Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Ketiga Puluh
# 30
TEGAL SAMANGANTU / HUTAN SAMANGANTU, terletak di sebelah Utara PASAR CIBANYAK, termasuk dalam wilayah Kadipaten Sembawa. Sekalipun disebut hutan / tegal, namun lebih mirip sebuah lembah yang sebagian besar ditumbuhi oleh tanaman – tanaman paku / pakis dan bambu. Sebuah tempat yang tidak cocok untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk. Sepanjang musim kemarau, siang hari cuacanya panas menyengat; Sepanjang musim hujan cuacanya begitu dingin; Akan tetapi, di saat pertengahan musim seperti sekarang, cuacanya menjadi serba tak menentu, belum lagi hewan – hewan buas dan liar yang ada disana.
Dengan menuntun kudanya, Permadi menyusuri jalanan berbatu, berulang kali Nenek tua yang mengaku bernama NINI WALUH IRENG itu mengendarai kuda bersama, namun, Permadi menolak. Sebenarnya, kaki – kaki Permadi sendiri sudah pegal – pegal pada betisnya, bukan karena menaruh hormat pada Nini Waluh Ireng, juga harga dirinya yang menolak kebaikan Nenek itu, akan tetapi, ia merasa jijik dengan pakaian kumal yang dikenakannya. Tapi, karena kelicikannya, ia berhasil menutupi perasaannya itu. Hingga akhirnya, tibalah mereka di TEGAL SAMPANGANTU yang lengang, tak nampak bayangan manusia atau rumah penduduk. Yang nampak hanyalah bentangan tanaman – tanaman bambu dan paku dengan latar belakang bukit dan pegunungan.
“Nek, kita sudah sampai di Tegal Sampangantu,” kata Permadi.
“Benarkah ?” tanya Nini Waluh Ireng.
“Permadi, terima kasih karena kau sudah mengantarku yang tua, renta dan buta. Tolong bantu aku turun dari kudamu, setelah itu ... segera tinggalkan tempat ini. Sebaiknya, kau jangan ikut campur urusan keluargaku,” setelah berkata demikian Nini Waluh Ireng mencoba untuk melompat turun dari kuda, nyaris saja terjatuh apabila Permadi tidak segera membantu.
“Nek, jangan keras kepala. Saya sudah bertekad bulat untuk membantu menemukan cucu nenek dan memberi pelajaran kepada para sampah masyarakat itu,” tandas Permadi.
“Kalau begitu, terserah kau, Permadi ! Jika kau celaka ... aku takkan bertanggung jawab. Kau, sudah aku peringatkan !” kata Nini Waluh Ireng kesal sambil berjalan terseok – seok meninggalkan Permadi yang memandanginya sambil menggeleng – gelengkan kepala.
“Dasar, orang tua yang keras kepala. Jika aku ingin membunuhmu, mudah sekali. Jika seandainya aku tidak ingin melepaskan diri dari rombongan Raden Bentar, aku tak ambil peduli padamu, tua bangka... kubiarkan saja sampah tidak berguna sepertimu menjadi bangkai,”
Gumam Permadi sambil mengikuti Nini Waluh Ireng dari belakang. Akan tetapi ...
“Hei, kemana Nini Waluh Ireng pergi ? Bukankah dia tadi berada di depanku ? Menghilang kemana dia ?” kata Permadi sementara pandangannya menyapu ke sekitar, menoleh kesana – kemari mencari keberadaan Nini Waluh Ireng. Tapi, tubuh wanita tua renta itu bagai lenyap ditelan bumi. Mendadak ...
“SING.... SING.... SING....”
Tiga berkas cahaya putih keperakan meluncur deras bak anak panah terlepas dari busur ke arahnya. Permadi terkejut, buru – buru bersalto dua sampai tiga kali ke belakang untuk menghindarinya.
“Cap ! Cap ! Cap !”
Tiga sinar putih keperakan yang ternyata adalah tiga buah pisau belati berwarna putih itu berhasil dihindari dan menancap ke sebuah batu karang.
“Kurang ajar !” umpatnya, “Seseorang melemparkan tiga buah pisau belati dari jarak yang cukup jauh ... namun, bisa menembus semak belukar dan kayu. Menancap begitu dalam pada batu karang yang keras itu. Jika batu karang itu tubuhku ... bisa dibayangkan akibatnya, dan ...” katanya sambil mengamati salah satu belati yang menancap pada batu karang itu. Bentuknya, sama persis dengan belati yang melukai Shakila. Dapat ditarik kesimpulan, pelempar belati itu bisa jadi adalah orang yang sama.
Permadi geram, wajahnya merah padam, ia mencoba untuk mencabut belati itu, tapi, tampaknya tidak mudah. Ia mengeraskan jari jemarinya, dalam waktu singkat tangan – tangannya diselimuti oleh warna merah dan kembali bergerak mencabut belati itu. Dan, berhasil. Pandangan pemuda itu nyalang penuh amarah dan mencari dimana pelempar gelap itu bersembunyi.
Baru saja Permadi hendak membuka mulutnya, bermaksud untuk menyuruh si penyerang gelap keluar ... berkelebatlah enam sosok bayangan, mereka keluar dari semak belukar yang jaraknya dua tombak di depan Permadi. Mereka berlompatan dari pohon satu ke pohon lain dan dalam sekejab sudah berdiri di hadapannya. Tak seorang pun dari mereka dikenal oleh Permadi. Pandangan matanya begitu dingin, Nini Waluh Ireng tidak nampak diantara mereka.
“Selamat datang di TEGAL SAMPANGANTU, orang Madangkara atau mungkin kau lebih suka dipanggil Raden Permadi, Putera Raja Sisikadila dari Kuntala,” kata seorang pemuda bertubuh jangkung dengan bekas luka memanjang dari kening kiri hingga pipi kanannya. Dia adalah PALAWA, salah satu murid kesayangan MAHALI, SI GOLOK SETAN TERBANG dari Hindustan.
Air muka Permadi berubah, selama ini hanya orang – orang tertentu saja yang mengetahui identitasnya sebagai orang Kuntala. Terlebih setelah mengusir Widura dari Madangkara. Akan tetapi, sekalipun dalam mimpi, sama sekali tak disangkanya, dalam waktu singkat, sudah banyak orang yang mengetahuinya. Mungkinkah ini akhir dari perjalanan SEPASANG WALET PUTIH ?
“Mengapa wajahmu berubah, Permadi ? Apakah kau akan membunuh kami juga karena tahu identitasmu ?” tanya Palawa.
Permadi tertawa tawar, “Siapakah kalian berenam ini ? Apa maksud kalian dengan menghadang perjalananku ini ? Ada banyak orang yang bernama Permadi di Jawa Dwipa ini, mungkinkah kalian salah orang ? Permadi yang kalian maksud, bukanlah aku melainkan orang lain. Kebetulan sekali, namaku juga Permadi ...” dalihnya.
Keenam orang itu saling pandang sesaat, tak lama kemudian Palawa tertawa, “Ha... ha... ha... ha... masih juga kau berdalih. Kami tidak salah mengenalimu. Boleh jadi Permadi di dunia ini banyak sekali, akan tetapi ... mereka lebih baik darimu dan mereka tidak mungkin memiliki Jurus Jari Besi seperti yang kau miliki,”
“Siapa yang tidak kenal dengan salah satu keturunan orang nomor satu saat Kerajaan Kuntala berjaya ... Orang lain dapat kau tipu, tapi, kau tidak bisa menipu kami. Sisikadila adalah seorang Raja yang memerintah Kuntala dengan tangan besinya, culas dan licik.... akan tetapi, kau lebih licik dan kejam. Ayah dan anak sama saja,” kali ini laki – laki paruh baya bertubuh kurus kering yang berdiri di samping pemuda bercodet itu. Sejak tadi ia menyembunyikan kedua tangannya di balik lengan baju dan meletakkannya di dada. Sepasang matanya bulat seakan hendak keluar dari tempatnya karena kurus sekali, ia mirip sekali dengan tengkorak hidup. Suaranya parau bak suara burung gagak.
“Untungnya, Kerajaan Kuntala sudah ditaklukkan oleh persekutuan 6 negara kecil yang dipelopori oleh Brama Kumbara dari Kerajaan Madangkara. Kerajaan dari Kulon itu telah membebaskan rakyat dari segala penindasan dan penderitaan. Sayang sekali, Gusti Prabu Brama Kumbara sudah lama wafat. Penerusnya, Prabu Wanapati ... tidak sebijak dan searif ayahandanya,” sambung pemilik suara parau itu.
“Jurus Jari Besi ? Seperti apakah itu ? Mengapa aku baru mendengarnya ? Melihat gerakannya pun belum pernah dan siapa pula, kau, Tuan ? Sepertinya Anda lebih mengenal Madangkara daripada saya yang sudah cukup lama tinggal di Madangkara,”
“Oh, begitu ?!” ujar salah seorang pria paruh baya dengan ikat pinggang rantai besi, “Kau bisa menipu dan berlagak bodoh pada semua orang termasuk orang – orang Madangkara yang tolol dan bodoh itu. Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi kami ! Jika kau bukan Permadi Si Jari Besi, tidak mungkin kau bisa mencabut BELATI MERPATI PUTIH yang menancap pada batu karang itu,”
“Hah ! Belati Merpati Putih ?!” seru Permadi sambil meraba belati yang tadi ia cabut dan kini terselip pada pinggang kirinya. Ia tak mampu berdalih lagi. Ingatannya tertuju pada si pemilik belati itu juga bagaimana Shakila mengorbankan diri demi menyelamatkan Prabu Wanapati dari maut.
“Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa kau adalah Permadi, Si Jari Besi. Orang Kuntala yang kami cari – cari. Kau tak mungkin lagi bisa berdalih,” kali ini pria dengan kujang emas terselip di pinggang kanan angkat bicara, “Kami sudah lama mengikuti kalian mulai dari Madangkara hingga ke Tegal Sampangantu ini. Biarlah tegal ini menjadi tempat peristirahatanmu yang kekal dan abadi !”
Setelah berkata demikian, laki – laki itu melompat dan menyerang ke arah Permadi dengan kujang emasnya. Permadi sama sekali tidak menduga datangnya serangan yang dilancarkan secara beruntun. Ia berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut, akan tetapi, baju sutera bagian pinggang sebelah kanannya terkoyak. Wajah Permadi merah padam, selama ini ia selalu membangga – banggakan pakaian mewah yang dikenakannya. Ia selalu menjaga agar baju itu tidak kotor atau rusak dengan taruhan nyawanya, akan tetapi, kini ada seseorang yang sengaja merusaknya. Diam – diam ia merapal Jurus Jari Besinya, bersiap untuk menyambut serangan berikut.
Laki – laki berkujang emas itu menyeringai, “Beruntung hanya bajumu saja yang terkoyak, bayangkan saja jika baju itu adalah dagingmu ... Ayo, kerahkan JURUS JARI BESIMU, jika tak ingin dagingmu mengalami nasib yang sama dengan pakaianmu itu,” katanya sambil menggenggam kuat – kuat kujangnya itu. Mendadak, kujang emas itu mengepulkan asap tipis dan menebarkan aroma harum yang menyengat, warna kuningnya berubah menjadi merah menyala bak bara api, sementara, sepasang mata tuannya bagaikan mengeluarkan pancaran sinar merah, semerah darah. Untuk sesaat dua laki – laki itu berdiri berhadap – hadapan, seakan saling mengukur kekuatan lawan.
Sementara itu, di tempat dimana Raden Bentar beserta rombongannya beristirahat, tampak dua orang prajurit berjalan tergopoh – gopoh mendekati Raden Bentar yang tengah berbaring di sebuah lempengan batu datar. Dua orang Prajurit itulah yang diberi tugas oleh Raden Bentar untuk mengikuti kemana Permadi pergi dan kini mereka telah kembali untuk menyampaikan kabar penting.
“Tuanku ... Tuanku ... Tuanku Raden Bentar ....” sapa salah seorang Prajurit membangunkan Raden Bentar. Raden Bentar menggeliat bangun, “Oh, ternyata saya tertidur ... ada apa, Prajurit ?”
“Maaf, Raden ... Tuan Permadi diserang sekelompok orang – orang asing,” katanya.
Raden Bentar terhenyak, “Hei, dimana dia sekarang ?”
“Di pasar sebelah Barat tempat ini, Raden ... apa yang harus kami lakukan ? Kelihatannya para penyerangnya bukan orang – orang sembarangan,”
“Baik. Kita segera menyusul kesana, kalian semua ikuti saya, bersiap untuk membantu apabila diperlukan. Aku sendiri yang akan turun tangan membantunya dan mencari akar permasalahannya, mengapa Saudara Permadi diserang dan siapa para penyerangnya,” Setelah berkata demikian Raden Bentar memerintahkan para prajurit pengawal bergerak meninggalkan tempat itu untuk menuju arah Barat.
..._____ bersambung _____...