NovelToon NovelToon
CEO Cantik Vs Satpam Tampan

CEO Cantik Vs Satpam Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Tunangan Sejak Bayi / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Pengawal
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: MakNov Gabut

Kisah Perjodohan seorang CEO yang cantik jelita dengan Seorang Pengawal Pribadi yang mengawali kerja di perusahaannya sebagai satpam

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MakNov Gabut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

Bab 30 -

“Kalau bukan karena bujukan Papa yang logis dan penuh pertimbangan, aku mungkin takkan menuruti permintaan ini,” ucap Meliana pelan, suaranya datar tapi tegas. Ia menatap layar laptop di depannya, lalu menutupnya perlahan. “Baiklah. Aku akan gunakan wewenangku sebagai CEO untuk memecat Riven. Semua bukti sudah cukup—dia telah melakukan banyak pelecehan pada staf perempuan di kantor. Ini saatnya aku menata ulang posisi dalam Andara Grup, agar diisi orang-orang yang benar-benar kompeten dan punya integritas.”

Aryo tersenyum lebar. Ia menegakkan badan dan menatapnya dengan kagum. “Terima kasih, Bu CEO,” katanya setengah menggoda, disertai anggukan penuh hormat.

Meliana hanya menggeleng kecil, tapi sudut bibirnya naik tipis, seolah enggan menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedikit tersenyum.

Keesokan paginya, suasana di lantai 22 begitu sibuk. Kabar tentang perombakan besar-besaran di tubuh Andara Grup sudah beredar luas.

Di tengah hiruk pikuk itu, Sania datang dengan langkah ragu. Matanya sedikit sembab, tapi kali ini bukan karena sedih—melainkan karena bahagia yang tak bisa ditahan.

“Aryo,” panggilnya begitu melihat sang pengawal berdiri di dekat pintu lift. “Terima kasih… atas semua bantuanmu.”

Aryo menatapnya hangat. “Berterima kasihlah pada Bu Meliana. Dialah yang membuat keputusan itu, bukan aku.”

Sania mengangguk cepat. Ia menahan haru, lalu masuk ke ruang CEO. Dari luar, Aryo bisa melihat Sania menunduk penuh hormat, lalu tiba-tiba berlutut dan mencium tangan Meliana. Gestur spontan yang menunjukkan betapa ia berterima kasih.

Meliana sempat terkejut, tapi membiarkannya. “Bangkitlah, Sania. Kamu sudah mendapatkan keadilan. Fokus saja bekerja dengan baik.”

Dan kejutan belum berhenti di situ—Meliana bahkan memberinya kenaikan jabatan sebagai bentuk penghargaan. Sania menunduk sambil menahan tangis bahagia. Dari luar kaca, Aryo tersenyum kecil, merasa puas telah berhasil memperjuangkan seseorang yang pantas.

Hari itu menjadi hari penuh perubahan.

Meliana menandatangani beberapa dokumen pemecatan—termasuk pemberhentian tidak hormat terhadap Riven, yang selama ini menjabat sebagai kepala HRD di lantai tiga. Tak hanya itu, ia juga meninjau ulang laporan-laporan kinerja yang menumpuk di mejanya. Siapa pun yang terbukti tidak disiplin, ceroboh, atau menyalahgunakan jabatan—semuanya diganti.

Di ruang rapat utama, Meliana berdiri tegak di depan para pemegang saham Andara Grup. Suaranya jernih, penuh keyakinan.

“Keputusan ini bukan hanya soal efisiensi,” ujarnya mantap, “tapi soal moral dan tanggung jawab. Kita tidak bisa menutup mata terhadap perilaku yang mencoreng martabat perusahaan. Jika kita ingin maju, kita harus bersih—dari dalam.”

Beberapa orang mengangguk setuju. Beberapa lainnya diam—tapi ada pula yang terlihat gelisah.

Menjelang siang, setelah dua kali rapat besar berturut-turut, Meliana keluar dari ruang direksi dengan wajah murung. Ia menutup pintu keras-keras.

Aryo yang menunggu di luar langsung menegakkan tubuh. “Ada apa, Bu?” tanyanya cemas.

“Jangan ikut campur dulu, Aryo. Aku sedang tidak ingin bicara,” jawab Meliana cepat, lalu melangkah ke ruangannya.

Tak lama kemudian, Merry, salah satu stafnya, menghampiri Aryo sambil membawa map tebal. “Tadi di rapat, Bu Meliana habis diserang habis-habisan oleh pemegang saham,” bisiknya.

“Diserang?” Aryo menatap heran. “Oleh siapa?”

“Mereka bilang keputusan beliau memecat orang-orang itu keliru. Katanya terlalu emosional.”

Aryo menyipit. “Siapa yang paling vokal?”

“Bapak Karim Maraja, ayahnya Thomas. Padahal biasanya beliau pendukung setia Bu Meliana.”

Aryo mengangguk pelan. “Sudah kuduga. Sejak Thomas datang, suasana kantor jadi tak tenang.” Ia mengepalkan tangan di saku. “Permainan sudah dimulai rupanya.”

Di ruang rapat, suasana memang sempat memanas.

“Atas dasar apa Anda memecat pegawai-pegawai itu?” tanya salah satu pemegang saham dengan nada menyudut.

Meliana menghela napas. Ia menatap satu per satu wajah di hadapannya. “Atas dasar kinerja dan etika. Saya ingin memastikan arah bisnis perusahaan tetap sehat. Tidak ada tempat bagi pelecehan atau penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kerja ini. Kenyamanan karyawan adalah prioritas utama.”

“Jadi, keuntungan perusahaan bukan prioritas utama Anda?” sergah seorang pemegang saham lain dengan sinis.

Meliana tersenyum tenang. “Lingkungan kerja yang baik akan menghasilkan karyawan yang loyal dan produktif. Dan itu berarti keuntungan jangka panjang bagi perusahaan.”

Namun nada ruangan berubah tajam ketika Karim Maraja mencondongkan tubuh ke depan, suaranya berat dan tajam.

“Apakah Anda sadar, orang-orang yang Anda pecat itu adalah rekomendasi dari kami, para pemegang saham? Keputusan Anda sepihak, tanpa konsultasi, berarti Anda meremehkan kami.”

Meliana menatapnya. “Bukan maksud saya begitu, Pak Karim.”

“Oh ya?” Karim melipat tangan di dada. “Coba kita lihat, siapa di sini yang merasa tersinggung dengan tindakan Bu Meliana?”

Beberapa tangan terangkat. Beberapa lagi hanya menunduk, tidak berani memandang. Tapi bagi Meliana, itu sudah cukup membuat dadanya sesak. Ia merasa dikhianati.

“Baik,” katanya menahan nada getir. “Saya mohon maaf jika keputusan saya membuat Bapak-Bapak tidak nyaman. Tapi saya yakin keputusan ini benar. Saya siap bertanggung jawab jika langkah ini justru merugikan perusahaan.”

Karim mengetuk meja dengan ujung jarinya. “Kami pegang kata-katamu, Bu CEO. Karena keputusanmu ini membuat beberapa posisi penting kosong. Dan ingat, mencari orang yang tepat tak semudah mengganti baju. Jangan terlalu membawa moral ke dalam bisnis. Ini dunia nyata, bukan dunia ideal.”

Meliana menatap lurus ke arahnya, matanya tajam. “Saya tahu ini bisnis, Pak Karim. Tapi bisnis tanpa nilai adalah kehancuran perlahan. Saya akan memastikan posisi yang kosong diisi orang-orang yang pantas.”

“Yang kami khawatirkan,” kata Karim lebih pelan tapi menusuk, “apakah keputusan ini benar-benar murni profesional, atau karena konflik pribadi?”

Ucapan itu seperti tamparan di wajah Meliana. Ia tahu maksudnya. Ia menahan diri untuk tidak membalas, meski jantungnya berdegup keras.

Ia sadar, ini pasti ulah Thomas—lelaki yang cintanya ditolak, tapi tak rela mundur.

“Saya pastikan seratus persen, keputusan ini tidak ada kaitannya dengan urusan pribadi,” jawab Meliana akhirnya, tegas tapi dengan suara sedikit bergetar. “Saya hanya ingin melindungi masa depan perusahaan ini.”

Karim mengangguk dingin. “Baik. Kami tunggu hasilnya. Kalau dalam kuartal ini performa perusahaan menurun, kami akan mempertimbangkan mengganti posisi CEO.”

Rapat berakhir dengan ketegangan menggantung di udara.

Meliana kembali ke ruangannya, melepaskan jas kerjanya, lalu bersandar lemah di kursi. Ia memijat pelipisnya, menatap langit Kota J dari balik jendela kaca besar.

Beberapa menit kemudian, pintu diketuk. “Ada yang bisa aku bantu, Bu?” tanya Aryo dengan hati-hati.

“Tidak sekarang, Aryo. Aku butuh waktu sendiri.”

Aryo mengangguk paham. “Baik. Tapi kalau butuh sesuatu, tinggal panggil aku, ya.”

Meliana hanya mengangguk pelan.

Tak lama setelah Aryo keluar, pintu kembali terbuka. Sosok Thania—sahabat sekaligus rekan dekatnya—muncul dengan rambut sedikit berantakan tapi senyum menenangkan. Sudah beberapa hari Thania sibuk urusan pribadi, jarang muncul di kantor.

“Mel!” serunya sambil memeluk Meliana erat. “Kamu kelihatan pucat banget.”

Meliana membalas pelukan itu lemah. “Capek banget, Nia. Dua rapat besar dalam satu hari, dan dua-duanya bikin kepala panas.”

Thania menjatuhkan diri ke sofa, melepaskan sepatu haknya. “Aku juga lagi ribet urus perusahaan baru. Pengen mandiri, lepas dari bayang-bayang Papa.”

Meliana tersenyum tipis. “Keren tuh. Aku dukung penuh.”

Thania menoleh dengan wajah penasaran. “Tapi ngomong-ngomong, kenapa wajahmu murung banget? Ada yang salah?”

Meliana menghela napas panjang, lalu menceritakan semuanya—dari pemecatan, serangan di rapat, sampai Thomas dan ayahnya yang mulai mencampuri urusan perusahaan.

Thania mendengarkan dengan ekspresi serius. “Mel, kenapa kamu nggak sekalian aja pacaran beneran sama Aryo? Daripada pura-pura terus. Lagian, kalian udah kayak pasangan sungguhan.”

“Jangan mulai, Nia. Aku lagi nggak mau bahas itu,” potong Meliana cepat.

“Ya sudah, lanjut.”

Meliana kembali bicara pelan, “Aku tahu, ini semua pasti ulah Thomas. Aku yakin dia ngadu ke ayahnya. Tapi… aku mulai ragu pada diriku sendiri. Apa aku memang pantas jadi CEO? Rasanya aku gagal.”

Thania langsung menegakkan tubuh. “Hei! Kamu tuh CEO paling berani yang pernah aku kenal. Gak banyak orang berani ngambil keputusan sepenting itu. Kalau kamu nggak bersih-bersih sekarang, nanti malah keburu hancur dari dalam.”

Meliana menatap sahabatnya lama. Perlahan, pundaknya mulai rileks. “Kamu benar juga, Nia.”

Thania tersenyum puas. “Nah, gitu dong. Dan tentang orang-orang yang kamu pecat itu? Aku rasa memang sudah seharusnya. Jangan biarkan saham-saham besar itu nyetir keputusanmu. Mereka yang penuh kepentingan pribadi, bukan kamu.”

Meliana mengangguk. “Aku mulai sadar. Mereka bukan cuma pengawas, tapi juga pemain di belakang layar. Mungkin memang sudah waktunya aku siapkan benteng sendiri.”

Thania mengedip. “Atau… kita kerja sama. Perusahaan baruku bisa jadi rekanan Andara Grup. Bayangkan, dua perempuan menguasai pasar—indah, kan?”

Untuk pertama kalinya hari itu, Meliana tertawa kecil. Tapi tawa itu segera mereda ketika ia menatap Thania dengan mata menerawang.

“Thania..” katanya pelan. “Menurutmu, bagaimana pandanganmu soal Aryo sekarang?”

Thania tersenyum samar, menyilangkan kaki dan menatap balik dengan tatapan penuh arti.

“Ah… sepertinya kamu sendiri sudah tahu jawabannya, Mel.”

Di dalam hati Thania juga sudah ada Aryo, apalah coba yang bisa dikatakannya...

Bersambung…

1
Edana
Gak bisa tidur sampai selesai baca ini cerita, tapi gak rugi sama sekali.
Hiro Takachiho
Aku akan selalu mendukungmu, teruslah menulis author! ❤️
Oscar François de Jarjayes
Serius, ceritanya bikin aku baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!