“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. MERASA BERSALAH
Jeremy, Mama Azura, dan Papa Joeson masuk. Ketiga orang itu berdiri di belakang Azelio yang tangan kirinya meremas erat sebuah robot mainan. Perlahan, Azelio membalikkan badan. Matanya tertuju pada Jeremy yang menelan ludah kasar. Bulu kuduknya meremang melihat kemarahan di mata kakak sulungnya.
“Apa yang terjadi, Zilo? Mengapa kau teriak barusan?” tanya Papa Joeson tenang, kemudian terkejut melihat kekacauan di depan matanya.
Azelio menunjuk Jeremy. “Kau! Apa yang sudah kau lakukan sampai mengacaukan tempat ini, Jem?”
Jeremy menunjuk dirinya sendiri, tak paham. Papa Joeson dan Mama Azura menatap putra kedua mereka.
“Ya, itu kau, Jem! Kekacauan ini ulahmu, kan?”
“Bukan! Bukan aku yang melakukannya,” bantah Jeremy.
“Ck, robot ini buktinya, jangan mengelak lagi!” Azelio menyodorkan mainan itu. Jeremy segera merebutnya, bingung karena robot yang ia ingat sudah rusak, kini berfungsi.
Siapa yang bawa ini?
Jeremy kebingungan. Ia menekan tombol "on", dan robot itu langsung bergerak. Jeremy tahu Ayahnya tidak mungkin bisa melakukannya, dan Ibunya tidak mengerti cara memperbaikinya. Jadi, siapa?
“Ck, kenapa diam saja? Kau tidak punya pembelaan lagi?” decak Azelio.
“Jem, kau sudah dewasa bukan anak kecil. Sekarang minta maaf pada Kakakmu,” kata Mama Azura.
Jeremy menggeleng. “Tidak, Ma. Jem tidak salah!”
“Lantas, siapa yang salah? Bukti sudah ada, kau seharusnya mengakui perbuatanmu, Jem,” pungkas Papa Joeson. Jeremy melirik Azelio yang menunggu permintaan maaf, melihat ekspresi datar namun sorot mata yang senang karena ia terpojok.
Saat Jeremy berniat menjelaskan, sebuah suara kecil menyahut di belakang Azelio.
“Mama…”
Semua mata beralih pada Rhui yang berdiri sambil mengucek mata kirinya.
“Rexan, bagaimana bisa kamu ada di sini, sayang?” Mama Azura mendekati cucunya, mengusap rambut dan wajahnya lembut. Papa Joeson dan Jeremy saling pandang, heran karena ini pertama kalinya bocah itu masuk ke perpustakaan. Azelio pun tak kalah heran.
Rhui yang kini sadar sepenuhnya, terdiam melihat semua orang. Ia sadar ia berada di rumah Ayah Rexan, bukan rumah ibunya. Ia mendongak ke Azelio, pria yang terlihat mengintimidasi.
Antas anak cengeng akut, Papana telem kaya beluang.
Meskipun takut, Rhui memaksakan senyum manis. Senyumnya justru mengejutkan mereka, terutama Azelio. Jantung Azelio bergetar sedikit. Anak yang selalu terlihat muram itu, kini berbeda. Rexan tampak menggemaskan. Papa Joeson melihat rona merah di pipi putranya dan bernapas lega karena Azelio tak lagi marah.
“Rexan, kamu kenapa bisa ada di sini?” tanya Jeremy.
“Apa kamu yang perbaiki mainan Paman juga, hmm?” Jeremy mengangkat robotnya, tak percaya. Tetapi satu anggukan dari Rhui membuat dugaannya runtuh.
“Lu… makcuna, Lejan yang pebaiki lobotna, Paman,” seru Rhui, hampir keceplosan.
“Kamu serius, Rexan?” tanya Mama Azura tak percaya.
“Benelan, Nenek,” jawab Rhui sambil tersenyum lagi. Senyum manisnya membuat Mama Azura dan Papa Joeson terhenyak.
“Ahhh… cucu Mami lucu sekali. Tapi panggilannya jangan Nenek, panggil Mami, ngerti, sayang?” protes Mama Azura sambil memeluk Rhui.
“Bait, Mami.” angguk Rhui.
“Jika begitu, apa kamu yang berantakin semua ini, Rexan?” tanya Papa Joeson mendekati cucunya. Rhui diam sejenak, bingung memanggil kakeknya.
“Ya, Papi.”
Deg. Papa Joeson membeku. Aduh… calah tah? Rhui panik, tapi melihat senyum kakeknya, ia menghela napas lega.
“Hm, Rexan, tidak biasanya kamu bersikap manis seperti ini. Siapa yang mengajarimu?” tanya Papa Joeson.
“Mama Lejan, Papi,” jawab Rhui mantap.
Azelio tersentak. Ia hampir lupa tujuan awalnya adalah menjenguk Emira di rumah sakit.
“Rexan!” panggil Azelio tiba-tiba. Rhui menatap ayahnya yang kini menatapnya dingin. Tapi kali ini Rhui tidak takut.
“Apa, Papa?” tanyanya polos.
“Kenapa kamu bikin perpus Papa berantakan?” tanya Azelio.
“Zilo, jangan permasalahkan lagi. Biar pembantu yang bereskan tempat ini,” ucap Mama Azura. Papa Joeson dan Jeremy setuju. “Namanya juga anak-anak, biarkan saja dia bermain di manapun.”
“Tidak, Pa! Azelio tidak setuju. Meski dia anak-anak, tapi dia harus belajar disiplin dan bertanggung jawab juga,” ujar Azelio serius.
'Eleh… waktu kecil juga kau suka begini, dasar!' batin Papa Joeson kesal. Jeremy merasa gelisah, mengira keponakannya akan menangis. Namun, Rhui menyunggingkan senyum lagi.
“Maap, Papa. Lejan ndak tau kalo kamalna belantakan. Tapi Lejan cuka baca bukuna. Cemua celuh,” ungkap Rhui jujur. “Lain kali ndak ulangi lagi.” Ia menautkan kelingkingnya ke kelingking Azelio, membuat pria itu mematung. Sentuhan itu seperti aliran listrik yang mengalir ke jantungnya. Sikap anaknya yang berbeda membuatnya tak bisa marah.
“Baiklah, kali ini Papa ma-maafkan,” ucap Azelio, memalingkan muka untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Mama Azura, Papa Joeson, dan Jeremy menghela napas lega.
Kini, Rhui berada di rumah sakit, di sisi tempat tidur Emira. Ia penasaran dengan wajah ibu Rexan. Ia tak sangka, wanita itu cantik, di balik wajahnya yang pucat.
“Rexan, minta maaf pada Ibumu,” ucap Azelio tegas.
“Napa Lejan minta maap?” Rhui bertanya polos.
Jeremy menyahut, “Rexan, kamu kan kemarin kabur dari Ibumu, tidak ingat?”
Owalah! Lupana anak cengeng itu yang calah!
Rhui menggerutu dalam hati, kesal pada Rexan. Ia terpaksa meminta maaf agar masalahnya selesai.
Emira tersenyum, mengusap kepala Rhui. Ia ingin pulang, tetapi Azelio tak mengizinkannya karena kondisinya belum stabil. Namun, Emira bersikeras karena tak suka bau obat. Azelio akhirnya menurutinya.
Di tengah perjalanan, Emira meminta singgah ke rumah orang tuanya. Azelio kembali patuh. Hal ini membuat Jeremy jengkel.
Belum jadi istri sudah mulai perintah-perintah Kak Zilo. Apalagi kalau sudah jadi istri, mungkin Kak Zilo bisa diperbudak olehnya.
Jeremy menggerutu dalam hati, sebab status Azelio dan Emira belum resmi. Kelahiran Rexan sebenarnya adalah hasil bayi tabung, yang dilakukan Azelio dan Rea karena Papa Joeson menginginkan calon pewaris dan Azelio tidak mau lagi berhubungan badan dengan Rea setelah malam pertama mereka.
Setelah proses bayi tabung, Azelio menyuruh dokter menanamkan bibitnya ke rahim Emira, agar setelah Emira sadar ada alasan untuk menikahinya. Sungguh, Azelio dibutakan oleh obsesinya. Emira bersedia mengandung Rexan tetapi tidak ingin menikah dengan Azelio sebelum Rexan tumbuh besar.