opinion atas gugatan masyarakat lokal.
Perusahaan itu, Mega Berkah, tengah naik daun. Proyek ekspansi kawasan industri di Jawa Barat yang mereka jalankan sedang jadi sorotan. Dan Adrian—dengan rekam jejaknya yang nyaris bersih dan reputasi negosiasi kelas tinggi—adalah pilihan terbaik untuk mengawal mereka.
Ia merapikan jasnya, meraih map cokelat berstempel confidential, lalu berdiri. Seminar di kampus bisa menunggu. Tapi siapa sangka, dari kampus itulah, benih sesuatu yang tak bisa ia negosiasikan akan mulai tumbuh—pelan-pelan, diam-diam, namun tak terelakkan.
Adrian menyandarkan punggungnya sejenak di kursi kerja, lalu menatap layar laptop. Sebuah email dengan subjek formal terbuka:
“Undangan Menjadi Pembicara – Seminar Etika Profesi Hukum”
Pengirim: Dr. Hari Santoso, S.H., M.Hum.
Ia membaca cepat isi undangan itu. Seminar akan dilangsungkan di Universitas Bangsa Mulia, pukul 14.00 WIB. Hari Santoso—dosen Hukum Administrasi Negara yang cukup ia kenal baik sejak dulu—menyebutkan bahwa topik seminar kali ini akan membahas secara kritis soal profesionalitas dan moralitas pengacara dalam menangani kasus publik.
Adrian mengangguk pelan. Sudah cukup lama ia tidak hadir sebagai pembicara di kampus tersebut. Terakhir kali hanya diundang sebagai alumni tamu. Tapi kali ini undangannya terasa berbeda—lebih resmi, lebih strategis.
Ia menggeser mouse dan menambahkan agenda ke kalender digital:
14.00 – Seminar Etika Profesi Hukum, UBM – undangan Dr. Hari Santoso.
"Jam dua siang nanti," gumamnya, lalu menutup email itu.
Ada kesan yang mengendap diam-diam dalam benaknya. Firasat halus yang belum bisa ia tafsirkan. Entah kenapa, ia merasa seminar ini akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Bukan hanya bagi kariernya. Tapi juga—bagi seseorang yang belum ia kenal… seseorang yang mungkin akan mengubah jalan hidupnya.
Adrian mengecek kembali berkas-berkas yang telah disusun asistennya pagi tadi: kontrak konsolidasi lahan, lampiran perjanjian kerja sama, dan satu bundel legal opinion atas gugatan masyarakat lokal.
Perusahaan itu, Mega Berkah, tengah naik daun. Proyek ekspansi kawasan industri mereka di Jawa Barat sedang jadi sorotan.
Dan Adrian—dengan rekam jejak nyaris bersih dan reputasi sebagai negosiator elegan—dipilih langsung untuk menangani kasus ini.
Dirinya merapikan jasnya, meraih map cokelat berstempel confidential, lalu berdiri. Seminar di kampus bisa menunggu. Tapi siapa sangka, justru dari kampus itulah, benih sesuatu yang tak bisa dinegosiasikan akan mulai tumbuh—pelan-pelan, diam-diam… namun tak terelakkan.
Langit siang mulai memudar dari biru terang menjadi putih keperakan. Adrian memutar kunci mobilnya, suara mesin terdengar halus dan stabil.
Sedan hitamnya meluncur keluar dari basement kantor firma, melewati jalanan protokol yang mulai dipadati lalu lintas menjelang jam istirahat.
Di kursi penumpang, map cokelat bertuliskan confidential terikat rapi bersama tablet digital. Adrian sesekali melirik ke layar ponsel yang menampilkan rute menuju Universitas Bangsa Mulia.
Adrian Martadinata menyesuaikan dasinya dengan satu tangan, sementara pikirannya melayang pada konten seminar—dan mungkin, audiens yang tak biasa.
Sementara itu, di sebuah ruang diskusi lantai dua Fakultas Hukum, tiga mahasiswa tampak sibuk mencatat dan berdiskusi. Kertas, buku, dan laptop berserakan rapi di meja bundar.
"Kalau aku mau tanya soal konflik kepentingan—gimana kalau pengacara tahu kliennya bersalah, tapi tetap harus bela habis-habisan?" kata Reza, sembari memutar bolpennya.
Tiara mengangguk, lalu mengetik cepat. "Bagus. Aku juga mau bahas soal bagaimana pengacara menjaga independensi ketika berhadapan dengan tekanan dari investor atau pemilik modal."
Seorang mahasiswi yang duduk dengan rapi—diam, mendengarkan dengan sorot mata tenang—hanya tersenyum kecil. Tangannya menulis rapi di atas kertas bergaris.
Maya tidak banyak bicara, tapi kalimat-kalimat yang ia susun adalah pertanyaan bernas. Sesuatu yang akan membuat pembicara di depan nanti berhenti sejenak sebelum menjawab.
"Gua penasaran, apa yang membuat seseorang tetap jujur di dunia hukum?" gumamnya lirih, tapi cukup terdengar oleh Tiara dan Reza.
Mereka saling berpandangan sejenak, sebelum Tiara terkekeh, "Lu serius banget, ya. Tapi... bagus. Tulis itu. Kayaknya gak semua orang berani nanya kayak gitu."
Ia menatap keluar jendela, tempat pepohonan kampus bergoyang pelan tertiup angin. Ada perasaan yang tak ia mengerti. Seolah hari ini, seminar itu, dan pembicara yang akan datang... akan mengubah arah hidup seseorang. Mungkin miliknya. Mungkin milik orang lain. Atau, mungkin milik mereka semua.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏