Kairos Lim, aktor papan atas yang terpaksa menghadapi badai terbesar dalam hidupnya ketika kabar kehamilan mantan kekasihnya bocor ke media sosial. Reputasinya runtuh dalam semalam. Kontrak iklan dibatalkan, dan publik menjatuhkan tanpa ampun. Terjebak antara membela diri atau menerima tanggung jawab yang belum tentu miliknya. Ia harus memilih menyelamatkan karirnya atau memperbaiki hidup seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi orang biasa
Sebuah postingan random di sosial media berhasil memancing perhatian beberapa pengemar dari beberapa sisi. Ada yang senang, menentang atau pun pasrah jika postingan itu benar adanya.
Omo, romantis sekali kapal satu ini
Komentar tersebut mengawali postingan di mana foto seorang pria sedang duduk di Caffè Pascucci menikmati espressonya seorang diri, pria itu menggunakan topi berwarna hitam. Sedangkan foto kedua, siluet mereka di dalam sebuah mobil tengah berciuman meski samar-samar. Dan foto ketiga, Shin Hanna bersama manajernya mengenakan topi yang sama baru saja keluar dari parkiran mobil.
Kalau tiba-tiba Kaihan nikah kita mah pura-pura kaget saja biar mereka senang.
Dia-Kairos benar-benar tidak punya rasa bersalah. Ku harap Hanna segera mendapatkan karma seperti Sena.
Gemes banget pasangan satu ini.
Aku benar-benar tidak terima jika Shin Hanna bersama pria brengsek seperti Kairos.
Omo jinjayo? Jika benar terjadi aku akan berhenti menjadi Shinneries
Pasangan terkutuk
Jangan nyebarin rumor, topi seperti itu bukan satu di dunia ini.
Komentar-komentar terus membanjiri postingan tersebut, sedangkan pemilik foto yang sedang disebar tanpa izin, menikmati waktu berduanya di sebuah villa pinggir pantai, hanya beberapa jam dari hiruk pikuk kota Seoul, suasana terasa begitu damai dan romantis.
Langit musim dingin berwarna kelabu pucat, seolah menyelimuti dunia dalam keheningan yang indah. Udara dingin menyentuh pipi, membawa aroma laut yang bersih dan segar, sementara embusan angin musim dingin membuat keduanya saling menggenggam tangan lebih erat.
Pasangan itu berjalan beriringan di tepi pantai yang sepi. Butiran salju tipis turun perlahan, menari-nari di udara sebelum menyentuh pasir yang lembap dan membentuk lapisan putih halus. Suara ombak yang lembut menjadi latar suara alami, berpadu dengan detak jantung yang tenang dalam pelukan suasana yang hening.
Mereka sesekali saling tersenyum, membisikkan kata-kata lembut yang hanya terdengar di antara mereka berdua. Jejak kaki mereka membekas di pasir bersalju, meninggalkan jejak kenangan yang sederhana namun abadi.
Di musim dingin yang sepi dan damai ini, cinta mereka terasa semakin hangat—seperti secangkir cokelat panas di tangan yang dingin, atau selimut lembut yang membungkus dua hati yang saling menemukan rumah dalam satu sama lain.
"Bisakah kebahagian ini kumiliki selamanya Oppa?" tanya Hanna dengan suara lirihnya.
"Bisa Jagiya," bisiknya di cuping telinga sang kekasih.
Kairos menumpukan dagunya pada pundak sang kekasih, memeluknya dari belakang dan memandangi ombak pasang surut. Sama seperti Hanna, ia pun menginginkan kebahagian ini abadi.
"Oppa?"
"Oppa di sini Jagiya," sahutnya penuh kelembutan, mengecup bibir Hanna ketika menoleh sebentar.
"Aku sangat ingin mengumumkan pada dunia bahwa oppa adalah milikku dan begitu pun sebaliknya."
"Akan tiba waktunya." Kairos tersebut lebar.
"Andai saja kita orang biasa, mungkinkah hubungan kita tidak akan serumit ini?"
Alih-alih menjawab Kairos malah tertawa, melepaskan pelukannya dan menjawil hidung sang kekasih. "Bahkan tanpa menjadi selebriti, kamu tetap tidak bisa menjadi orang biasa Jagiya. Appamu ...."
"Aku tahu tidak perlu membahas appa. Jangan merusak bahagiaku, Oppa ya!"
"Hanna ya!" teriak Kairos ketika Hanna berjalan cepat menjauhinya. Ia sedikit berlari tetapi Hanna melakukan hal yang sama sehingga sulit menangkapnya.
"Oppa berhenti! Jangan mengejarku" teriak Hanna yang mulai kewalahan, melempar jaket yang ia kenakan pada Kairos.
"Terserah mau berlari sejauh apapun, tapi pastikan tidak kedinginan." Menangkap tubuh mungil Hanna dan memasangkan jaket. "Udara semakin dingin, kita masuk."
Hanna mengangguk, mengikuti langkah Kairos yang mengenggam tangannya. Duduk di dekat perapian sendirian sedangkan Kairos sibuk mengambil beberapa perlengkapan.
"Penghangat tangan, syal dan teh hangat untuk cantiknya oppa," ucap Kairos dan mengecup kening Hanna.
"Oppa, bagaimana jika kita menetap di sini saja?"
"Iya."
"Oppa serius?"
"Hm." Kairos terus saja mengangguk sebagai respon. Hanna hanya ingin mendengar kebohongan dari mulutnya, tetap bertanya meski itu mustahil diwujudkan.
"Oppa tidak akan memaksamu bercerita, tapi jika ingin, oppa siap mendengarkan," ujar Kairos setelah lama terdiam.
"Aku belum siap Oppa."
"Oppa akan menunggu kesiapanmu." Kairos mengacak-acak rambut Hanna. Jelas dari sikap kekasihnya ada yang berusaha disembunyikan, tetapi Kairos tidak mau mendesak Hanna untuk bicara. Biarkan bicara dengan sendirinya agar merasa lebih baik.
"Aku mengantuk." Hanna menyandarkan kepalanya di pundak sang kekasih dan lagi-lagi mendapatkan kecupan lembut, kali ini lebih lama dari biasanya.
"Istirahatlah, oppa akan tetap di sini."
Hanna hanya mengangguk, memejamkan matanya sembari memeluk erat Kairos, berharap waktu tidak berlalu begitu cepat. Ia takut kehilangan Kairos baik sebagai kekasih atau pun sahabat.
Kai orang yang mengambil rekaman suara di rooftop tidak punya motif untuk menjatuhkanmu. Dia hanya pria penganguran dan hidup lontang-lantung menyusahkan adiknya.
Artinya dia butuh uang, kandidat yang pas dijadikan boneka oleh orang-orang ber-uang. Jangan lepaskan sampai dia buka mulut siapa yang menyuruhnya.
Kairos kembali meletakkan ponselnya dan memandangi wajah terlelap Hanna, wajah cantik dengan bulu mata lentik itu selalu bisa membuat dirinya nyaman dan tenang dalam dituasi apapun.
Entah apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika Hanna yang pergi, baik ke dunia atau pria lain. Awalnya Kairos pacaran dengan Shin Hanna untuk pelarian dari rasa sakitnya atas apa yang Han Sena lakukan padanya. Namun, lambat laut hatinya jatuh lebih dalam dari dugaannya.
"Hanna-ya, appa memberiku pilihan sulit beberapa hari lalu, memilihmu atau dibuang oleh mereka."