MENIKAHI Mr. Arrogan

"Hana, akhirnya kamu pulang!" Marry menyambut Hana dengan pelukan hangatnya. Pelukan seorang Mama yang sudah lama sekali tak dapat Hana rasakan.

"Mama sakit? Kenapa tidak istirahat saja di kamar!" Hana menggandeng lengan Marry untuk masuk ke dalam rumah.

"Siapa bilang? Mama hanya masuk angin saja!" ujar Marry.

Hanya tersenyum kecut, " licik sekali Kenaan! Pikirnya.

Kenaan membawa barang-barangnya masuk ke dalam dibantu bibi.

"Syukurlah Tuan! Akhirnya Non Hana kembali pulang," ujar Bibi tersenyum lega.

Ia pikir rumah tangga Tuan-nya tak akan lagi terselamatkan mengingat sikap Sang Tuan yang kejam dan seenaknya dengan istri.

Hari itu, Hana habiskan waktunya lebih banyak bersama Marry. Ia masih enggan terlalu dekat dengan sang suami, meskipun yang Hana lihat sikap Kenaan berubah lebih baik.

"Beberapa hari yang lalu, Mira menanyakanmu! Sayang, apa kamu ada masalah lagi dengan keluargamu?" tanya Marry saat meminta Hana datang ke kamarnya tanpa Kenaan.

"Entah, Ma. Karena aku belum menghubungi rumah sama sekali."

Marry enggan menceritakan masalah keluarga Hana, biarlah sang menantu tahu dengan sendirinya masalah pelik keluarga besarnya.

Setelah Hana pergi, kini Marry menghampiri Kenaan yang duduk termenung di ruang tamu.

Kenaan tak ingin menyusul Hana ke dalam kamar karena sudah dipastikan sang istri bersikap cuek.

"Bagaimana keadaan tubuhmu, Ken? Apa sudah lebih baik?"

"Baik, Ma. Semua teratasi jika bersama Hana." Kenaan melebarkan senyumnya.

"Jangan senang dulu hanya karena Hana mau pulang bersamamu! Buktikan kalau kamu benar-benar sudah berubah dan mencintainya! Mama tidak mau lagi dengar wanita manapun mengaku kesayanganmu, kekasihmu atau apapun itu. Ingat, perusahaan belum sepenuhnya menjadi hak kamu, jadi jangan macam-macam sama Mama." Marry berkata panjang lebar dan mengancam putranya. Ia masih kesal dengan karyawan perusahaan bernama Clarine. Dan kekesalan itu kembali Marry luapkan pada Kenaan.

"Iya, Ma!"

Kenaan melihat Sang Mama memijat pelipisnya. Lantas ia mendekat dan memijat lembut bahu wanita yang sudah melahirkannya itu. Wanita yang sudah berjuang dengan sangat keras agar hidupnya layak meski separuh sayapnya hilang. Kepergian Papa membuat wanita paruh baya itu sangat rapuh akan tetapi selalu bersikap tegas dan kuat di hadapan semua orang.

"Pihak pelelang kemarin mendatangi rumah orang tua Hana." Marry menghela napas, ia menatap Kenaan penuh harap meski sebenarnya Marry tak begitu suka dengan watak Mira. Namun, dibanding Ibu kandung Hana! Mira satu level lebih baik.

"Kok bisa?" tanya Kenaan. Ia jadi berfikir, apa karena Papanya Hana sakit-sakitan jadi Si Ibu tiri mulai melakukan pengaksian.

"Mama Hana resmi menikah, ia menjual rumah yang ditempati Arman dan Mira. Mereka tampak syok, Mama pun juga. Mira memohon bantuan tapi..."

"Memangnya atas nama siapa? Kok bisa Mamanya Hana yang menjualnya?" tanya Kenaan tak mengerti.

"Entah! Yg jelas surat-suratnya sudah lebih dulu dibawa kabur Melysa! Kenaan, ini kesempatan kamu buat nunjukin sama Hana kalau kamu benar-benar mencintainya. Mama tidak akan bantu apapun, meskipun bisa! Masalah ini, Mama kasih ke kamu."

Kenaan mengangguk, ia akan memikirkannya esok.

"Aku istirahat dulu, Ma!" Kenaan pamit dan pergi ke kamarnya.

"Darimana?" tanya Hana. Rupanya sang istri masih belum tidur meski sudah hampir satu jam Kenaan tak menyusulnya.

"Kenapa belum tidur?" tanya Kenaan mendekati Hana lalu duduk di sampingnya.

"Bukan apa, mendadak perasaanku tak enak! Aku akan tidur," ujar Hana.

Ia memberi kode agar Kenaan menyingkir dari sofa.

"Tidur bersama saja," ujar Kenaan masih enggan beranjak. Ia tak mungkin membiarkan Hana tidur di sofa yang lebih pendek dari tinggi tubuhnya.

Membayangkan jika dirinya tidur di sofa itu mungkin seluruh kakinya akan pegal karena tertekuk.

"Tidak mau! Bukannya dari awal kamu yang menyuruhku tidur di sofa?" Hana menatap Kenaan sinis, hati seorang wanita selalu mengingat hal-hal kecil yang menyakitkan.

Bukan hanya satu, bahkan mungkin semua hal menyakitkan yang Kenaan lakukan padanya, Hana masih mengingat dengan jelas.

"Sayang, aku sudah minta maaf lho! Kamu kok jadi pendendam gini," ujar Kenaan lesu.

"Aku gak dendam, tapi masih inget aja semua perlakuan kamu ke aku kaya gimana? Kamu pikir aku amnesia? lupa semua hal yang paling menyakitkan? Bahkan rasa sakitnya kena pukul kamu pas berantem sama Arka aja aku masih ingat."

"Na..."

Merasa sang istri tak meresponnya lagi, Kenaan menggendong paksa Hana dan meletakkannya pelan di atas ranjang.

"Oke, kalau kamu nggak mau tidur sama aku! Setidaknya kamu tidur disini, biar aku tidur di sofa."

Kenaan memasang selimut untuk Hana. Sang istri masih terdiam, ia cukup syok karena Kenaan langsung mengangkat tubuhnya. Meski jujur dalam hati Hana merasa Kenaan sudah menunjukan perubahannya, Kenaan sudah menunjukan sisi baiknya sebagai seorang suami. Tapi, Hana masih belum mau memperlihatkan rasa luluhnya.

Bagaimanapun Hana berusaha bersikap keras, tegas bahkan kejam pada Kenaan. Ia hanyalah seorang wanita, seorang ibu hamil yang memiliki sisi rapuhnya.

**

Pagi hari menyapa sepasang suami istri yang tidur terpisah. Semalam karena sofa di kamarnya tak muat untuk tubuh Kenaan yang tinggi alhasil ia memilih tidur di bawah beralaskan karpet bulu tipis.

Hana terbangun dan pandangannya langsung mengintari seluruh ruangan. Merasa tak menemukan Kenaan, Hana pun akhirnya turun dan terkejut saat melihat Kenaan tidur di bawah dengan tubuh sudah menggigil.

"Astaga..." gumam Hana panik, ia berusaha membangunkan Kenaan karena tak mungkin ia menggendong apalagi menyeret suaminya agar berpindah ke atas ranjang.

"Ken, bangun! Badan kamu kenapa panas banget sih!" gumam Hana seraya menggoyangkan bahu Kenaan berusaha untuk membangunkan suaminya.

"Euhmm..."

Kenaan membuka matanya perlahan. Hana langsung menempelkan punggung tangannya di dahi Kenaan.

"Kamu pindahlah ke ranjang, biar aku ke bawah ambil air kompres."

Kenaan mengangguk, ia perlahan bangkit dengan dibantu Hana pindah ke ranjang.

Hana menyelimuti Kenaan sebelum keluar kamar.

Melihat menantunya turun dalam keadaan kusut khas bangun tidur Marry pun akhirnya bertanya. Setelah tahu keadaan sang putra, ia meminta Dokter pribadi datang ke rumah.

"Kamu minta Bibi siapin bubur ya, bentar lagi dokternya datang!" ujar Marry setelah memeriksa keadaan Kenaan.

"Maaf, Ma!" Hana menunduk dan merasa bersalah.

"Kenapa minta maaf, wajarlah kalau suami begadang karena jaga istrinya. Lagian itu Kenaan baru jagain kamu semalaman udah sakit, gimana nanti kalau kamu mau lahiran!"

"Hah?" Hana hampir melongo mendengar ucapan Marry, sambil berfikir ia pun menaiki tangga dan berusaha mencerna maksud perkataan Mama mertuanya.

"Kamu bilang apa sama Mama? Kok ceritanya beda?" tanya Hana sambil mengompres dahi Kenaan.

Kenaan memegangi tangan Hana, menatap sang istri dalam hingga berhasil membuat Hana salah tingkah.

"Suami istri itu baiknya harus saling menutupi aib. Masalah kita, cukup hanya kita yang tahu! Orang lain jangan," ujar Kenaan mendadak bijak.

"Tapi Mama bukan orang lain," elak Hana memalingkan wajahnya. Ia takut baper hanya dengan melihat wajah melas sang suami.

"Memang bukan! Tapi tidak semua hal harus orang luar tahu bukan? Mulai sekarang kita harus saling menjaga."

"Jadi kalau kamu selingkuh aku gak boleh ngadu ke mama?" kesal Hana.

"Bukan itu."

"Sama aja!" gerutu Hana, meski dalam hati ia paham perkataan dan maksud Kenaan. Ia hanya ingin mengerjai suami arogannya itu yang sekarang sudah berubah mungkin menjadi suami manja.