Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Hati Yang Rapuh
Kehilangan anak yang dinanti-nanti, lalu tak lama kemudian kehilangan suami yang dicintai. Ditambah terkuaknya kalau selama masa hidup suaminya telah melakukan korupsi di tempat kerjanya. Ketiga musibah itu sudah sangat menghancurkan hati Rumi, andaikan saja ia hidup sebatang kara, mungkin mental Rumi benar-benar down dan berujung sakit mental.
Dan, pagi ini dengan kedatangan ibu mertua serta wanita yang tidak ia kenal membawa masalah baru. Bukannya perhatian yang ia dapatkan, tapi justru diusir dan penghinaan yang ia dapatkan. Tragis bukan? Semua masalah datang dalam waktu berdekatan, bahkan tidak ada ruang untuk Rumi bernapas sejenak.
Sementara itu, di luar rumah sengketa itu, sopir Julian ternyata tidak langsung pulang. Ternyata ia sedang menjalankan tugas tambahan yaitu mengintai keadaan Rumi di dalam sana sebelum meninggalkan rumah tersebut. Namun, melihat kejadian dari jauh, sopir itu tak jadi pergi, ia seperti menunggu sesuatu.
“Eh ... eh, kamu malah balikkan tanya sama saya! KAMU TUH NGGAK BERHAK YA, BERTANYA SEPERTI ITU! YANG JELAS KAMU HARUS TANGGUNG JAWAB!!” balas Bu Yenni.
Rumi berdecak, sudut matanya menajam dibalik buliran bening yang sempat membasahi pipinya.
“Betul kata Ibu, kamu itu udah nggak sopan sama Ibu! Di mana-mana kalau ada masalah hutang piutang, istri lah yang bertanggung jawab kalau suaminya sudah meninggal!” timpal Lia dengan ketusnya.
Rumi menoleh, suaranya terkekeh pelan. "Kalian lah yang menikmati semuanya, tapi seenaknya kalian lepas tangan saat ada masalah! Dan ... Mbak itu siapa sih? Keluarganya Mas Bisma? Atau ... jangan-jangan selama ini Mas Bisma telah main belakang dariku ... hem?”
Dagu Lia terangkat sembari menyibakkan rambutnya yang panjang, sudut bibirnya tersenyum miring.
Dada Rumi rasanya sangat sesak, tanpa dijawab oleh Lia, Rumi sudah bisa menebaknya. Tak lama kemudian, tanpa bertanya kembali atau menunggu sebuah jawaban Rumi kembali melangkah dengan membawa tas kecilnya itu.
“Eh ... eh, mau ke mana kamu! Enak aja pakai pergi segala!” cegah Lia. Dengan beraninya ia merampas tas kecil dan memberikannya pada Bu Yenni.
“Bu, periksa tasnya dulu ... siapa tahu dia nyimpan perhiasan atau uang dari Mas Bisma!” titah Lia.
“Kalian berdua keterlaluan!!” Rumi berusaha merebut tas miliknya dari tangan Bu Yenni. “Kalian yang menikmati uangnya Mas Bisma, sekarang kalian mau merebut milikku!” teriak Rumi dengan suaranya yang bergetar.
Bu Yenni tersenyum jahat saat menemukan seikat uang lebaran merah. “Ini apa! Hem! Uangnya Bisma, kan!” tunjuknya.
“Jangan ambil uangku, itu uang milikku, bukan uang Mas Bisma!” seru Rumi sembari mengapai uang pemberian Julian.
Namun, Lia mendorong tubuh hingga tubuh Rumi terjatuh, keningnya pun membentur lemari pajangan hingga berdarah.
“Aduh!” Rumi meringis kesakitan, bekas jahitan operasi di perut bawahnya pun terasa amat sakit.
“Non!”
Sopir Julian masuk ke dalam rumah, pria itu sejak tadi sudah berdiri di depan rumah dan merekam semua kejadian untuk dikirim ke tuannya melalui Derry—asistennya.
Bu Yenni dan Lia berhenti mengeluarkan isi tas milik Rumi, mereka sama-sama menatap pria berseragam safari hitam itu.
“Pak!” Rumi terkejut melihat kehadiran pria itu, bahkan tanpa sungkan sopir Julian membantu Rumi berdiri. Lalu, pria yang bertubuh bak bodyguard itu menatap garang pada kedua wanita itu.
“Masukkan semua barang-barang Nona Rumi, termasuk yang Anda rampas itu! Kalau tidak, saya tidak segan-segan menelepon polisi!” sentak Ferdy.
Wajah Bu Yenni mendadak ketakutan, kemudian dimasukkan semua barang ke dalam tas Rumi. Lalu, Ferdy mengambilnya dengan kasar.
“Mari Non, kita pergi dari sini,” ajak Ferdy, suaranya tiba-tiba lembut, tidak tinggi kembali.
Rumi mengangguk pelan dengan matanya yang kembali basah. Dan, Ferdy memapahnya dengan hati-hati.
Bu Yenni mendesah kesal, tapi penasaran dengan pria yang menolong menantunya itu.
“Bu, lihat ... mobil itu harganya milyaran loh! Sedangkan mobilku yang dibelikan sama Mas Bisma harganya hanya 300 juta aja,” gerutu Lia kesal melihat Rumi masuk ke dalam mobil Julian.
Bu Yenni geram. “Sudahlah, yang penting kamu dibelikan mobil sama Bisma. Sekarang, kita harus cuci tangan masalah Bisma. Ibu tidak mau menanggung hutangnya. Enak aja! Kalau melihat Rumi naik mobil mewah itu ... berarti dia bisa membayar hutangnya Bisma, dan rumah ini bisa menjadi milikmu.”
Lia menoleh, menatap wanita paruh baya itu dengan senyuman jahatnya. “Bu, berarti kita harus teror dia ya.”
***
Ferdy sejak tadi melirik kaca tengah, memantau keadaan Rumi yang sejak tadi hanya diam di dalam kabin mobil. Tidak ada tangisan yang terdengar. Namun, wajah Rumi tampak semakin pucat seperti tidak ada aliran darah.
Akhirnya Ferdy memilih membawa Rumi ke rumah sakit tanpa bertanya, karena sejak tadi sudah diajak bicara, wanita muda itu tetap diam, matanya terlihat kosong.
Sementara itu di mansion Julian, 20 menit yang lalu suara tangisan baby Kenzo terdengar sangat kencang. Nia sejak tadi sudah berusaha menenanginya, dengan mengendongnya, memberikan asi lewat botol, tapi tetap saja baby Kenzo tidak berhenti menangis.
Aulia yang sudah diizinkan menginap di sana pun pura-pura mengendong baby Kenzo saat Julian menyambangi kamar anaknya.
“Kak Julian ... ini Kenzo nangis terus ... nggak bisa diam,” keluh Aulia seakan-akan ia sudah lelah mengurus bayi itu, padahal baru beberapa menit.
“Nia, kamu sudah kasih susunya?” Bukannya menanggapi adik iparnya, justru Julian bertanya pada baby sitter.
“Sudah Tuan, tadi isi botolnya stok asi-nya Mbak Rumi, tapi tetap aja Tuan Muda nggak mau,” balas Nia.
Julian menghela napas panjang, diambilnya baby Kenzo dari gendongan Aulia.
“Ini Papa, Sayang,” bisik Julian saat menimang-nimang anak tampannya. “Anak Papa mau sama siapa ... mmm?”
Andaikan baby Kenzo bisa ngomong, sejak tadi ia sudah menjawab, “Mau ... sama Ibu Rumi, Papa.”
“Kenzo rewel lagi?” Tiba-tiba saja Mama Liora masuk dan langsung menyentuh pipi Kenzo. “Agak hangat badannya.”
Julian ikutan menyentuh kening baby Kenzo. “Iya ... agak hangat. Sebaiknya kita ke rumah sakit saja sekarang.”
Mama Liora menyentuh lengan putranya, dengan menggeleng-geleng. “Anakmu ... butuh ibu susunya. Coba kamu hubungi dia. Bicara lah yang lembut dengannya,“ pinta Mama Liora.
Pria itu mengangguk paham, lalu memberikan putranya pada mamanya. “Aku akan mencoba menghubunginya dulu.”
“Kak, kenapa juga sih harus hubungi wanita itu! Memangnya, tidak bisa minum susu formula saja. Dan, kalau badannya panas ... ya bawa saja ke dokter!” seru Aulia, terlihat tidak suka.
Mama Liora terbelalak.
“Masih untung aku izinkan kamu menginap di sini, Aulia! Kalau kamu tidak suka silakan pulang,” tegas Julian sebelum keluar dari kamar putranya.
Begitu keluar, berpapasan dengan Derry yang baru saja mau mencari tuannya.
“Derry, kebetulan sekali, hubungi Ferdy, minta dia menjemput Rumi. Anak saya badannya panas.”
“Tuan, saya baru mau kasih kabar ... kalau Ferdy sekarang ada di rumah sakit, Rumi pingsan.”
Bersambung ... ✍️