Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02_ Tetangga Baru.
Rumah di seberang jalan itu sudah lama kosong sejak Lauren pindah ke lingkungan ini tiga tahun lalu. Dari semua rumah yang ada di komplek, hanya rumah itu yang tampak seperti waktu enggan menyentuhnya—cat dinding yang mulai pudar, pekarangan yang jarang dirawat, serta teras kecil yang selalu terlihat sedikit muram.
Lauren sudah terbiasa berjalan melewatinya setiap hari tanpa memperhatikan, menganggap rumah itu hanya bagian dari pemandangan yang statis. Sesuatu yang tidak berubah.
Sampai pagi itu.
Lauren baru saja selesai menyapu halaman ketika suara mesin dan teriakan ringan dari pekerja bangunan membuatnya menoleh. Truk kecil berhenti tepat di depan rumah kosong itu, disusul beberapa tukang yang turun sambil membawa kantong semen, peralatan, dan papan kayu.
Pagar rumah yang selama ini tertutup rapat kini terbuka lebar.
Lauren memegang gagang sapu, memperhatikan dari kejauhan. Ada yang berbeda. Untuk pertama kalinya sejak ia tinggal di sana, rumah itu terlihat hidup—atau setidaknya, sedang dibangunkan dari tidur panjangnya.
“Pagi, Bu!” salah satu pekerja melambaikan tangan sambil menurunkan balok kayu.
Lauren sedikit tersentak, lalu membalas dengan senyum ramah. “Pagi!”
Suara mesin pemotong kayu mulai terdengar, bercampur dengan denting palu dan percakapan antarpekerja yang saling berteriak untuk mengatasi kebisingan.
Lauren menyandarkan sapu ke pagar rumahnya. Ada sesuatu dalam hiruk-pikuk itu yang membuatnya terus memandangi rumah seberang. Mungkin karena ia tidak terbiasa dengan perubahan. Atau mungkin karena ia merasa hari-hari terakhir hidupnya terlalu sepi, hingga suara berisik semacam itu justru terasa mengisi ruang kosong di dadanya.
Ia mengambil ponsel untuk memeriksa pesan—tidak ada kabar dari Arga, meski waktu sudah hampir siang. Tidak ada “lagi meeting”, atau “nanti aku pulang jam segini”, atau sekadar emoji jempol.
Lauren mengembuskan napas, lalu kembali menatap rumah seberang.
Para pekerja kini mulai mengangkut karung besar ke dalam rumah, sementara yang lain memindahkan perabot kayu dari truk kedua. Lauren melihat sepasang sofa baru masih terbungkus plastik, sebuah bingkai cermin besar, dan kotak-kotak yang tidak berlabel.
Seseorang akan tinggal di sana.
Pikiran itu terasa aneh… tapi juga menenangkan.
Rumah kosong itu dulu seperti cermin yang memantulkan keterasingan Lauren. Tapi kini, dengan segala aktivitas di depannya, rumah itu tampak seperti simbol harapan kecil—sebuah tanda bahwa kebekuan bisa berubah, bahwa sesuatu bisa diperbaiki, direnovasi, dipulihkan.
Sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalam rumahnya sendiri.
Lauren memutuskan untuk masuk dan membuat teh. Dari jendela dapur, ia masih bisa melihat truk dan pekerja yang berjalan mondar-mandir. Sesekali, mereka tertawa keras, bercanda sambil bekerja. Suara-suara itu meluber masuk melalui jendela yang sedikit terbuka.
Entah kenapa, suara itu membuat Lauren merasa… ditemani.
Padahal mereka bahkan tidak mengenalnya.
Setelah menata cangkir di meja, Lauren bersandar pada counter dapur, menatap keluar jendela untuk mengamati proses renovasi itu. Pintu depan rumah seberang kini dilepas dari engselnya, didudukkan di halaman untuk dicat ulang. Tukang lain memeriksa langit-langit teras, mengukur sesuatu dengan meteran panjang.
Semuanya tampak penuh energi. Penuh tujuan.
Tidak seperti Lauren—yang pagi ini hanya berusaha menahan agar tidak merasa sendirian.
Ketika salah satu pekerja keluar membawa cetakan cet bangunan yang besar, Lauren mendengar mereka berbicara.
“Katanya yang punya rumah mau masuk bulan depan,” kata seorang pekerja.
“Sendirian atau keluarga?” tanya yang lain.
“Kurang tahu. Pokoknya rumah ini mau dibagusin total dulu.”
Lauren mengernyit sedikit, tanpa sadar mendekat ke jendela. Sendirian? Keluarga? Siapa pun itu, ia merasa sedikit penasaran. Tapi ia cepat menggeleng. Urusan orang lain seharusnya bukan fokusnya.
Ia mengaduk tehnya, mencoba mengalihkan pikiran.
Namun setiap kali dentang palu terdengar, ia kembali menoleh ke arah rumah seberang.
Menjelang sore, suara renovasi semakin ramai. Truk ketiga datang membawa lemari besar dan beberapa dus berukuran tinggi, seolah pemilik rumah mengirimkan semua barangnya sekaligus. Pekerja mengangkutnya ke dalam, beberapa kali masuk-keluar sambil mengelap keringat dengan punggung tangan.
Lauren kembali berdiri di teras, kali ini dengan secangkir teh yang sudah mulai dingin. Sinar matahari membuat debu proyek berkilau halus di udara. Pekerjaan itu tampak seperti upaya membangkitkan sesuatu yang lama tidur.
Seorang pekerja yang sama melintas di depan rumah Lauren dan mengangguk ramah. “Rumahnya bakal bagus, Bu. Ini baru awalnya.”
Lauren tersenyum kecil. “Kelihatannya memang begitu.”
Pekerja itu tertawa. “Owner-nya kayaknya serius banget soal renovasinya. Sampai nitip pesan buat cek semua detail dari atap sampai lantai.”
“Pemiliknya sudah pernah datang?” tanya Lauren, sekadar ingin tahu.
“Belum. Tapi katanya akan sering mampir dalam beberapa hari ke depan.”
Lauren mengangguk sebagai balasan. “Semoga nanti betah tinggal di sini.”
“Oh, pasti. Lingkungan sini tenang banget soalnya,” balas pekerja itu dengan senyum, sebelum kembali bergabung dengan rekan-rekannya.
Lauren mengamati mereka hingga sore mulai turun. Langit berubah jingga, bayangan rumah seberang memanjang ke jalan, dan truk-truk mulai pergi satu per satu. Para pekerja menutup hari dengan membereskan peralatan.
Ketika suara terakhir mesin dimatikan, tiba-tiba lingkungan terasa lebih sepi dari biasanya. Lauren memejamkan mata sebentar—menyadari bahwa ia hampir menyukai keributan tadi.
Rumah seberang kini berbeda. Jendelanya yang dulu gelap kini memantulkan cahaya lampu-lampu renovasi dari dalam. Ada kehidupan baru yang sedang disiapkan.
Dan tanpa Lauren sadari, perubahan kecil itu akan menjadi titik awal dari hal-hal yang jauh lebih besar di hidupnya.
Untuk sekarang, ia hanya tahu satu hal:
Rumah yang dulu kosong itu tidak kosong lagi.
Dan sebentar lagi, seseorang akan datang mengisinya.
___
Beberapa hari berlalu sejak renovasi dimulai, dan setiap harinya Lauren selalu mendengar suara palu, gerinda, atau pekerja yang bercakap-cakap sambil tertawa. Aneh, tapi Lauren mulai terbiasa dengan keramaian itu. Bahkan, ia sering mendapati dirinya berdiri di teras hanya untuk memperhatikan perkembangan rumah seberang.
Pagi itu, matahari masih lembut, belum terlalu terik. Lauren keluar untuk menyapu teras seperti biasanya. Rambutnya diikat sederhana, dan ia mengenakan sweater tipis berwarna krem. Embusan angin membawa bau debu bangunan, bercampur aroma kayu yang baru dipotong.
Para pekerja masih sibuk. Beberapa dari mereka mengecat bagian luar rumah, sementara yang lain memasang pagar baru. Rumah itu benar-benar berubah. Catnya diganti—lebih cerah, bersih, dan tampak modern. Tanaman baru juga disusun di depan terasnya, meski masih dalam polybag.
Lauren mengamati sambil terus menyapu, kagum melihat betapa cepat rumah itu berubah.
Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Di antara para pekerja, berdirilah seseorang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tidak mengenakan seragam tukang, tidak membawa alat apa pun. Hanya berdiri di bawah naungan pohon besar di depan rumah—tenang, memantau.
Seorang pria jangkung.
Ia memakai topi hitam sederhana yang menutupi sebagian dahinya. Masker hitam menutupi separuh wajahnya, membuat Lauren tidak bisa melihat ekspresi atau ciri-cirinya. Jaket hitam yang ia kenakan kontras dengan sinar matahari pagi, dan tas ransel besar menggantung di punggungnya.
Ciri-ciri yang terlalu tertutup untuk seseorang yang hanya sekadar pengunjung.
Lauren berhenti menyapu, membiarkan bulu sapu menyentuh tanah begitu saja. Tangannya refleks mengecek sekitar—apakah tetangga lain memperhatikan? Tidak ada. Hanya dirinya.
Pria itu berdiri tanpa bergerak, kedua tangannya masuk ke saku jaketnya, tatapannya—atau apa pun di balik topi dan masker itu—tertuju pada rumah yang sedang direnovasi.
Pemilik rumah?
Lauren hampir yakin.
Seorang pekerja menyapa pria itu dengan anggukan sopan, memastikan dugaannya. Beberapa kali pekerja mendekat, menunjukkan tablet berisi daftar material, dan pria itu mengangguk pelan, mengamati sambil tetap menjaga jarak.
Lauren memiringkan kepala sedikit, penasaran. Tidak banyak orang datang untuk mengawasi renovasi dengan cara yang… sehening itu. Biasanya pemilik rumah akan langsung berbicara dengan pekerja, menanyakan perkembangan, memberi instruksi.
Tapi pria ini hanya berdiri. Mengamati. Diam.
Seolah ia lebih nyaman berjarak.
Atau lebih suka tidak diperhatikan.
Saat Lauren kembali menyapu, ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa pria itu menyadari keberadaannya—meski ia bahkan tidak bergerak sedikit pun ke arah Lauren. Cara pria itu berdiri… ada ketenangan yang aneh, hampir dingin.
Sesaat, angin bertiup, mengangkat sedikit tepi masker pria itu. Lauren bisa melihat rahangnya yang tegas, kulitnya yang pucat di bawah bayangan topi.
Seorang pekerja berkata sambil menyerahkan blueprint, “Ini sudah sesuai permintaan, Pak.”
Lauren membeku.
Pak.
Berarti dugaannya benar: itulah pemilik rumah baru.
Pria itu menunduk memeriksa blueprint sebentar, lalu mengangguk pelan, memberi isyarat agar pekerjaan dilanjutkan. Gerakannya efisien, nyaris tanpa suara.
Ketika pekerja kembali bekerja, pria itu menengok sebentar pada jalan… dan matanya—hanya sekilas—terarah pada rumah Lauren.
Lauren tersentak.
Ia tidak tahu apakah pria itu benar-benar melihatnya atau sekadar melirik sekitar. Tapi tatapan itu singkat dan terkontrol, seperti seseorang yang memperhatikan detail kecil tanpa ingin terlihat.
Lauren buru-buru menunduk pura-pura menyapu.
Detik berlalu.
Suara cat digulung.
Burung gereja berloncatan di pagar rumah tetangga.
Lauren memberanikan diri mengangkat wajah.
Pria itu sudah tidak lagi melihat ke arah rumahnya—atau setidaknya, tampak tidak. Ia kembali menatap rumah barunya, seperti seseorang yang sedang menilai barang antik yang hendak ia pulihkan sendiri.
Lauren menggigit bibirnya, sedikit gugup tanpa alasan jelas.
Entah kenapa, meski pria itu tidak melakukan apa pun yang mencurigakan… kehadirannya terasa mengganggu keseimbangan. Seperti seseorang yang tidak seharusnya terlalu samar… tapi juga tidak seharusnya terasa terlalu diperhatikan.
Topi hitam itu. Masker gelap itu. Diamnya yang panjang.
Semua itu membuat Lauren tiba-tiba merasa teringat pada sesuatu—atau seseorang—yang tidak bisa ia jelaskan.
Setelah beberapa menit, pria itu memberi instruksi singkat kepada salah satu pekerja lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Pintu yang belum dipasang sepenuhnya bergeser, menghasilkan suara berat.
Dan lelaki itu menghilang dari pandangan.
Baru setelah itu Lauren sadar bahwa napasnya ternyata sempat ia tahan.
Rumah seberang benar-benar akan punya penghuni baru.
Dan entah kenapa, perasaan yang muncul bukan hanya penasaran… melainkan sesuatu yang samar, dingin, dan tak terjelaskan.
Sebagai firasat kecil bahwa hidupnya tidak akan tenang lama lagi.
Anyway, semangat Kak.👍