Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.
Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.
Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.
Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:
“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”
Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.
Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 — Kuburan Air
Rendra berdiri. Hujan murni membasuh darah dan lumpur dari tubuhnya. Meskipun kelelahan, ia merasakan energi baru mengalirinya—energi yang datang dari pemenuhan kebenaran. Ia telah menyelesaikan tugas Ayahnya.
Penduduk desa yang baru sadar kini mengelilinginya, menangis dalam penyesalan. Mereka akhirnya melihat bukti, dan yang lebih penting, mereka merasakan amarah Yang Basah telah mereda.
Rendra harus meninggalkan mereka. Tugas yang paling mendesak kini adalah Dimas dan Hardi, yang ia tinggalkan di gubuk Nyai Melati.
“Aku harus pergi,” kata Rendra kepada kerumunan, suaranya pelan tapi tegas. “Aku harus menyelamatkan anak itu.”
Beberapa penduduk desa mencoba mengikutinya, menawarkan bantuan, tetapi Rendra menggeleng. “Ini adalah pertarungan yang harus aku selesaikan sendiri. Kalian harus mulai membersihkan desa. Kembalikan semua yang telah kalian ambil.”
Rendra berbalik, berlari menembus pepohonan, menuju gubuk kecil di tepi hutan tempat ia meninggalkan Dimas. Hujan yang turun kini terasa sejuk dan menenangkan, tetapi Rendra merasakan dingin yang lebih dalam—dingin dari tubuh Dimas yang kerasukan.
Ia tiba di gubuk Nyai Melati. Pintu yang ia tinggalkan terbuka, kini tertutup. Tidak ada suara jeritan. Keheningan total.
Rendra mendorong pintu gubuk, yang kini terasa berat.
Di dalamnya, pemandangan itu terasa surealistis.
Hardi, pelaku penodaan Laras, tidak ada. Tubuh Nyai Melati terbaring damai, dikelilingi bubuk merah marun yang kini telah basah.
Dan di tengah ruangan, di genangan air yang tadinya mengikat Hardi, Dimas berdiri tegak.
Matanya tidak lagi hitam pekat. Matanya kembali ke warna normalnya, tetapi ia tidak melihat. Ia tampak kaku, seperti patung yang baru dibuat. Air masih menetes dari tubuhnya, tetapi air itu jernih.
Rendra segera mendekati Dimas.
“Dimas! Kau tidak apa-apa? Hardi, di mana Hardi?”
Rendra menyentuh Dimas. Tubuh anak itu dingin, tetapi tidak lagi membeku seperti es. Ia hanya dingin karena kedinginan.
Dimas tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke tanah di bawahnya, ke genangan air yang melingkari kakinya.
Genangan air itu kini bukan lagi air lumpur. Ia bening.
Rendra membungkuk, menatap genangan air itu. Air itu tampak terlalu gelap, terlalu dalam untuk genangan air biasa.
Ia menyentuh air itu, dan ia merasakan dingin yang mengerikan merambat. Di bawah permukaan genangan air itu, ia melihat bayangan.
Di bawah genangan air setebal beberapa sentimeter itu, tanah di bawahnya tidak ada.
Rendra melihat ke bawah, melalui permukaan air yang tenang dan bening itu. Ia melihat kuburan air.
Di bawahnya, ratusan nisan berdiri miring, terendam dalam air gelap. Nisan-nisan yang hanya berupa batu-batu kecil yang ditancapkan, masing-masing bertuliskan nama yang samar. Nama-nama penduduk Waringin yang pernah “menghilang”—korban ritual pengorbanan Air Kehidupan selama bertahun-tahun.
Ini adalah dunia di bawah tanah yang ia lihat di Sumur Tua.
Dan di antara nisan-nisan itu, di dasar air yang gelap, sesosok tubuh terikat pada sebuah nisan besar.
Itu adalah Hardi.
Hardi terikat pada nisan itu, wajahnya pucat pasi, matanya terbuka lebar dalam kengerian yang tak terbayangkan. Tubuhnya terendam sepenuhnya. Hardi tidak mati, tetapi terperangkap, hidup, di dasar Kuburan Air itu.
Hardi melihat ke atas, ke wajah Rendra yang menatapnya dari permukaan genangan air. Hardi mencoba berteriak, memohon, tetapi yang keluar dari mulutnya hanyalah gelembung-gelembung udara yang naik, pecah di permukaan.
Air itu menelan Hardi, menjadikannya bagian dari memori Laras.
Rendra tersentak mundur, menyadari bahwa genangan air di lantai gubuk itu kini adalah portal kecil ke dunia bawah air Laras.
Dimas, yang dirasuki oleh amarah Laras, tidak membunuh Hardi. Ia memberinya hukuman yang lebih kejam: terperangkap selamanya di antara ratusan arwah yang ia ciptakan.
Rendra menoleh ke Dimas.
“Kau… kau yang melakukannya?”
Dimas kembali sadar. Matanya yang jernih menatap Rendra, penuh ketakutan.
“Kak… aku nggak tahu. Tadi aku marah sekali. Dia bilang… dia bilang dia adalah ayahku. Dan tiba-tiba, air itu datang dan mengikatnya. Laras… Laras bilang dia harus tetap di sini. Dia harus menjadi saksi untuk selamanya.”
Air yang menggenang di lantai gubuk itu perlahan-lahan surut, menghilang ke dalam tanah, dan nisan-nisan di bawahnya menghilang. Hardi, yang terikat di dasar kuburan air, menghilang dari pandangan.
Dimas jatuh pingsan, kedinginan dan kelelahan.
Rendra memeluk Dimas. Anak itu kini benar-benar bersih, tidak ada lagi bau lumpur atau amarah. Ia telah bebas.
Rendra melihat ke mayat Nyai Melati, dan kemudian ke tempat Hardi berdiri. Ia tahu, meskipun kebenaran telah terungkap dan kutukan telah berhenti, harga yang harus dibayar masih sangat besar.
Kini, ia harus menghadapi sisa-sisa amarah Laras: adalah Rani yang masih terperangkap di dunia bawah air.
Rendra menggendong Dimas dan meninggalkan gubuk, membawa tubuh Nyai Melati bersamanya, menuju Lapangan Desa.
Di Lapangan Desa, penduduk telah mulai membersihkan. Mereka tidak lagi marah, tetapi bersatu dalam rasa bersalah. Mereka melihat Rendra yang membawa dua tubuh—Dimas yang pingsan dan Nyai Melati yang telah meninggal.
“Dia berhasil,” bisik seseorang. “Hujannya sudah bersih.”
Rendra menatap mereka. Ia tahu, tugasnya belum selesai.
Ia menatap Sumur Tua. Ia tahu, ia harus kembali ke dunia bawah air untuk membawa adiknya pulang.