Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rizal
"Ayah awas!" Suara Emily dari kejauhan membuat Rakha menoleh dan saat itu juga Emily berlari menendang orang yang mengikuti Rakha dari belakang.
Brug
Orang yang dibelakang Rakha itu terjatuh berbarengan dengan Emily yang ikut jatuh juga.
Rakha langsung menolong Emily.
"Kamu sama siapa?" Tanya Rakha. Ia kaget kenapa Emily bisa sampai di tempat ini lagi.
"Aku sama mamang, bunda gak ada di rumah." jawab Emily.
Rakha langsung memegang bahu Emily, memastikan kalau gadis kecil itu tidak terluka. Napasnya masih memburu setelah menyadari betapa tipis jarak tadi antara dirinya dan bahaya.
“Syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa,” ucap Rakha sambil menoleh ke arah orang yang kini sudah berusaha bangkit, wajahnya tertutup masih masker hitam.
Emily masih gemetar, tapi matanya menatap Rakha penuh keberanian. “Ayah… dia tadi ikutin terus dari ujung jalan. Aku takut ayah kenapa-kenapa.” Emily memang mengetahui itu sejak sopir di rumahnya menghentikan mobilnya.
Rakha menarik Emily ke belakang tubuhnya, melindungi dengan sigap. “Tenang, ada Ayah di sini.”
Orang itu mendengus, lalu berlari terbirit-birit ke arah gang sempit. Rakha sempat ingin mengejar, tapi Emily menarik tangannya.
“Jangan tinggalin Emily, Yah…”
Rakha menatap wajah anaknya, lalu menghela napas panjang. Ia tahu prioritasnya sekarang adalah memastikan Emily aman. Ia mengelus kepala putrinya lembut.
“Baiklah, Ayah nggak akan ke mana-mana. Kita pulang, ya. Ayah janji mulai sekarang nggak akan pernah biarkan kamu diteror lagi.”
Emily mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku kira Ayah tadi beneran nggak lihat orang itu… makanya aku teriak.”
Rakha tersenyum tipis, lalu mendekap Emily erat. “Kamu penyelamat Ayah hari ini, Nak. Kalau bukan karena kamu, Ayah mungkin terluka. Terima kasih, Emily.”
Emily akhirnya menangis di pelukan Rakha, meluapkan rasa takutnya. Keduanya pulang dengan Rakha membonceng Emily di motor, sedangkan sopir membawa mobil sendirian.
***
Rakha sampai di depan rumah dengan langkah tergesa, masih membopong Emily yang belum sepenuhnya tenang. Pintu terbuka begitu saja karena Indira sudah menunggu di ambang, wajahnya terlihat panik.
“Emily!” seru Indira langsung menyambar putrinya dari gendongan Rakha. Tubuh Emily yang gemetar membuat air mata Indira ikut jatuh. “Ya Allah… kamu kenapa, Nak?!”
Emily hanya bisa menunduk di pelukan ibunya, sesekali terisak.
Di ruang tamu, Haidar berdiri dengan wajah pucat. Dari tadi ia mondar-mandir mencari kabar Emily, sampai hampir menyisir wilayah tempat mereka tinggal. Begitu melihat Emily, ia buru-buru mendekat.
“Sayang! Aku hampir gila nyariin kamu! Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya dengan suara terbata.
Emily mengangkat kepalanya pelan. “Aku… aku takut, Mas. Ada orang ikutin yang berniat jahat sama keluarga aku… terus aku… aku diteror.” Emily beralih ke pelukan Haidar. Selain rasa takut, rasa rindunya pun membuncah. Keduanya memang sedang bucin-bucinnya.
Haidar meremas kepalan tangannya, rahangnya mengeras. “Orang itu berani-beraninya…” ia mendesis, jelas marah sekaligus cemas.
Rakha menaruh kunci di meja dan duduk dengan napas berat. “Udah, Nak. Jangan bikin Emily makin takut. Yang penting dia selamat. Kita harus waspada. Sepertinya bukan kebetulan kalau dia terus diikuti.”
Indira menatap Rakha dengan wajah tegang. “Jadi benar ada orang yang mengincar kalian?”
Rakha mengangguk tipis, lalu mengusap punggung Emily yang masih bersembunyi di dada Haidar. “Iya. Dan sepertinya… mereka nggak akan berhenti dalam waktu dekat.”
Haidar mengepalkan tangan lagi, kali ini lebih kuat. “Kalau begitu, biarin aku yang jagain Emily. Aku nggak akan biarkan orang itu mendekat satu langkah pun.”
Rakha menoleh pada Haidar, ada rasa terima kasih tapi juga kecemasan. Ia tahu taruhannya akan semakin besar.
Emily akhirnya menatap Haidar dengan mata berkaca-kaca, seolah menemukan keberanian kecil. “Mas Haidar… jangan pergi lagi, ya?”
"Gak akan, tadi ponsel aku hilang. Makanya aku gak bisa hubungi kamu." ucap Haidar.
Suasana ruangan hening sejenak, hanya isakan Emily yang terdengar.
Malam semakin larut. Emily akhirnya tertidur di pangkuan Indira setelah tangisnya mereda. Rakha menutup pintu kamar pelan, lalu berjalan ke ruang tamu. Di sana Haidar masih duduk, gelisah, sementara Indira menyusul keluar dengan wajah serius.
“Kita nggak bisa diem aja, Yah. Ini sudah keterlaluan. Kalau tadi Emily beneran kenapa-kenapa…” suara Indira tercekat, matanya berair.
Rakha menghela napas berat. “Aku sudah menduga orang itu bukan orang asing. Cara dia mengintai, cara dia berani mendekat, semua terasa… personal.”
Haidar menoleh cepat. “Maksudnya, Ayah tahu siapa dia?”
Rakha menatap keduanya bergantian, lalu bersandar di kursi. Suaranya rendah, hampir berbisik.
“Rizal.”
Indira langsung menutup mulutnya, terperangah. “Astaghfirullah… anaknya Andri?”
“Ya.” Rakha mengangguk pelan. “Anak yang dulu sempat… bikin masalah dengan Emily.”
Haidar membeku. “Masalah apa?”
Rakha menatapnya tajam, seolah menimbang perlu atau tidak membuka luka lama. Tapi akhirnya ia bicara.
“Dulu, waktu Emily masih SMP, Rizal sempat mencoba mendekati dia. Padahal mereka sepupuan. Keluarga jelas menolak. Razka yang pertama kali tahu, langsung menjauhkan adiknya. Dan sejak itu Rizal makin nekat. Dia pernah menipu Emily, bilang mau ajak ke mall, padahal berniat menyeretnya ke tempat sepi.”
Indira memeluk dirinya sendiri, tubuhnya bergetar saat mengingatnya. “Kalau bukan karena Razka yang datang tepat waktu… aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Hampir saja…”
Rakha mengangguk, suaranya getir. “Hampir saja Emily diperk0sa. Kakek sampai murka, keluarga besar pun sepakat mengeluarkan Rizal. Andri, ayahnya nggak terima, tapi nggak bisa melawan keputusan.”
Wajah Haidar merah padam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Dan sekarang dia kembali… meneror Emily?”
Rakha menatap menantunya itu. “Ya. Dia belum selesai. Dan bisa jadi, ini juga caranya untuk menyerang ayah. Karena ayah yang waktu itu bersuara paling keras agar dia dikeluarkan dari keluarga. Sekarang ayah sendiri sudah dikeluarkan dati keluarga, bisa saja dia menganggap ayah lemah.”
Hening mencekam menyelimuti ruangan itu. Indira tak sanggup menahan air matanya, sementara Haidar mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
“Kalau begitu,” suara Haidar bergetar menahan emosi, “aku nggak akan tinggal diam. Kalau dia berani lagi mendekat ke Emily, aku yang akan menghadapi Rizal sendiri.”
Rakha menatap menantunya lama, ada perasaan bangga sekaligus khawatir. “Kamu boleh marah, Nak. Tapi jangan gegabah. Kita hadapi ini dengan kepala dingin. Yang terpenting… jangan sampai Emily kembali ingat dengan semua masa lalu itu. Dia sudah cukup trauma.”
Indira mengangguk, menyeka air matanya. “Ya, jangan sampai Emily mengingat itu lagi.”
Padahal, mungkin tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya Emily kembali teringat akan kejadian itu.
***
Keesokan harinya, suasana rumah masih muram. Emily berangkat sekolah dengan wajah sedikit pucat, meski ia berusaha tersenyum saat pamit kepada kedua oeang tuanya. Malam ini Emily memang bermalam di rumah orang tuanya. Indira merasa cemas, berkali-kali mengingatkan agar langsung pulang.
“Jangan mampir ke mana-mana, Nak. Langsung pulang, ya,” pesan Indira sambil merapikan rambut Emily. Emily tetap memakai motor.
“Iya, Bunda. Aku janji,” jawab Emily, mencoba menenangkan ibunya.
Rakha dan Haidar sepakat mengawasi dari jauh tanpa sepengetahuan Emily. Mereka tidak ingin Emily merasa terkekang, tapi juga tidak bisa tinggal diam.
Keduanya berangkat bareng dengan Haidar mengikuti Emily dari belakang.
Siang harinya…
Di sekitar gerbang sekolah, seorang pria berdiri menyamar dengan topi dan masker. Sorot matanya tajam, terus mengawasi dari kejauhan. Dialah Rizal.
Begitu bel pulang berbunyi dan para siswa mulai keluar, pandangannya langsung tertuju pada Emily. Senyum miring muncul di balik masker.
“Sudah besar sekarang, tapi tetap manis seperti dulu…” gumamnya. Soalnya semalam dia tidak melihat jelas karena pencahayaan yang kurang.
Emily yang sedang berjalan bersama temannya tiba-tiba merasa ada yang mengawasi. Hatinya berdebar kencang, langkahnya sedikit terhenti.
“Lily, kamu kenapa?” tanya Riska.
“Nggak apa-apa… aku merasa kayak ada yang—”
Belum sempat Emily menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara keras menghentikan langkah Rizal.
“Rizal!”
Bersambung