“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Terang
Beberapa menit sebelumnya.
“Kamu masuk kamar dulu, ya. Aku ke dapur sebentar,” ucap Bagantara, suaranya tenang namun tak menyisakan ruang bagi penolakan.
Kinasih hanya mengangguk, jemarinya terulur mendorong daun pintu yang terasa berat. Entah mengapa, hawa dingin tiba-tiba menjalari kulitnya, merayap hingga ke tulang belakang. Ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang menggetarkan naluri paling dasar dalam dirinya.
Saat pintu menganga, aroma anyir menusuk indera penciumannya, menyelinap ke rongga dada, membuat nafasnya tercekat. Kinasih menahan langkah sejenak, dadanya bergemuruh. Suasana kamar yang biasanya menenangkan kini terasa seperti lorong suram tak berpenghuni.
Ia memaksakan diri melangkah. Pandangannya sekelebat menangkap sesuatu melintas cepat di sudut mata.
“Apa tadi itu…?” bisiknya, tak sadar tubuhnya menegang.
Matanya menyapu ruangan, namun tak menemukan apa pun selain bayangan-bayangan bisu yang menari di dinding. Suara lirih serupa desir angin menggesek-gesek dinding, membawa hawa dingin yang mengerikan. Sekujur tubuh Kinasih mendadak kaku, langkahnya mengambang di antara keberanian dan ketakutan.
“Kenapa aku malah merinding begini…” gumamnya, kedua tangannya sibuk mengelus lengan yang terasa menggigil.
Tapi rasa takut tak serta-merta mematahkan tekadnya. Dengan nafas tersendat-sendat, Kinasih melangkah lebih dalam, menutup pintu di belakangnya perlahan. Namun, baru saja pintu terkatup rapat, nalurinya berteriak ada sesuatu di belakangnya. Seketika ia membalikkan badan kosong. Tak ada siapa pun.
Bersamaan dengan itu, suara berderak rendah terdengar dari sudut ruangan. Kinasih menelan ludah, lehernya terasa kaku saat perlahan-lahan ia kembali menoleh ke arah pintu.
Dan di sana, tepat di ambang pintu, sosok Sandrawi berdiri. Wajahnya pucat pasi, sorot matanya kosong namun menyiratkan penderitaan yang menusuk relung jiwa.
“Tidak…” suara Kinasih pecah di kerongkongan, langkahnya surut tanpa sadar.
Sandrawi melayang perlahan mendekatinya, gaun yang melekat di tubuhnya compang-camping, menebar hawa kematian yang menyesakkan dada Kinasih. Mata gadis itu menatap kosong, namun ada jerit luka menguar dari sorotnya.
“Sandrawi…,” Kinasih tersendak, tak mampu menahan getaran di suaranya.
Tak ada balasan, hanya tatapan penuh duka dari sosok yang telah tiada itu. Kinasih mencoba menggerakkan kaki, memutar arah menuju pintu. Tapi setiap cengkraman jari pada gagang pintu seakan sia-sia. Daun pintu itu tak bergeming, seolah dikunci oleh tangan tak kasatmata.
“Buka pintunya! Tolong! Siapa pun, buka pintunya!” Kinasih menjerit, kepanikan merayapi seluruh syarafnya.
Namun suara lirih melayang ke belakangnya, membuat darahnya nyaris membeku.
“Mau ke mana, Mbak?”
Dengan jantung yang hampir copot, Kinasih menoleh. Sandrawi sudah berdiri tepat di hadapannya begitu dekat, wajah pucatnya hampir bersentuhan dengan wajahnya.
“AAAAHHH!”
Bersamaan dengan jeritannya, pintu mendadak terhempas terbuka. Kinasih berhambur keluar, tanpa menoleh lagi, hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari kengerian itu. Nafasnya memburu, langkahnya terantuk, hingga tanpa sadar ia menabrak dada bidang Bagantara yang buru-buru menahannya.
“Kinasih? Kenapa kamu?” Bagantara bertanya, wajahnya penuh kebingungan. Kinasih tidak menjawab, hanya memeluknya erat seolah nyawanya baru saja terselamatkan.
Renaya yang berdiri tidak jauh dari mereka segera menghampiri. “Ada apa, Mbak?” tanyanya, dahi mengernyit penuh rasa ingin tahu.
Kinasih terisak, tubuhnya gemetar hebat. Tak mampu berkata-kata, hanya debaran ketakutan yang mendominasi dirinya. Air mata menetes tanpa bisa dibendung, membasahi bahu Bagantara.
Beberapa hari yang lalu, Kinasih selalu menganggap perkataan suaminya tentang hantu Sandrawi hanya isapan jempol belaka. Kini, ketakutan yang membelenggu dadanya membuktikan semuanya nyata, Sandrawi datang, bahkan menghampirinya.
Renaya perlahan mengusap punggung Kinasih, mencoba memberikan ketenangan. Setelah beberapa saat, napas Kinasih mereda, tubuhnya tidak lagi terlalu bergetar.
“Sandrawi, Mas…” gumamnya parau, matanya masih merah basah. “Dia… dia baru saja mendatangiku…” Dengan gugup dan ekspresi ketakutan yang kentara, Kinasih pun mengatakan apa yang baru saja dilihatnya.
“Ha?” Bagantara spontan menganga, suaranya tercekat di kerongkongan, seolah pikirannya kesulitan mencerna ucapan Kinasih beserta situasi yang mengikutinya.
“Tadi waktu aku masuk kamar… Sandrawi… dia… dia muncul, Mas. Dia jadi hantu!” Kinasih menjawab tergagap, suaranya parau, namun jelas.
“Yang bener aja kamu! Jangan ngawur,” sanggah Bagantara, geleng-geleng kepala seolah menepis bayangan yang tak ingin ia percayai. Padahal, beberapa hari terakhir, ia sendiri sempat dihantui Sandrawi, namun entah kenapa lidahnya kelu untuk mengakui ketakutan di depan Kinasih.
Berbeda dengan Renaya yang hanya diam, menyimak penuh intensitas tanpa berniat menyangkal sedikit pun. Tatapannya jelas, percaya sepenuhnya pada pengakuan Kinasih.
“Emangnya ekspresiku kelihatan kayak orang bohong, Mas?” Kinasih mengangkat wajahnya, matanya membulat dengan rasa takut yang masih nyata.
Bagantara mengusap wajahnya dengan gerakan kasar, gusar menyelimuti sorot matanya. Renaya mengamati bagaimana gelagat Bagantara berubah gelisah, meski bukan dirinya yang barusan menyaksikan sosok Sandrawi. Rasa takut pun menyusup ke dalam dada Renaya.
“Enggak mungkin itu Sandrawi…” gumam Bagantara, lebih kepada menenangkan diri daripada menepis kenyataan.
“Bisa aja!” Renaya menyambar cepat, nada suaranya dalam, penuh keyakinan. Ia menatap Kinasih yang masih terlihat lemas, peluh terus mengucur dari pelipisnya. “Kalau Mbak Kinasih ngerasa masih ada yang belum kelar sama Sandrawi… itu bisa jadi alasan kenapa dia balik datengin Mbak.”
Renaya melanjutkan dengan sorot mata menukik ke arah Bagantara. “Biasanya, orang meninggal yang gentayangan itu karena masih punya urusan yang belum tuntas di dunia.”
Bagantara mendesah keras, dengusan kesal keluar dari bibirnya. Tatapannya tertuju tajam pada Renaya yang dengan berani melontarkan pernyataan itu.
“Udah, jangan nakut-nakutin. Orang mati ya mati. Udah selesai urusannya sama dunia!” suaranya terdengar membentak, menyimpan kepanikan yang dipaksa diredam.
Renaya mengangkat dagu, kedua tangan bersedekap di depan dada. “Aku cuma ngomong fakta, Mas. Nggak ada orang mati gentayangan tanpa alasan. Sandrawi nggak mungkin dateng kalau nggak ada sesuatu.”
“Itu bukan Sandrawi,” sanggah Bagantara, semakiN meninggi nadanya. “Mbak kamu itu cuma kecapean, makanya halusinasi. Jangan dibuat tambah serem!”
“Tapi aku ngelihatnya jelas banget, Mas… Aku nggak ngarang!” Kinasih membantah dengan suara tercekat, tubuhnya bergetar menahan ketakutan.
Renaya menambahkan cepat, “Aku percaya sama Mbak Kinasih. Sandrawi emang dateng karena Mbak masih banyak salah sama dia.”
Sekujur tubuh Kinasih makin meremang. Ucapan Renaya seperti menyayat nuraninya yang selama ini ia abaikan. Ia sadar betul betapa buruk perannya sebagai kakak selama Sandrawi hidup. Kini ketakutan benar-benar membelit, membuatnya sulit berpikir jernih.
Namun di sisi lain, Renaya menyunggingkan senyum samar, puas melihat kegelisahan Kinasih semakin memuncak. Sedangkan Bagantara yang berdiri di sisi mereka terus menatap Renaya penuh amarah, seolah hendak menegur tajam.
“Jangan kamu nakut-nakutin Mbak kamu, Renaya!” Bagantara akhirnya menegur dengan nada mengancam, suaranya bergetar menahan luapan emosi.
Renaya melirik cepat ke arah Kinasih, menyadari betul bagaimana perempuan itu mulai tampak goyah, nyaris tak bisa menguasai dirinya sendiri. Namun, tak sedikit pun terbersit penyesalan di wajah Renaya. Justru sebaliknya, tatapan matanya tetap tajam, tak goyah sedikit pun setelah berhasil membuat Kinasih terguncang seperti itu.
“Aku nggak sedang menakut-nakuti siapa pun,” ucap Renaya, nada bicaranya datar namun menggema penuh tekanan, “Aku cuma pengen Mbak Kinasih membuka mata… membuka pikiran… tentang semua kejadian ini.”
Bagantara menghembuskan napas panjang, gesturnya menunjukkan kejengkelan yang nyaris meledak, sama seperti yang sering ia lakukan setiap kali harus beradu argumen dengan Renaya. “Jangan banyak omong kamu!” bentaknya, sorot matanya berkilat geram. “Mana mungkin Sandrawi melakukan itu ke keluarganya sendiri?”
Dengan tenang Renaya menyilangkan tangan di dada, matanya mengitari wajah Bagantara dan Kinasih secara bergantian, lalu mengerucutkan bibirnya sinis. “Kenapa nggak mungkin? Barangkali Mbak Kinasih sama Mas Bagantara justru punya banyak salah sama Sandrawi semasa hidupnya.”
Perkataan itu sontak membuat Bagantara memukul udara dengan tangan, emosinya melonjak tanpa bisa dikendalikan. “Sekarang kamu malah nuduh kami sembarangan? Jangan sok paling benar kamu, Renaya!” suaranya menggelegar, wajahnya mulai memerah.
Tak tinggal diam, Kinasih menyambar cepat, suaranya terdengar menusuk. “Kamu juga jangan semena-mena melempar kesalahan ke orang lain, Renaya. Kamu sadar, kan? Selama ini kamu juga nggak pernah ada di sisi Sandrawi.”
Kinasih meneruskan kalimatnya dengan nada yang semakin tajam. “Kamu bahkan bersenang-senang, sibuk dengan duniamu sendiri, sementara Sandrawi bergulat sendirian dengan penderitaannya. Aku… aku punya suami, hidup kami jelas terpisah. Aku punya alasan logis kenapa beban Sandrawi di luar jangkauan tanganku!”
Serentetan kalimat panjang nan tajam dari Kinasih berhasil membungkam Renaya. Gadis itu mendadak diam, tatapannya mengendur, dan Bagantara tak bisa menyembunyikan rasa puas yang terpancar dari wajahnya akhirnya, Renaya terdesak juga.
Namun, Renaya kembali menarik napas dalam-dalam, menegakkan tubuhnya, lalu bersuara lebih rendah tapi jelas, “Aku memang sadar… selama ini aku nggak pernah ada untuk Sandrawi. Aku menjauh, mengasingkan diri dari keluarga ini, aku nggak tahu apa pun tentang luka-lukanya. Tapi justru karena aku nggak tahu apa-apa… aku nggak bisa serta-merta percaya kalau Mbak Kinasih nggak ikut andil dalam penderitaan Sandrawi.”
Nada suaranya tidak meninggi, tapi sarat akan penekanan yang menusuk batin. Kinasih spontan mengerutkan kening, menatap Renaya seolah tidak percaya dengan tuduhan yang baru saja terlontar.
“Kenapa kamu malah menuding aku?” Kinasih berseru, suara tingginya bergetar, antara marah dan kecewa.
Renaya menggeleng pelan, senyum kecut merekah di sudut bibirnya. “Karena sejauh apa pun kamu pergi, Mbak… kamu tetap kakaknya Sandrawi. Kamu masih punya kewajiban memperhatikan dia… seenggaknya sesekali menoleh, melihat keadaannya. Tapi kamu nggak melakukannya, padahal kamu punya kesempatan.”
Sekarang giliran Kinasih yang terdiam membisu, wajahnya kehilangan warna, bibirnya terkatup rapat. Sementara Bagantara menatap keduanya dengan nafas memburu, matanya memicing tak sabar, lalu kembali mengembuskan napas berat.
“Sudahlah… cukup.” Bagantara akhirnya mengakhiri percakapan, lelah menyelimuti wajahnya. “Aku nggak mau bahas ini lagi.”