Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Sudah Ketemu
Marti terdiam sembari menatap ke lima anaknya yang kini sedang berkumpul di ruang tengah. Marti menatap satu persatu di antara mereka.
Pratama nampak sibuk mengerjakan tugas sekolahnya. Yah, bocah gendut itu sudah berusia tujuh tahun dan telah masuk sekolah dasar.
Apa dia jadikan saja Pratama sebagai anak perempuannya? Ah, tidak. Marti menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin.
Pratama sudah besar dan tidak cocok untuk dia jadikan anak perempuannya lagi pula dia juga sudah sekolah.
Suara tangisan terdengar membuat mata Marti melirik ke arah Praga yang sedang menarik rambut Prapat. Ah, tidak mungkin juga bayi kembar yang telah berusia tiga tahun itu.
Praga terlalu nakal untuk dijadikan anak perempuannya sementara Prapat terlalu sering menangis karena sering dipukuli oleh Praga.
Atau mungkin Pralim saja? Marti menatap seksama bocah tampan yang sedang duduk di depan TV. Jika di dalam rumah ini selalu terjadi keributan maka anak berwajah malaikat itu selalu diam bahkan menangis pun jarang.
Marti tersenyum kecil ia tidak mungkin merusak wajah tampan itu dengan pakaian perempuan. Marti mendecapkan bibirnya kesal, geram dengan pikirannya sendiri.
Suara tangisan kecil terdengar di dalam kamar membuat Marti tersadar dari lamunannya. Seketika ia tersenyum sumringah. Dia lupa jika ia punya anak bayi yang masih kecil, yah siapa lagi jika bukan Pranam.
Kenapa ia tidak jadikan saja bayi kecilnya itu sebagai anak perempuan. Ide yang bagus.
Dengan cepat Marti membuka lemari yang berada di bawah TV. Mengambil beberapa bungkus baju berwarna pink yang telah ia simpan bertahun-tahun.
Semenit kemudian baju pink yang imut dan cantik itu telah terpasang di tubuh Pranam. Sangat pas sekali. Marti sangat berharap dengan cara ini ia bisa mendapatkan anak perempuan.
"Loh, ibu!"
Marti menoleh menatap suaminya yang menatap syok pada baju pink yang ia pakaikan kepada anak keenamnya itu.
"Apa yang ibu lakukan? Ke- kenapa, kenapa anak kita kamu pakaikan baju perempuan?"
"Sabar, pak. Jangan kaget seperti itu! Jadi tadi itu ibu jalan-jalan di sekitar kompleks buat cari resep untuk memiliki anak perempuan."
"Resep?" tanya Abdul bingung.
Marti tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kan Bapak tahu sendiri kalau Ibu sudah janji kalau semisalnya ibu hamil lagi ibu akan punya anak perempuan."
"Nah, jadi tadi itu ibu dapat resep dari perempuan tua penjual tisyu di taman. Katanya kalau kita nggak punya anak perempuan kita harus jadikan anak laki-laki kita itu sebagai anak perempuan."
"Maksudnya?"
"Ya maksudnya seperti ini. Nah, jadi anak kita Pranam ini akan Ibu pakaikan baju perempuan terus nanti juga rambutnya bakalan Ibu panjangin."
"Jadi ibu akan anggap anak kita si Pranam ini sebagai anak perempuan bukan anak laki-laki, seperti itu pak. Bapak paham kan?"
Abdul melongo, tak menyangka.
"Ibu dapat resep dari mana?"
"Ish, bapak. Kan Ibu sudah bilang kalau ibu itu dapat resep dari perempuan tua yang-"
"Kamu percaya?" potong Abdul.
"Yah iyalah, pak."
"Itu mitos, Bu. Jangan percaya!"
Marti mendengus kesal ia melipat kedua tangannya di depan dada. Pandangannya menoleh ke arah lain, enggan untuk menatap suaminya yang kini sepertinya akan kembali mengoceh panjang lebar.
"Terserah bapak mau bilang apa. Tapi pokoknya Ibu akan terapkan resep ini dan Bapak tidak boleh melarang ibu."
"Iya tapi-"
"Tidak ada tapi-tapian soalnya Ibu juga sudah janji kalau ibu hamil nanti itu akan menjadi kehamilan terakhir ibu," potongnya sambil menuju ke arah suaminya itu.
Abdul terdiam sejenak tak tahu harus mengatakan apa lagi. Helaan nafas diiringi dengan tatapan kasihan pada Pranam yang tertidur dengan baju perempuan.
"Terserah," jawab Abdul lalu bangkit dan melangkah pergi.
...----------------...
Marti mengusap keningnya yang berkeringat sembari terus menggendong Pranam yang sudah sejam lebih menangis tanpa henti. Bayi yang selalu jarang menangis ini tiba-tiba saja menjadi rewel.
"Duh, kenapa, sih kamu nak? Nangis terus."
"Mungkin dia risih dipakaikan baju perempuan."
Marti mendecapkan bibirnya kesal ketika mendengar ujaran suaminya.
"Masa gara-gara itu."
"Yah coba saja lepas bajunya kalau semisalnya Pranam berhenti menangis yah berarti gara-gara bajunya."
Marti yang mendengar hal itu seketika terdiam. Apa mungkin yang dikatakan oleh suaminya itu benar?
Beberapa saat kemudian suara tangisan bayi tak terdengar lagi. Benar juga yang dikatakan oleh suaminya itu. Setelah Marti mengganti baju Pranam akhirnya bayi itu terdiam.
"Tuh, kan. Bapak juga bilang apa. Anak yang baru dua hari saja menolak untuk jadi anak perempuan," ujar Abdul sembari menatap Pranam yang sudah tertidur di atas kasur.
Tak ada jawaban dari Marti, senyap hingga tak bersama isakan tangis kecil terdengar membuat Abdul menoleh menatap istrinya yang rupanya menangis.
"Loh, kok ibu nangis?"
"Bapak itu nggak ngerti perasaannya ibu. Kalau bukan Pranam terus siapa lagi yang Ibu jadikan anak perempuan?"
Abdul menghela nafas panjang. Rasanya sedih juga jika melihat istrinya seperti ini. Ia mengusap punggung istrinya itu berusaha menguatkan.
"Anak kita kan ada banyak. Coba yang lain saja!"
Marti mengangguk kecil lalu membaringkan tubuhnya ke kasur. Itu berarti Pranam gagal!
...----------------...
"Tidak cuka!"
"Coba dulu!!"
"Tidak mau!"
Marti mendengus kesal. Sudah sejak tadi ia membujuk Prapat untuk mau dipakaikan baju berwarna pink yang telah ia beli di pasar pagi tadi. Tapi bocah itu menolak.
Marti berlari kecil mengejar Prapat yang kocar-kacir kiri dan kanan berusaha menjauhi Marti.
"Cuman sekali saja Prapat! Ibu mohon! Ayolah nak keluar!" teriaknya sambil bertiarap menatap Prapat yang bersembunyi di bawah ranjang kayu.
Sudah banyak kalimat bujuk yang dia ucapkan untuk Prapat yang begitu enggan untuk memakai baju perempuan.
"Apa salahnya, sih Prapat?!!" teriaknya kesal.
Rasanya Marti ingin mengeluarkan tanduknya yang sudah berada di puncak kekesalan. Rupanya resep dari wanita tua itu tidaklah mudah.
Marti melangkah keluar dari kamar dengan wajah marah, kesal, cemberut serta sedih menjadi satu. Sekarang harus bagaimana?
Marti menyandarkan tubuhnya itu di dinding rumah sembari memandangi anak-anaknya yang kini masih sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Pradu! Pradu!"
Suara tidak anak kecil perempuan terdengar dari depan pintu utama disusul Pradu yang berlari kecil melewatinya.
Tunggu! Itu teman Pradu? Perempuan?
Marti melangkah mengendap-ngendap lalu mengintip di balik jendela. Dari sini ia bisa melihat jika Pardu ternyata bermain dengan anak perempuan.
Marti baru sadar jika ternyata Pardu memiliki sifat yang lebih feminim daripada yang lainnya. Contohnya saja jika Prapat menangis karena dipukul oleh Praga maka Pradu lah yang akan memeluk dan membelai serta membujuk agar adiknya itu berhenti menangis.
Beberapa menit ia terdiam akhirnya ia tersenyum bahagia. Marti telah menemukan anak perempuannya itu. Yah, dia adalah Pradu.
...----------------...
"Kamu suka tidak?"
"Suka," jawab Pradu sambil menggerak-gerakkan ujung rok berwarna pink yang telah terpasang di tubuhnya.
Marti tersenyum bahagia. Untung saja ada Pradu jadi resep dari wanita tua itu bisa diterapkan. Pradu juga terlihat bahagia memakai baju perempuan itu. Tak ada penolakan seperti yang dilakukan oleh Prapat, yah bahkan saking tidak maunya harus bersembunyi di bawah ranjang.
Seru juga bacanya