Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Di sisi lain, suasana ruang kerja yang berisi banyak berkas di meja. Terlihat Dion sedang sibuk mengurus dan menandatangani berkas tersebut, ia terlihat begitu sibuk hingga suara ketukan pintu membuatnya tersadar.
"Masuk." Jawab Dion dari dalam ruangannya.
Pintu terbuka, memperlihatkan sosok pria jangkung yang menjadi sekretarisnya selama ini.
"Permisi, Pak." Sapa Wildan, pria berusia 28 tahun itu menghadap Dion.
Dion mendongak, "Ada apa, Wil?"
"Tuan, saya membawa paket untuk Anda." Sahutnya, sambil menyerahkan kotak paket berukuran sedang.
Kening Dion berkerut halus, ia tak merasa memesan paket. Dion melihat nama yang ada di atas paket tersebut, namun hanya ada namanya dan tidak ada nama pengirimnya.
"Baiklah, terima kasih." Jawab Dion.
Wildan mengangguk, ia membungkuk hormat lalu keluar dari ruangan Dion. Selepas kepergian sekretarisnya, Dion mengambil cutter dan bersiap membuka kotak tersebut.
Ia membuka kardus itu perlahan, berharap menemukan dokumen penting yang telah di tunggunya. Namun, saat kertas pembungkus terlepas, matanya tertumbuk pada sebuah foto.
Hatinya berdegup kencang ketika ia mengenali sosok di dalam gambar itu putri bungsunya, Deva Claudia. Terlihat di foto itu Deva sedang duduk cantik di antara para pria, pakaian mini berwarna hitam dengan belahan dada rendah yang mempertontonkan belahan dadanya.
Tampak mereka sedang berbincang akrab dengan seorang pria yang tidak di kenalnya. Pria itu terlihat santai, tetapi pose mereka membuat perut Dion bergejolak.
Amarahnya semakin membara. Urat-urat di leher pria itu menonjol, dan napasnya terasa berat.
"Apa-apaan ini semua?" pikirnya, berusaha menahan diri agar tidak berteriak.
Gambar itu seolah menjadi pengingat betapa liarnya sosok Deva saat di luar rumah, dan betapa ia merasa kehilangan kendali atas hidup putrinya.
Dion meremas foto itu dengan tangan bergetar. Gambaran kebahagiaan putrinya seolah menantang semua insting pelindung yang dimilikinya.
Dengan hati yang bergejolak, ia bergegas memasukkan semua foto ke dalam kardus lagi, dan mengambil jasnya yang tergantung di pojok ruangan.
"Deva harus menjelaskan ini semua!" gumam Dion, tujuannya kali ini adalah rumah. Ia berniat menunggu putrinya pulang untuk meminta penjelasan.
***
Hari semakin malam, namun Deva seperti enggan pulang. Ia duduk di halte bus menunggu ojek pesanannya datang, namun hingga setengah jam berlalu ojek itu tak kunjung muncul dan justru ia mendapat notifikasi bahwa pesanannya di cancel.
Motornya yang ia pakai tadi pagi mendadak mogok dan ia terpaksa harus meninggalkannya di kampus.
"Anjir, kok di cancel mulu sih? mereka nggak mau duit apa gimana?" gerutu Deva.
Ia berniat memesan lagi, namun batrei ponselnya keburu habis. Deva mendesah lelah, ia kembali duduk dan menunggu taksi lewat.
Namun, tanpa ia duga sebuah motor sport berhenti tepat di depannya. Deva menaikan satu alisnya ke atas, ia merasa tak asing dengan motor itu.
"Lo nggak pulang?" tanya pemuda yang tak lain adalah Jack.
Deva menatap malas ke arah Jack yang baru saja melepas helm full face dari kepalanya. Rambut hitam pemuda itu sangat indah, seakan meminta Deva untuk menyentuhnya.
"Belum." Sahut Deva singkat.
Ia memperhatikan Jack yang turun dari motor, dan mendekati Deva. Pemuda itu menunduk hingga matanya bertatapan dengan langsung dengan mata milik gadis itu.
"Ngapain lo di sini?" cetus Deva merasa heran.
Namun, Jack tak menjawab. Ia justru memilih duduk di samping Deva, pemuda itu memerhatikan gadis di sampingnya dengan intens.
Deva yang sadar jika di perhatikan, langsung menoleh ke arah Jack. "Jangan natap gue terus, nanti wajah gue bolong."
"Lo lucu." Jawab Jack spontan.
Deva mengangguk, "Gue tahu kok."
Jack terkekeh, ia menegakan kepalanya dan menatap jalanan yang mulai sepi.
"Pulang, yuk. Gue anter." Ajak Jack
Namun Deva menolaknya dengan halus, "Nggak usah, gue udah pesen ojek."
"Yakin?"
Deva mengangguk ragu, ia melihat Jack berdiri dan berjalan menuju motornya. Deva pikir pemuda itu berniat pergi, namun ia justru memberikan helm padanya.
"Pake." Ujar Jack menyodorkan helmnya.
"Nggak us-"
"Pake, Deva. Sebelum gue yang pakein?" potong Jack seraya menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
Deva terdiam sejenak, terjebak antara rasa malas untuk terlibat lebih jauh dengan pemuda tersebut, akan tetapi senyuman Jack yang menggoda tak bisa mengalihkan pandangannya.
'Mata gue kenapa sih? dari tadi penginnya lihat muka dia mulu!' batin Deva menggerutu.
Ia sadar bahwa Jack tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Akhirnya, dengan sedikit canggung, ia menerima helm itu dan memakainya.
"Bisa naik sendiri? atau mau gue gendong?" ujar Jack jahil.
"Ogah, kaki gue masih sehat! gue masih bisa jalan sendiri."
Jack mengangguk, senyum di wajahnya tak kunjung redup. Entah bagaimana, ia selalu ingin menjahili Deva setiap kali bertemu. Terlebih gadis itu sama sekali tidak terlihat takut padanya.
Mereka berdua pun meluncur di jalanan yang sepi, suara mesin Motor Jack mengisi keheningan hari yang mulai gelap.
Angin malam menyentuh wajah Deva, membuatnya merasa segar. Namun, di dalam hati, ada perasaan tak nyaman yang hingga sejak tadi pagi.
'Kenapa perasaan gue nggak enak begini, ya?' batinnya bertanya-tanya. Ia hanya bisa berharap semua akan baik-baik saja, tanpa tahu jika malam ini akan menjadi awal mula kehancuran mentalnya.