Cintanya itu harusnya menyatukan bukan memisahkan, kan? Cinta itu harusnya memberi bahagia bukan duka seumur hidup, kan? Tapi yang terjadi pada kisah Dhyaswara Setta dan Reynald de Bruyne berbeda dengan makna cinta tersebut. Dua orang yang jatuh cinta sepenuh jiwa dan telah bersumpah di atas darah harus saling membunuh di bawah tuntutan. Siapakah yang menang? Tuntutan itu atau cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caeli20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep.13 : Rencana Yudistira
Dhyas berjalan menyusuri jalan setapak kecil itu sambil sesekali memperbaiki selendang di dadanya yang ditiup angin malam.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara gemerisik dari balik semak-semak. Dhyas terus berjalan seolah-olah tidak mendengar. Lalu sebuah tangan besar membekapnya dari belakang dan segala sesuatu menjadi gelap.
Ternyata bukan hanya seorang. Mereka ada dua orang pria bertubuh tinggi besar. Dengan cekatan mereka menggulung tubuh Dhyas dengan tikar yang sengaja mereka bawa.
Parman, seorang preman bertubuh tinggi besar, setengah berbisik pada temannya,
"Misi berhasil. Kita segera bawa perempuan ini pada Meneer. Biar komisi kita cair malam ini juga,"
Temannya mengangguk. Keduanya pun bahu membahu menenteng tikar itu. Tak jauh dari situ, sebuah mobil open cab sudah menunggu. Parman dan temannya meletakan tikar itu perlahan di atas mobil. Lalu keduanya ikut naik.
"Selesai. Langsung jalan," perintah Parman pada teman supirnya.
**
Mata Meneer Lorens berbinar melihat gulungan tikar yang ada di hadapannya. Para preman itu diperintahkan membawa Dhyas yang sedang pingsan ke rumah Meneer Lorens, bukan ke kantornya.
Meneer Lorens dengan otak mesumnya sedari tadi menunggu dengan tidak sabaran. Biasanya dia mengambil wanita berwatak lembut untuk menjadi pemuas nafsunya. Tapi malam ini, dia akan melakukannya dengan wanita berwatak keras, jago berkelahi, dan rasa tomboy, sesuai gambaran dari Lukman.
Meneer Lorens mulai membayangkan sensasi yang berbeda dari permainannya di malam ini.
Dia mengusap kedua tangannya, tanda tidak sabar untuk membuka gulungan tikar itu. Matanya berkilatan. Ada nafsu memangsa yang cukup besar terlihat di sana.
"Bukalah," perintah Meneer Lorens.
Parman maju dan mulai menyingkap tikar itu. Parman tersentak ke belakang begitu tikar itu dibuka. Meneer Lorens dan yang lainnya pun ikutan terkejut.
"Lukman??? Apa-apaan kalian ini! Mau mempermainkan ku ya?? Aku menyuruh kalian menangkap seorang perempuan. Perempuan tulen. Bukan banci kaleng ini. Kamu pikir aku ada kelainan??," amarah Meneer Lorens bangkit. Wajahnya memerah. Keinginan untuk bersenang-senang dengan tubuh Dhyas menguap sudah.
Kenyataannya, para preman yang dia bayar salah menangkap mangsa.
"Ma..ma..maaf, Meneer. Kami..kami tidak bermaksud mempermainkan Meneer..tapi...," Parman kikuk. Dia sendiri pun kaget.
"Halah! Banyak alasan! Dasar pribumi! Selalu tidak becus mengerjakan tugas! Bawa bencong ini keluar. Biarkan dia tidur di teras!,"
**
FLASHBACK ON
Cakra menemui Yudistira dan menceritakan apa yang sudah dia dengar dari Dhyas.
"Keterlaluan! Pikiran orang-orang itu memang hanya dipenuhi dengan sampah. Penuh kelicikan!," pipi Yudistira memerah.
"Kalau tidak ingat ini akan jadi masalah panjang, aku ingin datang langsung ke sana dan menghajar si Belanda itu dengan tanganku sendiri," Cakra berbicara dengan menggertakan giginya.
"Jangan gegabah. Kalau mereka licik, kita harus hadapi dengan akal. Jangan dengan emosi. Selama kita menghadapi kelicikan dengan emosi maka kita akan selalu kalah," Yudistira menasihati.
"Kamu ada ide?,"
"Ada. Aku kenal seseorang laki-laki yang berperawakan seperti perempuan. Aku mengenalnya karena rumahnya tak jauh dari rumah kami. Lelaki itu selalu kemana-mana dengan selendang. Aku akan sengaja membuat janji dengan laki-laki setengah matang itu agar dia melewati jalan yang biasa Dhyas lalui. Aku yakin mereka akan melakukannya pada malam hari. Kemungkinan besar selepas Maghrib. Kita akan buat dia melewati jalan itu. Jalanan setapak menuju rumah Dhyas kan kurang pencahayaan. Di area situ pasti menjadi tempat yang pas untuk mereka melakukan penyergapan. Dalam cahaya yang sangat minim, orang tidak bisa membedakan laki-laki atau perempuan. Apalagi sama-sama membawa selendang,"
"Tapi bagaimana caranya agar mereka tahu bahwa Dhyas akan melewati jalan itu,"
"Cakra, sebelum melakukan aksinya, biasanya mereka akan melakukan pemantauan terlebih dahulu. Mereka akan mensurvei langsung kebiasaan Dhyas. Jadi siang ini, buat Dhyas melewati jalan setapak itu berkali-kali. Buat pikiran mereka berpikir bahwa itu memang kebiasaan Dhyas. Menjelang sore, Dhyas menetap dulu di padepokan. Buat mereka semakin yakin kalau Dhyas akan melewati jalan itu pada malam hari untuk pulang,"
"Apa itu akan berhasil?,"
"Memang sedikit random. Tapi dengan tahu pola pikir musuh, kita akan bisa menaklukannya. Kita harus jadi mereka untuk bisa membaca siasat mereka,"
Cakra berpikir sejenak,
"Baiklah. Kita buat sesuai rencana. Aku akan bicara pada Dhyas, dan kamu akan menemui bencong itu,"
"Ya. Kita lakukan sekarang,"
"Ehm..oh ya Yudis, aku hanya mau mengingatkan...,"
"Apa itu?,"
"Hati-hati. Jangan sampai bencong itu jatuh cinta sama kamu," Cakra terkekeh
"Sialan,"
Di tempat yang lain,
Lukman membawa tiga orang preman ke hadapan Meneer Lorens,
"Meneer.. mereka yang akan menjalankan misi kita malam ini,"
Meneer Lorens yang sedang duduk di kursi kerjanya, melirik ke arah tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Setelah berpikir sejenak, Meneer Lorens berdiri,
"Kamu sudah jelaskan apa yang akan mereka lakukan, Lukman?,"
"Sudah, Meneer,"
"Dan kalian mampu?," Meneer Lorens menatap ketiganya.
"Kami siap dan mampu, Meneer," jawab pria bernama Parman.
"Bagaimana rencananya, Lukman?,"
Lukman menyelipkan rambut secuilnya ke belakang telinga dengan jari lentiknya,
"Begini Meneer, mereka kan belum pernah melihat wanita itu. Jadi siang ini, aku akan membawa mereka akan mengintai wanita itu agar tahu jalan mana yang biasanya wanita itu lalui,"
"Eksekusinya?,"
"Malam hari Meneer. Mereka harus stand by sebelum Maghrib,"
"Pastikan saja aman dan namaku tidak terseret. Paham?,"
"Paham, Meneer,"
Setelah keluar dari ruangan, Lukman memberi petunjuk kepada mereka bertiga.
"Kita akan ke rumah anak carik desa itu. Kalian pantau aktivitasnya. Dengar-dengar dia anak padepokan Giri Wening. Pasti dia biasanya bolak-balik rumah dan padepokan. Intai jalur jalan yang biasa dia lalui. Lalu sebentar malam, kalian sergap dia di jalur gelap,"
"Baik, bos. Jadi ciri-cirinya, dia tinggi, rambutnya sering dicepol, dan memakai selendang di dadanya,"
"Yupp. Betul sekali. Kamu pintar deh," Lukman mencolek dagu Parman.
**
Siang itu Yudistira sengaja berdiri di jalan yang tak jauh dari depan rumahnya. Kepalanya celingak-celinguk seperti sedang menunggu seseorang.
Tak berapa lama, yang ditunggu pun datang. Berjalan sambil lenggak-lenggok layaknya wanita.
"Hei kamu," teriak Yudistira.
Yang dipanggil berhenti menatap arah suara,
"Aku?," tanyanya ke arah Yudistira.
"Iya, kamu," jawab Yudistira menunjuk ke arahnya.
Dia pun menghampiri Yudistira dengan gaya centilnya,
"Kenapa panggil-panggil ganteng?,"
"Ehmmm. Kita sudah lama bertetangga. Tapi kita jarang bertemu,"
"Oh begitu. Lalu kenapa memanggilku?,"
"Ehmm. Aku mau mengrnalkanmu pada seseorang,"
"Seseorang? Kenapa? Untuk apa? Mengapa? Bagaimana?," tanyanya dengan suara sengau.
"Temanku. Teman cowok. Dia ingin punya kenalan teman dekat 'cowok' juga," Yudistira memberi penekanan.
Mata lawan bicaranya berbinar mendengar itu,
"Teman dekat cowok?,"
"Iya. Mau aku kenalin?,"
"Siapa yang bisa menolaknya, ganteng,"
"Baik. Dengar, kamu tahu rumahnya pak Carik desa?,"
"Tahu. Yang mereka panggil Cak Din itu, kan?,"
"Ya, betul. Tak jauh dari rumah pak Carik, ada jalan setapak kecil menuju sungai Giri. Sebelum Maghrib, kita ketemu di situ,"
Lawan bicaranya, Lukman, berpikir sejenak.
Bukankah area eksekusi anak si carik ada di sekitar situ. (Lukman).
"Bagaimana? Kalau tidak tertarik ya sudah. Dia ganteng dan maco loh. Blesteran lagi," imbuh Yudistira.
"Maco? Blesteran?," mata Lukman bersinar.
Yudistira mengangguk,
"Kalau kelamaan mikir berarti kamu menolak. Aku cari lain saja,"
"Eh, eh, tunggu dong ganteng. Aku kan cuma berpikir sebentar. Boleh, boleh. Setelah Maghrib aku ke sana,"
"Beneran ya? Supaya aku bisa sampaikan padanya,"
"Kenapa gak ketemu siang aja sih, ganteng. Malam-malam di situ gelap loh,"
"Nah di situ bagian penting nya. Kalau ketemu siang, apa kata orang-orang. Kamu mau kalau kalian lagi bermesraan terus ada yang lihat,"
Lukman tersipu malu,
"Iih ganteng bisa saja. Boleh, boleh. Setelag Maghrib aku pasti ke sana,"
"Oh ya, pakai selendang yang biasa kamu pakai sebagai penanda. Usahakan pakai warna yang gelap,"
"Selendang?,"
"Iya, untuk penanda saja. Supaya temanku itu bisa mengenali kamu,"
"Selendang untuk mengenaliku?,"
"Hadehh..banyak tanya lagi artinya batal nih," ancam Yudistira.
"Ehhh... Jangan begitu dong. Ganteng-ganteng ngambekan. Iya iya, aku ke sana bawa selendang,"
"Warna gelap,"
"Iya, warna gelap,"
"Beneran ya,"
"Iya, sumpah," Lukman terkekeh. Matanya berbinar-binar.
**
"Kira-kira bisa berhasilkah? Ide Yudis sangat random," tanya Dhyas ragu-ragu.
"Kita coba saja dulu. Kalau tidak berhasil, kita lawan pakai cara kita. Kekerasan," jawab Cakra sambil mengepalkan tangannya.
Dhyas tertawa kecil,
"Ingat kata Yudis, kita lawan kelicikan dengan akal bukan dengan kekerasan,"
"Aku emosi mendengar rencana mereka. Aku tidak bisa terima niat mereka untuk mencelakakan kamu. Kita tahu kan apa maksud si Belanda itu. Dia mau memperkosa kamu," air muka Cakra berubah marah.
Dhyas menepuk pundaknya,
"Aku juga bukan anak kecil. Tidak mungkin aku membiarkan diriku diperkosa begitu saja. Yah aku lawanlah,"
Cakra menatap Dhyas,
"Jaga dirimu baik-baik sampai hari pernikahan kita nanti,"
Dhyas tertegun,
"Menikah?,"
"Iya. Kamu pikir aku tidak ada rencana menikahimu? Yah kali tidak ada. Aku hanya menunggu usiaku cukup lalu aku akan menikahimu. Lalu kita akan punya anak dan hidup bahagia.
Dhyas merona.