NovelToon NovelToon
IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Balas Dendam / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Ibu susu
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.

Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.

Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.

Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.

Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.

Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21. TERTANGKAP

Peter berdiri di dekat balkon lantai dua rumah Davian, tatapannya tajam menembus kegelapan. Matanya tidak pernah bisa beristirahat sejak beberapa hari terakhir.

Sejak Davian menerima laporan pertama tentang tanda-tanda penyusup, Peter tahu malam ini tidak bisa dianggap biasa. Ia menaruh seluruh instingnya untuk berjaga, terutama ada jejak penyusupan yang jelas terjadi di rumah ini.

Malam itu, Peter memutuskan untuk tidak hanya menunggu. Ia bergerak.

Peter meninggalkan balkon, menuruni tangga dengan langkah sunyi, lalu keluar menuju taman belakang. Hujan belum reda, membuat tanah licin dan aroma dedaunan semakin pekat. Peter menghela napas panjang, merasakan hawa dingin menusuk hingga ke tulang.

Ia memusatkan perhatian. Setiap suara, setiap gesekan dedaunan, setiap bayangan yang bergoyang di bawah cahaya lampu taman, semua ditangkapnya dengan teliti.

Dan di sanalah Peter melihatnya.

Jejak sepatu. Tidak terlalu jelas karena sebagian sudah tercuci hujan, tapi pola solnya cukup berbeda dengan milik para penjaga yang biasa berpatroli. Jejak itu melintas dekat pagar kawat, lalu berakhir di balik semak lebat.

Peter berjongkok, menyentuh tanah yang masih lembap. "Kau tidak jauh dari sini ...," bisiknya, sebuah senyum dingin muncul di wajahnya.

Ia mengikuti jejak itu perlahan, menghindari suara keras. Napasnya diatur, tubuhnya menempel pada bayangan gelap pepohonan.

Dan akhirnya, telinganya menangkap sesuatu; suara napas tergesa, tertahan, bercampur dengan derik kecil dari kamera.

Peter menajamkan mata. Di balik semak, seorang pria dengan pakaian hitam pekat sedang berjongkok, kameranya diarahkan ke jendela lantai dua. Tepat ke arah kamar Olivia.

Mata Peter berkilat.

Ia tahu ia tidak boleh gegabah. Pria itu bisa saja bersenjata, atau memiliki kawan lain yang bersembunyi. Peter memilih langkah halus, bergerak memutari semak, mendekat dari sisi gelap tanpa lampu.

Namun justru saat ia hampir tiba di belakang target, ranting kering patah di bawah kakinya. Suara kecil itu cukup untuk membuat pria berbaju hitam menoleh cepat.

Mata mereka bertemu sekilas.

"Apa-" pria itu terperanjat, langsung melompat mundur sambil meraih sesuatu dari pinggangnya.

Peter tidak memberi waktu. Dalam sekejap ia maju, menendang keras pergelangan tangan lawan hingga benda logam yaitu sebuah pisau lipat terpental jatuh ke tanah. Sisa gerakan dilanjutkan dengan kuncian cepat di lengan.

Namun si penyusup bukan orang sembarangan. Ia meronta liar, berhasil memutar tubuh dan melepaskan diri. Lalu ia berlari, menerobos semak dengan kecepatan panik.

Peter mengejar.

Hujan menampar wajah, tanah becek membuat pijakan licin, tapi kakinya terlatih. Detak jantungnya berpacu, setiap tarikan napasnya berat tapi stabil. Ia tidak akan membiarkan buruan lepas begitu saja.

Penyusup itu melompati pagar kecil menuju gudang belakang. Peter tepat di belakangnya, hanya beberapa langkah.

"Berhenti!" teriaknya, meski tahu pria itu takkan menurut.

Teriakan itu justru membuat si penyusup semakin panik. Ia menoleh sekilas, lalu kakinya terpeleset karena lumpur. Tubuhnya jatuh menghantam tanah, memberi kesempatan emas bagi Peter.

Sekejap saja, Peter sudah menindih tubuhnya, menekan bahu ke tanah, lalu mengunci kedua tangannya di belakang punggung.

"Berhasil," Peter menggeram, napasnya berat.

Lampu senter penjaga segera menyinari mereka, setelah mendengar keributan dari arah taman. Beberapa orang berlari menghampiri, senjata di tangan.

"Bawa tali," perintah Peter cepat. "Kita bawa orang ini ke dalam. Davian harus melihatnya sendiri."

Penyusup itu mencoba berontak, tapi tubuhnya sudah diikat rapat. Wajahnya pucat, matanya liar seperti binatang yang terjebak.

"Aku tidak melakukan apa-apa!" teriaknya, namun suaranya pecah, jelas ketakutan.

Peter hanya tersenyum tipis, dingin. "Kau memilih rumah yang salah untuk disusupi."

Beberapa menit kemudian, pria itu sudah didudukkan di kursi besi di ruang bawah tanah, ruang yang jarang dipakai kecuali untuk situasi khusus. Dinding beton dingin, lampu redup di atas kepala, bayangan berayun seiring cahaya.

Peter berdiri di samping, sementara Davian masuk dengan langkah mantap. Tatapan Davian seperti bilah tajam, membuat udara ruang itu terasa lebih menekan.

Penyusup menunduk, tangannya gemetar meski sudah terikat di belakang kursi.

Davian berhenti tepat di depannya. "Siapa kau?" suaranya tenang, tapi mengandung ancaman yang jelas.

"Aku ... aku hanya disuruh, Sir. Aku tidak tahu apa-apa!" suara pria itu serak.

Peter menoleh ke Davian, lalu menambahkan, "Aku menangkapnya sedang memotret ke arah kamar lantai dua."

Mata Davian menyipit, sorotnya dingin. "Jadi kau mengincar wanita di lantai dua."

"Bukan begitu! Aku hanya ... aku hanya dibayar untuk mengambil foto. Itu saja!"

Davian mencondongkan tubuh, menatap langsung ke dalam mata pria itu. "Oleh siapa?"

Pria itu menggigit bibirnya, berkeringat. "Aku ... aku tidak tahu namanya. Aku tidak pernah bertemu lebih dari sekali. Dia hanya ... pria dengan jas rapi, wajahnya keras, sangar. Tapi aku sungguh tidak tahu siapa dia!"

Peter memerhatikan setiap gerak tubuhnya, mencari tanda kebohongan. Tapi dari tatapan paniknya, dari gemetar tubuhnya, ia bisa merasakan pria ini bukan pemain besar. Hanya bidak.

"Cukup jelas," gumam Peter.

Davian masih menatap tajam, seolah mencari celah lebih jauh. Namun jawaban yang ia dapat hanyalah ketakutan yang nyata.

Hening memenuhi ruang bawah tanah, hening yang lebih menekan dibanding suara teriakan. Lampu redup di atas kepala penyusup berayun pelan, menimbulkan bayangan yang bergeser-geser di dinding beton seakan ada sosok-sosok lain yang ikut mengawasi.

Penyusup itu menunduk, keringat menetes dari pelipis ke dagunya. Tangan dan kakinya terikat rapat, tubuhnya sedikit bergetar. Ia sudah seperti hewan buruan yang dijebak dan disorot cahaya.

Davian masih berdiri tegak di depannya, tangan bersedekap, matanya dingin seperti batu hitam. Peter berada di sisi kanan, tubuhnya kaku dengan aura siap menerkam jika sewaktu-waktu diperlukan.

"Namamu," suara Davian terdengar datar, tanpa nada emosional.

"R-Ronald ... Ronald, Sir," jawab pria itu terbata.

"Ronald apa?" tanya Davian lagi.

"Ronald ... Sykes."

Davian mengangguk tipis, seolah hanya mencatat informasi yang mungkin tidak penting, tapi sebenarnya sedang menimbang bobot setiap kata. Ia berjalan perlahan mengitari kursi, langkah sepatunya bergema berat di lantai semen.

"Kau menyusup ke wilayahku. Kau mengintai wanita di lantai dua. Dan kau bahkan cukup bodoh untuk membawa kamera," Davian berhenti tepat di belakang Ronald, suaranya rendah tapi menggetarkan. "Jelaskan padaku mengapa aku tidak harus menguburmu di sini sekarang juga?"

Tubuh Ronald kaku. Napasnya tersengal. "Aku .... aku hanya orang bayaran, Sir! Aku tidak punya dendam, aku tidak kenal siapa pun di rumah ini! Aku hanya diberi tugas, hanya itu!"

Peter mencondongkan tubuh, menatapnya tajam. "Siapa yang memberimu tugas?"

"Aku tidak tahu namanya!" Ronald memohon, suaranya pecah. "Sungguh! Aku tidak tahu namanya. Aku hanya bertemu sekali, itu pun di sebuah kafe, dia yang mendatangiku. Katanya ada pekerjaan mudah, hanya mengambil foto. Tidak lebih!"

Davian berjalan kembali ke depan, lalu jongkok sehingga wajahnya sejajar dengan Ronald. Tatapan matanya menusuk, membuat pria itu berusaha berpaling tapi gagal.

"Deskripsikan dia."

Ronald menelan ludah, kepalanya menunduk. "Dia pria berjas rapi, hitam. Rambutnya disisir ke belakang, rapi sekali. Wajahnya keras, seperti ... seperti orang yang terbiasa memerintah. Matanya tajam, membuatku tidak berani menatap lama. Aku hanya ... aku hanya tahu dia orang berbahaya."

Peter bertanya dingin, "Kau dibayar berapa?"

"Dua ribu dolar tunai langsung di muka. Katanya, kalau aku berhasil membawa foto yang jelas, aku akan diberi tambahan. Aku tidak sempat tanya siapa dia ... aku hanya pikir, pekerjaan cepat, uang gampang."

Peter menyipitkan mata, menimbang setiap kata. "Dan kau tidak pernah mencurigai ada sesuatu yang lebih besar di balik itu?"

"Aku ... aku hanya butuh uang," Ronald hampir menangis. "Aku bukan siapa-siapa, Sir. Aku tidak tahu apa pun! Sumpah!"

Davian berdiri lagi, menghela napas berat. Ia berjalan ke meja kecil di sudut ruangan, mengambil kamera yang disita dari Ronald. Dengan gerakan lambat, ia menyalakan kamera itu, lalu melihat hasil jepretan.

Beberapa foto buram muncul di layar; siluet jendela lantai dua, tirai yang bergoyang, bayangan samar Olivia yang sedang berjalan di dalam kamar.

Wajah Davian mengeras. Ada kilatan amarah yang muncul di matanya, namun ia kendalikan. Ia mematikan kamera itu dan meletakkannya kembali di meja.

"Jadi kau dibayar hanya untuk mengambil foto wanita di lantai dua," katanya pelan, hampir seperti gumaman. "Kau bahkan tidak tahu mengapa wanita itu menjadi target."

"Tidak, Sir. Aku sama sekali tidak tahu," Ronald cepat menggeleng, ketakutannya semakin dalam.

Peter memerhatikan dengan seksama. Ia tahu Davian sedang menahan diri, amukannya bisa saja meledak kapan saja jika informasi yang didapat terlalu tipis.

Davian mendekat lagi, membungkuk hingga wajahnya hanya sejengkal dari Ronald. "Katakan padaku, apakah pria itu menyebutkan sesuatu? Nama, tempat, bahkan sepatah kata yang aneh sekalipun? Jangan berani menyembunyikan."

Ronald terdiam beberapa detik, wajahnya pucat pasi. "Dia ... dia hanya bilang satu hal. Katanya, 'jaga jarak, jangan sampai ketahuan. Kalau ketahuan, aku tidak akan menolongmu.' Itu saja. Tidak ada nama, tidak ada alamat."

Peter mendesah, kemudian menatap Davian. "Sepertinya dia memang hanya pion. Seseorang menyuruhnya, tanpa memberi informasi berarti."

Davian terdiam sejenak, lalu tertawa pendek, tawa dingin yang tidak membawa kebahagiaan sedikit pun. "Orang yang cerdas. Ia menyembunyikan identitasnya dengan baik, membuang umpan dengan manusia kecil ini."

Tatapannya kembali menusuk Ronald. "Sayangnya, kau hanyalah bidak kecil. Dan aku benci permainan yang menggunakan bidak."

Ronald terisak, air matanya menetes. "Tolong, Sir ... aku akan pergi, aku tidak akan kembali lagi. Aku tidak akan pernah mendekat ke tempat ini!"

Davian menunduk sedikit, menatap wajahnya dengan tajam. "Kau tidak akan kembali karena kau tidak akan punya kesempatan kedua. Ingat baik-baik malam ini, Ronald. Kau masih hidup hanya karena aku ingin tahu siapa dalang di belakangmu. Tapi jika aku menemukanmu berkeliaran di sekitar sini lagi ...," ia berhenti, mencondongkan tubuh, lalu berbisik tepat di telinga pria itu, "aku sendiri yang akan menggali lubangmu."

Ronald mengangguk cepat, tubuhnya bergetar hebat.

Davian berbalik, melangkah menjauh dari kursi. Peter mengikutinya, namun sebelum keluar, Davian sempat berkata kepada penjaga yang berjaga di pintu, "Kunci dia di sini sampai aku putuskan apa yang akan kulakukan selanjutnya."

"Siap, Tuan!" jawab para penjaga.

Pintu besi berat menutup dengan suara berdentum, meninggalkan Ronald sendirian di ruang interogasi. Suara isak kecilnya masih terdengar samar, seperti bayangan orang yang sudah kehilangan harapan.

Di luar ruang bawah tanah, Peter berjalan sejajar dengan Davian. Keduanya terdiam beberapa lama, membiarkan langkah kaki mereka mengisi keheningan.

Akhirnya, Peter yang memecah sunyi. "Menurutku dia memang tidak tahu banyak. Hanya pion murahan. Tapi setidaknya kita punya deskripsi tentang orang yang membayarnya."

Davian mengangguk perlahan. "Pria berjas rapi, berwajah keras ... itu cukup untuk memulai. Orang semacam itu biasanya tidak banyak. Dan siapa pun dia, ia cukup bodoh untuk menaruh minat pada Olivia."

Peter menatap tajam ke depan. "Artinya, Olivia menjadi kunci. Entah karena masa lalunya, atau sesuatu yang dia miliki."

"Benar," jawab Davian singkat, matanya penuh perhitungan.

Keduanya berhenti di ujung koridor. Cahaya lampu temaram membuat wajah Davian terlihat lebih keras, penuh garis bayangan yang menajamkan sorotnya.

"Kita akan biarkan Ronald hidup untuk sementara," katanya perlahan. "Mungkin dia akan memimpin kita ke dalangnya. Tapi jangan lepaskan pengawasan. Jika dia keluar, kita ikuti. Jika dia bertemu seseorang, kita tangkap. Aku ingin tahu siapa yang cukup berani bermain-main denganku."

Peter mengangguk tegas. "Mengerti."

Davian menarik napas panjang, lalu menatap ke arah tangga yang menuju lantai dua, tempat Olivia berada. Tatapannya mengeras, seolah berjanji pada dirinya sendiri.

Siapa pun yang mencoba menyentuh putriku dan ibu susunya ... akan menyesal, batin Davian.

1
Ir
aku berharap itu anak Olivia sama Davian sih, entah bagaimana mungkin itu bisa terjadi, biar kak Archie yg mikir alurnya, aku mau turu aja 😴😴
Ir
aku mikir nya pas Olivia bilang seperti barang dagangan, tak pikir di jual ke rumah bordil lhoo ehh ternyata malah lebih menyakitkan
Jelita S
makin seru,,,,,lnjut thor
Archiemorarty: Siap /Determined/
total 1 replies
Riyasih
bagus Thor lanjut up lagi dong pliss
Archiemorarty: Siap kakak, ditunggu ya updatenya ya 🥰
total 1 replies
Hasbi Yasin
pasti anaknya olivia sma davian mungkin laki2 asing itu davian
Archiemorarty: muehehehe...
total 1 replies
Hasbi Yasin
teka teki molai terkuak
Archiemorarty: ringan, ringan aja, cukup di buku Lucas pada meledak otak readers /Facepalm/
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
wahhhh ada bom yang akan siap meledak
Jelita S
mungkinkah ada konspirasi disini???
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
Archiemorarty: hehehehe...kita liat nanti
total 1 replies
Jelita S
Akhirnya,,,,Casie cepat satukan mom and Dady mu y😀😀
Archiemorarty: Benar Cassie
total 1 replies
Ir
kau yang mulai kau yang mengakhiri
kau yang berjanji kau yang mengingkari
Archiemorarty: Aku bacanya sambil nyanyi wehhh
total 1 replies
Hasbi Yasin
sadar juga davian takut kehilangan olivia
Archiemorarty: Siapa yang nggak takut kalau pas liat doi sekarat
total 1 replies
Jelita S
sabar y babang Davian
Jelita S
peter kamu Daebak🫰
Archiemorarty: Terbaik emang Abang Peter /CoolGuy/
total 1 replies
Annida Annida
lanjut tor
Archiemorarty: Siap kakak, terima kasih /Determined/
total 1 replies
Hasbi Yasin
hukuman nya kejam banget si davian udah di peringatin sma peter gk mau jdi olivia bunuh diri deh
Archiemorarty: Manusia nggak ada yang sempurna, kadang kalau emosi kan suka gitu, salah ngambil keputusan
total 1 replies
Jelita S
Biarkanlah ini mnjadi tragedi yg menyadarkan Davian untuk lebih peka lgi terhadap Olivia
Archiemorarty: Benar, karena gimana pun Davian juga manusia biasa /Cry/
total 1 replies
Ir
hayoo lhooo pian tanggung jawab luuu
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
Ir: hahahhaa 🤣🤣🤣
total 2 replies
Ir
kan jadi gila beneran ck
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi
Ir
ada dua sudut pandang berbeda secara aku pribadi, kan dari awal emang Olivia ga bilang dia gila, orang² aja yg bilang dia gila termasuk emak tirinya, nah seharusnya pian sama Peter jangan langsung menghakimi setidaknya tanya dulu alasan kepura²an nya itu tujuan nya apa, dan untuk Olivia kenapa ga jujur setelah pian tau kebohongan nya dia, apa aja yg selama ini dia alami di rumah Morgan dan selama menikah dengan Raymond
Archiemorarty: Hahahaha....sabar kawan, Olivia juga udah ngalamin banyak hal buruk. Dia cuman takut nggak bisa bareng Cassie lagi
total 3 replies
Ir
Olivia itu lebih ke trauma, takut, patah hati, kecewa, kehilangan dan semua itu Olivia pendem sendiri ga ada tempat buat di berkeluh kesah ga ada yg menguatkan, mental orang beda² jangan kan Olivia, aku aja sampe sekarang kalo ada tlp di jam 2/3 tiga pagi rasanya masih takut, karna jam itu aku pernah dapet kabar adek ku koma, sedangkan posisi aku lagi kerja di luar kota sampe akhirnya jam 2 siang dapet kabar dia udah ga ada, mungkin keliatan nya cuma hal sepele tapi bagiku itu membuat ku trauma
Archiemorarty: Benar, karena mereka nggak ngerasain rasanya.
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!