Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.
*
*
Seperti biasa
Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Hari ini, adalah hari jadwalnya kunjungan Almaira ke rumah Pratama. Dia pergi di temani oleh Pak Baim.
Sekarang, Almaira datang ke rumah utama untuk menemui Ibu Rita.
Dalam langkah itu, tiba-tiba dia mengingat bahwa suaminya akan pergi dalam tiga hari, itu berarti hanya tersisa dua hari.
Tiba-tiba, Rita menepuk bahu Almaira dua kali.
"Aira kamu terlambat sayang, ayah baru saja pergi. Lagipula, meskipun ayah kembali, dia akan langsung pergi lagi untuk mengurus beberapa masalah di kantor. Ayo masuk dan makan. Kamu belum makan siang, kan?"
"Ya, belum... Tapi, kenapa ibu tidak masuk untuk makan?"
"Ibu akan makan dulu, lalu pergi ke panti asuhan. Ayo masuk."
"…Baiklah."
Saat Rita melangkah lebih dulu, hp di saku cardigan Almaira bergetar sebentar. Dia melirik ke arah punggung Ibu Rita sebelum melihat pesan yang masuk.
[Sudah sampai?]
[Sudah.]
[Selesaikan urusan mu secepatnya, lalu datanglah ke kantor untuk makan siang bersamaku.]
Almaira menatap punggung Ibu Rita dengan ekspresi bingung.
"Almaira sayang, kenapa tidak jalan?"
Ibu Rita menoleh ke arahnya, melihat jarak yang kini cukup jauh di antara mereka. Almaira memilih untuk menghindar dengan jawaban yang samar.
"Aira ada urusan. Ibu makan dulu saja."
"Begitu ya, haruskah ibu memisahkan makanan untukmu?"
"Ah, tidak usah. Aira sebentar lagi akan menyusul ibu."
"Baiklah, ibu masuk duluan ya?"
"Baik ibu."
Saat Rita masuk ke dalam rumah utama, Almaira kembali melihat hp nya. Awalnya, dia sempat ragu, tapi hanya sebentar. Lalu dia mengetik balasan.
[Maaf, Aira akan menemani ibu makan.]
Sebuah kejujuran yang tidak mudah digoyahkan. Lagipula, ibunya pasti sedang menunggu di meja makan.
[Aku tidak suka jawaban mu.]
Balasan dari laki-laki itu terkesan sinis. Almaira menolaknya tetapi malah merasa cemas sendiri. Betapa anehnya.
Meskipun tahu bahwa laki-laki itu tidak akan senang, Almaira tetap menatap hpnya dengan wajah gelisah.
Saat dia masih ragu untuk membalas, pesan baru lagi masuk.
[Baiklah. Makan yang banyak. Kirim aku foto sebelum kamu makan, lalu nikmati makanannya. Nanti malam, kamu temani aku makan.]
Belum sempat selesai mengetik jawaban, balasan pesan baru masuk, terpampang di layar.
[Jawab?]
Almaira menghela napas panjang. Dia bisa membayangkan ekspresi Yaga di seberang sana, sedikit tidak sabar, sedikit menuntut, tetapi tetap menginginkannya.
Almaira tersenyum kecil, lalu akhirnya dia mengetik
[Baik, Aira akan menunggu di rumah. Selamat makan siang.]
Almaira segera mematikan layar hpnya dan menyimpannya kembali ke dalam saku cardigan. Lalu kemudian, dia berjalan masuk melewati pintu rumah utama.
***
"Baiklah."
Yaga menatap pesan yang baru saja bicara seperti itu sebelum meletakkan hpnya.
Dia kembali teringat pada amplop tebal yang ditemukan di kamar Almaira, yang sempat dia tempati dengan harapan dunia tidak akan mengusik tidur lelap seseorang.
Summer Blossom
Toko bunga itu di kelola oleh Anna, putri satu-satunya keluarga Bernard, enam tahun lalu.
Membuka usaha tersebut sebagai bentuk kasih sayang terhadapnya, agar bisa membina dirinya sendiri demi meraih kesuksesan di usia muda.
Beberapa nama orang yang pernah bekerja di toko bunga itu tercantum dengan jelas.
Jika saja hanya sampai di situ, mungkin tidak akan terlalu mencurigakan.
Setelah mengembalikan dokumen itu ke tempat semula, Yaga menatap setumpuk amplop kosong di meja ruang kerjanya.
Setumpuk amplop yang di temukan oleh Bibik di tempat sampah.
Setelah mencari tahu, uang yang dia gunakan untuk biaya pengobatan Amera dulu ternyata hasil jeri payahnya sendiri selama dia bekerja di toko bunga itu.
Namun, jika mengingat Amera mengunjungi rumahnya pada tengah hari kemarin, ada rasa dingin yang menjalar di tengkuknya.
Seperti beban berat yang bergerak perlahan ke kiri dan kanan, pikirannya terus berayun di antara sosok Almaira yang dia kenal dan Amera yang mungkin dia abaikan.
Dalam kebisuan itu, suara dentangan jam dinding seolah bergema di telinganya, mengiringi pertanyaan-pertanyaan yang kian berlipat.
Tiba-tiba..
Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian Yaga.
Dia mengangkat kepala, mendapati Sekretaris Gan mengintip dari celah pintu dengan ragu.
"Tuan Muda, ayah Anda baru saja berangkat ke kediaman Pak Bram."
Yaga mengangguk kecil, lalu bangkit dari tempatnya. Dia meraih kertas memo dan pena yang tergeletak di atas meja di depan sofa.
Dengan gerakan tegas, dia menekan ujung pena dan menuliskan sesuatu di atas memo. Itu adalah nomer rekening Almaira
"Ini."
Dia menyerahkan memo itu kepada Sekretaris Gan.
Seketika, sosok Amera melintas di pikirannya, tatapan matanya yang penuh ambisi. Jika dirinya cukup licik untuk memanfaatkan kebaikan istrinya demi menutupi kasus itu. Maka apa lagi yang akan dia lakukan saat bertemu Almaira.
"Tuan muda? Ini..."
"Hubungi Sekretaris Bima dan minta dia untuk memeriksa seluruh riwayat transaksi yang keluar dari nomor rekening ini dalam beberapa hari kebelakang."
"Baik, saya mengerti."
Sekretaris Gan tampak penasaran tentang siapa pemilik nomor rekening itu, tetapi Yaga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Sebagai gantinya, dia berdiri dan kembali membuka suaranya.
"Gan"
"Ya Tuan muda, ada perintah lain?"
"Cari tahu diam-diam, apa saja yang di lakukan Amera di rumah pada istriku kemarin."
"Di rumah Anda?"
"Ya. Secepatnya."
Setelah mengangguk, Yaga melewati Sekretaris Gan dan keluar dari ruangan. Saat berjalan menyusuri koridor yang remang-remang, dia kembali mengingat ekspresi wajah Almaira tadi malam.
Suaranya yang lirih, terisak dalam kegelapan. Ucapannya yang penuh tekanan meminta lebih banyak hukuman agar di maafkan.
Keraguannya semakin berat. Jika itu karena rasa sayang, rasanya bukan sesuatu yang biasa dia lakukan.
Kenapa wajahmu yang tersembunyi di balik bayang malam itu, justru terlihat seperti orang yang menyesal setelah melakukan kesalahan besar?
Dengan sorot mata dingin, Yaga melangkah keluar dari perusahaannya.
***
Menjelang malam, hp bergetar terus menerus. Almaira sudah tahu siapa yang menelepon bahkan sebelum melihat layar hpnya.
Dengan ekspresi datar, dia mengambil hp dan memastikan bahwa tebakan itu benar.
Suamiku, dia mengucapkan nama itu dalam hati sebelum menyambungkan panggilan. Pasti laki-laki itu menelepon untuk mengingatkan.
"Halo"
_ Sedang menunggu di meja makan?"
Dia langsung bertanya tanpa basa-basi.
Almaira menutup buku yang ada di tangannya.
"Belum, Aira masih di dalam kamar."
_ Membaca buku?
"Ya."
_ Bereskan dulu. Aku akan pulang menemui mu.
"Apa?"
_ Kenapa?
"Kak Yaga mau datang ke sini? Ini masih sore kan?"
_ Apa masalahnya? Namanya juga suami istri.
Di ujung telepon, Yaga terkekeh, seolah menganggap tidak masuk akal bahwa dia masih perlu menjelaskan hal seperti ini.
Reaksinya membuat Almaira sedikit terkejut, lalu jantungnya berdegup tak menentu. Seolah ada hembusan angin yang menyelinap masuk ke dalam hatinya.
Sebelum dia sempat membalas, Yaga sudah menyebutkan lokasinya. Rupanya, dia sudah berada di lorong dekat pintu kamarnya.
Dengan cepat, Almaira meletakkan bukunya di atas meja. Saat dia berjalan, Yaga sudah berdiri di depan pintu.
Begitu dia membuka pintu, laki-laki itu menurunkan hpnya dan mengakhiri panggilan. Wajah yang melihat ke arahnya dihiasi dengan senyum tipis.
"Akhir-akhir ini, kamu lebih suka membaca buku di kamar mu, ya?"
"Membaca buku akan lebih rileks jika dilakukan di dalam kamar. Ah, bisa tunggu sebentar? Aira harus merapikan semuanya dulu."
Dia masih harus membereskan sampah bekas cemilan ringan di meja belajar. membersihkan tangannya, dan mungkin merapikan tempat tidurnya.
Namun, sebelum sempat beranjak, kehadiran Yaga yang mendadak membuatnya gugup.
Saat dia tergesa-gesa, laki-laki itu melirik ke arah ruang belajar dan mengisyaratkan sesuatu dengan dagunya.
"Kalau kamu izinkan, boleh aku melihat-lihat?"
"Kenapa harus?"
"Tidak boleh?"
Almaira ragu sejenak. Ingatan tentang pertemuannya dengan Almaira di dalam ruangan itu membuatnya merasa sesak.
Akhirnya, dia menatap mata Yaga sejenak sebelum mengangguk.
"Boleh, Kak Yaga masuk saja."
Yaga berjalan masuk dengan postur tegap, lalu perlahan mengamati sekelilingnya.
Meskipun dia sudah melihat tempat ini di pagi hari, laki-laki itu tetap memperhatikan setiap sudut seolah baru pertama kali masuk.
Ruang belajar itu tidak banyak berubah sejak pagi. Jika ada sesuatu yang harus disembunyikan, dia pasti sudah menyingkirkannya lebih dulu.
Namun, amplop tebal yang sempat dia lihat pagi tadi masih tergeletak di tempat yang sama.
"Ku dengar, kamu mempersilahkan Amera masuk ke ruang ini kemarin. Mereka juga bilang bahwa kamu makan tepat waktu dan selalu ada di kamarmu."
Yaga mengingat laporan yang baru saja dia terima dari Sekretaris Gan sebelum datang ke sini.
Dia pun melirik Almaira.
Merasa tatapannya tertuju padanya, bahu Almaira menegang sedikit.
"Aira tidak apa-apa, mejanya kotor, tapi mungkin menganggu bagi Kak Yaga"
Dia membuka tutup cairan pembersih dan menyinggung soal kotornya. Yaga hanya mengangguk santai, menunjukkan bahwa dia tidak keberatan.
"Lakukan saja seperti biasa."
"Hmm, baik."
Di bawah pengawasan laki-laki itu, Almaira dengan tenang membersihkan meja, mencuci tangannya, lalu bergegas merapikan tempat tidur.
Saat dia keluar dari ruang belajar, punggung Yaga masih terpaku di tempat yang sama, mengamati jumlah buku yang di tatanya kini tampak lebih sedikit dibanding pagi tadi. Pun judul buku yang di tatanya tampak seperti buku baru.
Apakah ini kebetulan, atau ada sesuatu yang sebenarnya dia coba sembunyikan?
Yaga tidak bisa menebaknya. Yang pasti, dia hanya berdiri diam, menatap tempat sampah di dekat meja belajar itu tanpa berkata apa-apa.
***
Saat Almaira selesai merapikan tempat tidur, Yaga sudah duduk di sofa. sepertinya sudah kehilangan minat pada ruang belajarnya.
Ruang belajar tempat mereka berada terasa sunyi, berbeda dari ruang tidur utama yang kini hanya bersinar terang di bagian tempatnya duduk.
Ruangan yang sebelumnya dia ditempati rasanya gelap. Dengan sedikit canggung, Almaira memandangi piring-piring yang disusun rapi di meja oleh tangan Sekretaris Gan.
Mungkin troli itu dibawa oleh Bibik atau Lea, dan ditinggalkan di kamarnya.
Siapa pun yang mengirimnya, kemungkinan besar pasti atas perintah Yaga. Meski begitu, entah kenapa hatinya tetap terasa gelisah.
"Tuan muda, kalau begitu saya akan pergi ke ruang makan utama, untuk makan malam, lalu langsung pulang."
Setelah meletakkan troli di sudut ruangan, Sekretaris Gan menundukkan kepala dan berpamitan. Saat pintu tertutup, hanya mereka berdua yang tersisa. Suasana mendadak terasa dingin.
"Makanlah."
"Terima kasih. Aira akan makan dengan baik."
Almaira mengambil sendoknya dan mulai makan. Yaga meraih piring berisi ikan yang berada di tengah meja, lalu dengan terampil membuang duri dan menaruh potongan dagingnya di atas nasi Almaira.
Gerakannya sama seperti sebelumnya, tetapi perasaan yang diterimanya jauh berbeda. Dia memilihkan bagian yang paling lembut dan bersih untuknya, sementara bagian yang masih terdapat duri atau organ ikan dia biarkan di piringnya sendiri.
Merasa canggung, Almaira mengambil sepotong ikan dari piringnya dan meletakkannya kembali di piring Yaga.
"Kak Yaga juga makanlah. Aira bisa mengambilnya sendiri."
Yaga mengusap tangannya dengan serbet di atas meja, lalu menimpali dengan nada bercanda.
"Kalau aku kenyang, itu bukan hal baik untukmu, kan?"
Dia mengambil kembali potongan ikan yang dikembalikan Almaira dan menyendoknya bersama nasi, lalu memakannya begitu saja.
Melihat ekspresi kesal di wajahnya yang tengah mengunyah makanan penuh, Yaga terkikik pelan.
Tiba-tiba, tengkuknya rasanya geli. Mereka hanya duduk berhadapan dan makan bersama, tetapi suasananya benar-benar terasa seperti kencan.
Lucu sekali. Setelah sekian banyak malam yang mereka lewati bersama, ini justru seperti kencan pertama mereka. Mungkin karena itu, Almaira tidak bisa menahan diri untuk mencuri pandang ke arahnya beberapa kali.
Selama beberapa hari ini, dia seperti penghuni tetap kamar ini. Namun, ini adalah pertama kalinya dia melihat Yaga makan dengan benar.
Dulu, dia mengira Yaga adalah tipe orang yang sering melewatkan makan. Namun, nyatanya, laki-laki itu makan dengan lahap dan tanpa basa-basi, tapi tetap menjaga etiketnya dengan baik.
Dia juga tidak terlihat pilih-pilih makanan, terbukti dari lauk yang perlahan berkurang meski Almaira belum menyentuhnya.
Saat itulah, tatapan mereka bertemu. "Sejak kapan kamu suka membaca buku?"
Sambil bertanya, Yaga menggunakan garpunya untuk merobek sedikit bagian dari pancake udang dan meletakkannya di atas nasi Almaira.
Sejenak, dia terdiam, merasa canggung, sebelum akhirnya menjawab.
"Sejak kelas satu SMA."
"Karena kamu menyukainya?"
"Awalnya karena ada seorang teman yang memberi Aira buku. Tapi lama-kelamaan, Aira jadi suka."
Dulu, di saat dia harus bertahan sendiri melewati masa-masa sepi, membaca buku adalah satu-satunya pelarian yang bisa memberinya ketenangan.
"Melihatmu membaca buku setiap hari, sepertinya kamu masih sangat menyukainya, ya?"
"Ya, itu merupakan hobi Aira."
Jawabannya terdengar tidak sepenuhnya meyakinkan, tetapi dia tetap mengangguk. Meskipun saat ini dia lebih banyak membaca buku anak-anak dan novel-novel romansa semua itu tetap memberinya kepuasan.
"Bagaimana bisa kamu suka membaca buku anak-anak seperti itu?"
"Dulu, saat Aira berkunjung ke panti asuhan bersama ibu, Aira membacakan cerita anak-anak untuk menghibur mereka."
"Jadi kamu juga pernah melakukan itu?"
"...Ah, ya. Aira hanya ikut dengan ibu."
Dia menundukkan kepala, merasa sedikit malu.
"Bagaimana dengan sekarang?"
Yaga menatapnya dalam diam, lalu tiba-tiba tersenyum tipis sebelum melontarkan pertanyaan berikutnya.
"Apa kamu sudah kehilangan minat?"
"Apa?"
"Dari semua buku yang sedang kamu baca, rasanya itu bukan buku yang seperti biasanya kamu baca."
Jadi, itulah yang ingin dia tanyakan.
Ada sesuatu yang ingin dia pastikan. Masih ada keraguan yang menggantung di dalam dirinya tentang seseorang yang belum sepenuhnya dia kenal.
Katakan tidak. Katakan kalau bukan Amera yang mengubah pikiran mu.
Katakan semua buku yang kamu buang itu karena sudah bosan.
Almaira terdiam, tatapannya mengarah ke udara kosong.
Yaga hanya diam, mengikuti arah tatapan itu. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat, Almaira menatapnya kembali. Wajahnya sedikit memerah saat dia membuka mulutnya untuk berbicara.
"Aira hanya ingin terus melakukan ini."
"Maksudnya?"
"Aira tidak harus selalu membaca buku anak-anak kan Kak… sudah saatnya Aira melakukannya, karena Aira sudah dewasa. Jadi... Aira ingin membaca buku baru."
Yaga bersandar ke kursinya, menatapnya dalam diam.
Entah kenapa, jawaban sederhana itu terasa menyenangkan baginya.
Dia berpikir, akan lebih baik jika prinsip Almaira tetap sederhana seperti ini, terus hidup dalam perlindungan bentengnya.
"Almaira"
"Ya?"
"Tidurlah di sini malam ini."
Almaira tersedak dan terbatuk pelan. Yaga hanya tertawa kecil, lalu dengan santai mendorong gelas air ke arahnya.
***