NovelToon NovelToon
IKATAN SUCI YANG TERNODA

IKATAN SUCI YANG TERNODA

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Selingkuh / Mengubah Takdir / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga / Romansa pedesaan
Popularitas:159.9k
Nilai: 5
Nama Author: Cublik

Niatnya mulia, ingin membantu perekonomian keluarga, meringankan beban suami dalam mencari nafkah.

Namum, Sriana tak menyangka jika kepergiannya mengais rezeki hingga ke negeri orang, meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil – bukan berbuah manis, melainkan dimanfaatkan sedemikian rupa.

Sriana merasa diperlakukan bak Sapi perah. Uang dikuras, fisik tak diperhatikan, keluhnya diabaikan, protesnya dicap sebagai istri pembangkang, diamnya dianggap wanita kekanakan.

Sampai suatu ketika, Sriana mendapati hal menyakitkan layaknya ditikam belati tepat di ulu hati, ternyata ...?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Isyt : 21

Jemari Eka bergerak lincah, membuka aplikasi pada ponselnya mencari tahu tentang harga jual beli kendaraan bekas. “Dia niat jual motor atau mau sedekah?”

“Kenapa, Ka?” tanya Sriana, kini dirinya tengah mengobrol dengan Wulan dan suaminya. Sementara Septian, Ambar Ratih bermain air di kolam dangkal bersama Gilang. Mereka juga sudah sarapan.

“Pasaran harganya sekitar 14-17 juta, masak dia jual sepuluh juta, murah banget,” sahut Eka.

Sriana yang tidak paham harga jual beli pun jadi bingung. Dia bertanya kepada kakak kelasnya dulu semasa SMP hingga SMA. Umur mereka hanya terpaut dua tahun. “Kondisi motornya masih bagus ndak, mas Dimas?”

“Kalau dilihat sekilas masih oke, tapi kemarin aku ndak berani mencoba, segan Sri. Soalnya belum ngobrol denganmu langsung, jadi cuma tanya ala kadarnya saja.”

“Bisa jadi dia ndak butuh duit lagi, la wong sudah sugeh (kaya). Sawahnya loh luas, ladang pun omboh (lebar), ada juga ternak Sapi yang kalau pas lebaran haji satu ekornya harga puluhan juta,” beber Wulan menggebu-gebu.

Mata Eka langsung menyala. “Apa nama medsos nya, Mbak? Mau tak inceng (intip) … ha ha ha.”

Gelak tawapun membahana, pipi Sriana sampai sakit melihat sikap Eka, sahabatnya sudah berkenalan dan langsung akrab dengan Wulan serta Dimas.

Dimas menyebutkan nama yang diminta oleh Eka, kebetulan dia berteman di media sosial dengan sahabatnya semasa sekolah.

Langsung saja si gadis sibuk mengotak-atik ponselnya. Jahi ….

“J nya ganti Z,” kata Sriana, melihat apa yang ditulis oleh Eka.

Zahit ….

“Ndak pakek T, tapi D,” lanjutnya.

Lirikan mata Eka penuh arti, diapun menulis seperti arahan Sriana. Zahid Bagas. “Yang mana? Kok, fotone Sugar Daddy semua?”

Matanya sampai melotot memperhatikan foto profil satu persatu, kebanyakan bapak-bapak, serta orang luar negeri.

Jari telunjuk Sriana ikut andil, menggulir ke bawah lalu menekan satu nama Zahid Bagas.

Eka mengklik foto profil. Sosok tinggi itu mengenakan pakaian winter, sedang memegang papan ski di perbukitan salju.

“Duh Gusti, nek jalur darat macet, kulo siap lewat laut, nek penuh juga, tak otw jalur langit, nek terkendala hujan petir, ya ambil jalan pintas – jalur sesat!”

Ha ha ha ….

Dimas, Wulan sampai memegangi perut. Mereka terpingkal-pingkal. Sedangkan Sriana memukul pundak Eka.

Selang beberapa saat, Eka masih sibuk me stalking akun media sosial Zahid Bagas. Sriana lanjut berdiskusi mengenai buah hatinya.

“Kalau menurut mas Dimas oke, aku manut. Sekalian tak kirim yang empat juta untuk sebulan kedepan, ya?”

Wulan langsung menyela. “Kalau kamu ndak keberatan, kirim perminggu saja Sri. Takutnya aku khilaf, malah nanti hubungan kita renggang. Akhir pekan, kamu bisa transfer satu juta dulu, lanjut minggu berikutnya.”

Sriana pun setuju. “Mas Dimas, aku mau minta tolong – selidiki hasil panen yang dijemur di depan rumahku itu sumbernya dari mana? Apa mereka beli, atau punya kebun sendiri.”

Dia teringat jemuran padi dan jagung kala video call dengan Septian melalui ponsel Dwita.

Pria berambut gondrong ikal, kumis tipis, kulit coklat gelap itu menyanggupi. Adanya motor, akan memudahkannya dalam membantu Sriana.

Hari itu, untuk pertama kalinya Sriana melihat sendiri meskipun melalui video call – Septian tertawa renyah, berenang bebas, menggendong Gilang seraya bermain air. Anak lajangnya benar-benar bahagia selayaknya anak-anak seusianya.

Sriana sengaja tidak membahas tentang memulung, menganggap apa yang dilakukan Septian sebagai bentuk kasih sayang seorang kakak ke adiknya, memperkuat jalinan kasih saudara kandung.

Bukan dia kejam, tapi jika dirinya bertanya – Septian pasti dihantam rasa malu, dan hal tersebut rentan merenggangkan hubungan ibu dan anak, sebab pribadi si sulung sangat tertutup, sedikit sensitif.

Sedangkan si bungsu, asik makan. Mengunyah tahu isi, mencicipi rawon semangkok berdua dengan budenya, lalu bermain perosotan yang diletakkan di kolam renang.

Ibu dua anak itu terharu, ikut merasakan kebahagiaan yang mungkin tidak bertahan lama, sampai mereka kembali kerumah, bersiap menghadapi dalang pemberi luka.

Dalam keterbatasan jarak, sempitnya ruang gerak, minimnya komunikasi – Sriana terus menyibak semak berduri demi mencapai jalan berliku menuju secercah harapan, cahaya di ujung sana.

Kali ini, dia kembali memberikan kepercayaan, bukan teruntuk keluarga kandung maupun para orang yang telah hidup belasan tahun bersamanya, tetapi dia tumpukan harapan itu kepada para sahabatnya.

Wulan, mas Dimas, dua sosok yang dia minta, sampai dirinya memohon – tolong jaga harta berharganya. Walaupun dia tahu, uang yang diberikan itu tidaklah sepadan bila dibandingkan usaha sepasang suami-istri melakukan hal senatural mungkin, agar tidak menarik perhatian para manusia durjana demi melindungi Septian dan Ambar Ratih.

Tepat pukul dua belas siang, panggilan video yang sudah berjam-jam itu diakhiri. Terlihat sekali keengganan Septian serta Ambar. Mereka mencoba berbesar hati, berusaha ikhlas serta meyakini kalau perpisahan ini hanyalah sementara saja.

Setelahnya, Eka dan juga Sriana – melipat lagi tenda camping, mereka akan pergi ke klinik kecantikan.

“Mbak Sri … tinggal pilih ini, mas Zahid atau Koko sipit? Yang satu jelas duda bersertifikat, tapi satu lagi statusnya apa, Mbak?” dia berniat menggoda.

Sriana tengah memasukan kabel charger ke ponselnya. “Mbuh, Ka. Coba kamu tanya sendiri ke orangnya.”

“Ndak takut tak tikung ta, Mbak?” Ia terkikik. “Kayaknya dia pria premium bukan tipe laki-laki mokondo. Isi media sosialnya ndak ada foto alay, pamer duit, kata-kata puitis, nyindir sana-sini, ciri mulut lemes lah.”

“Kenapa mesti takut? Wong dia bukan siapa-siapa ku. Kalau Paijo mu di ganggu orang kamu was-was ndak?” ia gantian bertanya.

Eka menjinjing tas besar berisi tenda camping, dia berhenti sebentar menoleh ke Sriana.

“Kalau memang Paijo tergoda, ya tak sedekahkan sekalian! Aku ini punya modal loh Mbak buat dapetin yang lebih dari dia – bahasa kantonis ku lancar, Inggris jago, terus kulit ku sawo matang, incarannya mas-mas bule. Jadi, ya santuy. Hilang satu tumbuh seribu. Laki-laki ndak cuma dia, yang lebih kaya, tampan, banyak.”

Sriana terkikik, dia suka kepercayaan diri Eka. Dibuangnya sampah pada tempatnya, lalu bersama berjalan ke tepi jalan raya hendak menyetop taksi.

***

“Seketika aku merasa langsung kere (miskin), Ka.” Sriana mengangkat paper bag berisi perawatan wajahnya yang baru. Dia baru saja keluar dari klinik kecantikan milik warga lokal.

“Ha ha ha … kalau mau cantik itu ya butuh modal, Mbak.” Eka terkikik melihat sorot masam netra Sriana yang baru saja merasa seperti dirampok.

Untuk satu set perawatan wajah dan lotion, Sriana harus mengeluarkan uang kurang lebih dua juta rupiah. Krim yang dibeli bukan untuk memutihkan, tapi khusus mengobati jerawat serta mengembalikan kelembaban, memperbaiki jaringan kulit rusak.

Sriana dan Eka, benar-benar menghabiskan hari itu dengan jalan-jalan, sedikit shopping, makan di restoran Thailand, mencoba ikan asam manis pedas. Hingga pukul setengah sepuluh malam baru mereka sampai rumah.

***

“Masih inget muleh (pulang) to, Sri? Tak kira kamu tersesat, lupa jalan sampai lewat jam masuk rumah baru nampak batang hidungnya. Kok mau-maunya dirimu liburan bareng Eka, ndak takut apa digosipin warga satu desa ...?”

.

.

Bersambung.

1
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦🅕🅗🅐🅝ˢ⍣⃟ₛ§𝆺𝅥⃝©🦐
MasyaAllah. baiknya majikannya
Medi eftita
🤣tambah seru ceritanya
Marlina Prasasty
kau mengantung kisah lagi 🤦🤦🤦
Medi eftita
suami ny pasti selingkuh
Marlina Prasasty
🤪😬tak tambahin🤭🤭
Marlina Prasasty
klw berbicara uang,mata agung berbunga² ky banci sj🤦
Medi eftita
🤣🤣 suami macam apa sii
Y.S Meliana
klo udh ky gini mulai dek dekan 😅
novel destiny
voalahhhh... akhirnya manusia2 jahat berkumpul semuaa..
semoga ambar Ratih sama septian selalu kuat yaaa..
mampu bertahan sampai bunda nya sampai ke rumah kembali..
itu part terakhir kok ya laki begitu yaa.. bukannya dia yg pontang panting cari nafkah, malah ngegerus istrinya ampe ke sari2 nya.. weedaannn
Y.S Meliana
enak bgt klo ngomong, bikin mules denger'y 😤
Y.S Meliana
tak remed cangkemu hay wahai pria mokondo 😤
mudahlia
budalo dwe
mudahlia
malu lah pa'ok
mudahlia
kolam ikan apa kolam buaya
Y.S Meliana
jd gmna Tri? ayangmu itu ksh jln keluar g 😌😌
bunda fafa
misi apa yg kalian jalankan mas Tian dek ambar? buruan..keburu dtg para manusia dajjal itu🤦😤
bunda fafa
wah ada detektif ini😁👍Dimas atau Wulan ini?
bunda fafa
anggota keluarganya bener2 🤦🤮
bunda fafa
sesama gatal ketemu...jadi lah ulet bulu kuadrat🤮
bunda fafa
yess...mantull... biarkan mokondo itu terhempas jd gembel jalanan 🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!