Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Tertawa Bersama Anggia
Gaza mengikuti perintah Iskandar, Gaza itu kini duduk di depan bapak. Iskandar, pria yang mewarisi garis wajahnya pada Gaza dan Zanna. Tatapan pria itu serius, penuh peringatan Gaza sudah bisa menduga, pembicaraan kali ini sangat penting.
“Gaza,” panggilan Iskandar tegas. “Kamu tau bagaimana Bapak sangat menjaga reputasi dan harga diri keluarga Alindra?”
“Tau, Pah,” jawab Gaza dengan wajah menunduk.
“Kamu tau bagaimana keluarga Alindra memperlakukan istrinya?”
Gaza mengangguk pelan tapi jelas keraguan di dalamnya, ia tahu tapi tak melakukannya. Mungkin jika bapaknya tau, dia akan mendapat hukuman.
“Kamu ada masalah dengan, Nala?” tanya Iskandar, kali ini suaranya rendah hingga Gaza berani menatap wajahnya.
Gaza diam, ia memilih kata-kata yang tepat tapi tak ada yang bisa ia ungkapkan. “Kami baik-baik saja.”
Iskandar menyipitkan matanya, ia menatap penuh selidik pada putra pertamanya. “Bapak selalu mengingatkan kamu untuk memperlakukan istri kamu dengan baik. Bukan karena dia putri dari mendiang Prabu, sahabat Bapak. Tapi, karena Bapak sudah menganggapnya putri sendiri. Jadi, kamu harus bertanggung jawab terhadap Nala.”
Gaza berusaha tenang. “Aku sudah memperlakukan istriku dengan baik, pah.”
Iskandar tersenyum sinis. “Yakin? Nala bahagia?”
Gaza kembali menunduk. Bukan hanya Nala tapi dirinya sendiri masih mencari bahagia dalam rumah tangga mereka.
“Selalu Gaza upayakan,” ucap Gaza pelan.
“Gaza, kamu yang memutuskan pilihan pada Nala. Bahkan saat Bapak bertanya antara Anggia dan Nala, kamu memilihnya tanpa ragu. Jadi bertanggung jawablah terhadap pilihanmu, bahagiakan dia, jadikan dia istrimu yang sesungguhnya. Bapak tak butuh keturunanmu, bagi Bapak itu bonus pernikahan, jadi jangan bebankan dia untuk melahirkan keturunanmu.”
Gaza mengangguk pelan, ia tahu orang tuanya sudah merasakan kejanggalan antara dirinya dan Nala. Tapi Gaza tidak pernah membayangkan jika keluarganya tau yang sesungguhnya terjadi.
“Aturan di rumah ini memang harus menghormati yang lebih tua, tapi jika harga dirimu terusik, kamu wajib membelanya. Bapak gak mau liat lagi kamu diam saat istri dituntut akan sesuatu yang memang itu di luar kendalinya.”
“Baik, Pah. Gaza paham.”
“Keluarlah dan minta maaf pada istrimu, setelah itu beri pengertian pada Nenek,” pinta Iskandar membuat Gaza mengangguk dan pamit keluar.
***
“Bunda…” teriak Nala saat melihat Ratih akhirnya datang memenuhi undangan Iskandar.
Nala berlari menuruni tangga kemudian memeluk Bundanya, cukup lama seolah membalas semua rindunya selama ini.
“Nala, apa kabar, Nak?” tanya Ratih lembut.
“Gak baik,” bisik Nala pelan.
Ratih, perempuan yang masih cantik di usianya saat ini hanya bisa tersenyum, tangannya mengelus lembut punggung Nala.
Nala melepaskan pelukannya, ia mengecup pipi Ratih penuh cinta kemudian beralih pada Anggia, gadis yang memiliki garis wajah yang sama dengannya. Hanya bagian mata yang berbeda, jika Nala memiliki bentuk mata bulat dan bersinar maka Anggia memiliki bentuk mata almond, tenang dan lembut.
“Kak, apa kabar?” tanya Nala. memeluk Anggia, hanya sebentar.
“Baik, kamu diet ya? kok kurus?” tanya Anggia setelah memperhatikan adiknya dari atas hingga ke bawah.
“Diet dikit biar makin seksi,” jawab Nala sembari tersenyum lebar.
“Seksi apaan, yang ada tulang semua.” Anggia hanya bisa menggeleng melihat kelakuan adiknya itu.
“Loh kok berdua, Tante Laras mana?” tanya Nala dengan nada kecewa.
Ratih tersenyum tipis, “Tante kamu lagi sibuk, suaminya baru pulang dari berlayar. biarkan saja mereka melepas rindu.”
Nala mengangguk-angguk kemudian tersenyum lebar untuk menutupi rasa kecewanya. Banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Tantenya, tapi jika sudah begini, Nala akan mencari waktu untuk bertemu dengan tantenya.
“Hai… Selamat Malam keluarga Alindra!”
Mendengar teriakan dari luar membuat Nala memejamkan matanya, salah satu pembuat onar datang, Nala merasa tak memanggilnya untuk acara kumpul keluarga malam ini. “Pasti ulah Zanna,” geram Nala.
“Wow, Teman-teman, Kita kedatangan tamu.” Pria itu mengarahkan kamera ke arah, Nala, Ratih dan Anggia.
“Ini Tante Ratih, Bunda yang baik hati dan lemah lembut.” Pria itu memfokuskan kameranya pada Ratih yang tersenyum canggung.
“Dan ini…” Pria itu menjeda, ia menatap Anggia kemudian tersenyum manis. “Si cantik Anggia, apa kabar sayang?” tanyanya lembut, senyumannya jelas menggoda Anggia.
Anggia tak menjawab, ia hanya tersenyum tipis. Jelas dia risih, kamera dan kejahilan pria itu membuatnya tak nyaman.
“Kita berpindah pada seseorang, cantik, enerjik dan beraura negatif. Ini dia… Nala!” pria itu mendekatkan kameranya ke wajah Nala, jelas di sana wajah Nala memerah menahan emosi.
“Rey!” teriak Nala. ia lepas sandal rumah yang digunakan, sasarannya adalah Reyhan, adik sepupu Gaza.
Bugh!
Sandal rumah itu mendarat tepat di dada Gaza. Sekali lagi, Gaza. Pria yang dari tadi menyaksikan interaksi mereka dari ujung tangga.
“Mas Gaza…” ucap Nala lirih. Ia berlari mendekat dan mengusap dada Gaza. “Maaf Mas, gak sengaja,” lanjut Nala. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah.
Gaza menarik nafasnya dalam, ia menahan tangan Nala lembut. “Gak apa-apa. Tapi ingat, ini di rumah Bapak, kalau tadi yang terkena itu Bapak atau Nenek, Mas gak bisa nolong kamu.”
Nala memiringkan kepalanya, ia menatap tajam pria yang kini bersembunyi dibalik tubuh suaminya.
“Rey yang duluan,” tunjuk Nala pad Rey yang cekikikan sembari bersembunyi di belakang Gaza.
“Sudah,” bujuk Gaza lembut. Ia menarik Nala untuk menjauh dari Rey.
“Bang Gaza gak seru, kaku baget.” Rey mengerutuh kesal. Ia memilih berlalu mencari Om dan Tantenya.
Gaza menyalami Ibu mertuanya dan juga kakak iparnya. ia membawa keluarga istrinya untuk duduk di sofa sembari menunggu Bapak dan Ibunya, ia terus menggenggam tangan Nala, seolah mereka pasangan yang bahagia.
“Bunda dan Anggia apa kabar?” tanya Gaza setelah mereka duduk di ruang keluarga.
“Baik, sesekali jalan-jalan dan bermalam di rumah Nala ya, Nak.”
Gaza mengangguk, ia jarang mengunjungi rumah mertuanya. Jika Pun kesana, pria itu memilih tak bermalam, mau tak mau Nala ikut pulang.
Gaza melirik ke arah Nala, istrinya iru masih sibuk mencari keberadaan Rey, sepertinya dendamnya belum terbalaskan.
“Kapan-kapan, kami menginap, Bunda. Iya ‘kan sayang?” Gaza melempar pertanyaan pada Nala.
“Hah? Apa Mas?” Nala tak memperhatikan, lebih tepatnya malas memperhatikan.
Gaza tersenyum, senyum yang ia paksakan, tangannya menggenggam erat tangan Nala seolah memperingati istrinya itu untuk fokus.
“Menginap di tempat Bunda,” ujar Gaza, tatapan penuh peringatan.
Nala meringis, tapi berusaha ia tahan. “Iya Bun, kami akan mencari waktu untuk menginap di rumah.”
Anggia mengerutkan keningnya, interaksi keduanya terlalu nyata, terlalu dibuat-buat. Anggia melirik ke arah Bundanya, perempuan paruh baya itu hanya tersenyum senang mendengar janji yang diberikan anak dan menantunya, tanpa menyadari ada sesuatu yang berbeda.
“Aku pamit ke belakang, mau panggil Bapak dan Ibu sekalian buatkan minum.” Nala menarik paksa tangannya kemudian berlalu menuju dapur, ia mengabaikan tatapan tajam suaminya.
Sesampai di dapur, Nala menarik nafas lega, setelah memutuskan untuk bercerai. Ada rasa sesak di hatinya saat ia dan Gaza bermesraan. Ia tak mau berdekatan dengan Gaza lagi, hati mungilnya terlalu lemah untuk bertahan agar tidak luluh dengan sikap Gaza.
“Ingat, La. Semuanya hanya ilusi.” Nala terus memperingati dirinya.
Setelah semuanya siap, ia menaruh tiga gelas teh yang masih mengeluarkan uap panas dan piring berisi kue basah yang dibeli oleh Ibu mertuanya siang tadi di atas nampan.
Ia berjalan pelan, bukan karena takut airnya tumpah tapi tak ingin cepat sampai dan harus bersandiwara di depan Bunda dan Kakanya lagi.
Tapi baru saja kakinya melangkah memasuki ruang keluarga, suara tawa Gaza terdengar memenuhi ruangan itu. Tawa yang tak pernah Nala dengar.
Nala melangkah sedikit, ia melihat Gaza dan Angga berbicara, entah apa yang menjadi topik pembicaraan keduanya. Tapi senyum di wajah Gaza tak surut sedikit pun begitu pula dengan Anggia.
Nala memejamkan matanya, tangannya mencengkram kuat nampan berisi teh panas tadi. Ada desir aneh yang ia rasakan.
“Seharusnya dulu kamu memilih Kak Anggia, Mas.” Nala berbisik pada dirinya sendiri.
Nala mundur, ia akan menyuruh Mbak di dapur saja yang mengantar minuman. Ia tak mau mengganggu Gaza dan Anggia, Bundanya pun tak ada di sana. Jadi lebih baik Nala kembali.
Nala baru saja berbalik, tapi kejadian tak terduga terjadi. Rey yang menunggunya di balik pintu muncul tiba-tiba.
“Nala! Dor!” teriak Rey sembari tertawa nyaring.
Nala terkejut, tubuhnya reflek mundur hingga keseimbangannya goyah. Nampan di tangannya jatuh tanpa bisa ia tahan lagi
Pyarrr.
Suara pecahan menggema, cipratan air panas mengenai kaki Nala hingga meninggalkan jejak kemerahan.
“Akhhhh…!” Nala meringis, ia dengan cepat menarik kakinya.
“Astagfirullah, Nala!” Rey panik, ia tak tahu jika Nala membawa air panas di tangannya.
“Nala!” Gaza berlari saat mendengar keributan. “Kenapa?” tanya Gaza dengan suara bergetar, tapi melihat kaki Nala memerah dengan tumpahan air teh di lantai membuatnya dengan cepat mengangkat tubuh Nalar dan membawanya ke wastafel.
“Bisa gak sih gak teledor.” Gaza menyirami kaki Nala dengan air dingin. “Bawa minuman aja gak hati-hati,” kembali Gaza memarahi Nala.
Nala meringis perih, bukan kakinya yang sakit tapi hatinya. Gaza tak takut kejadiannya tapi menuduhnya teledor.
Rey berlari, ia menyusul Nala dan Gaza dengan membawa salep untuk luka bakar yang ia ambil di kamar Zanna. Di belakangnya ada orang tau Gaza dan Anggia yang ikut panik saat mendengar keributan yang baru terjadi.
“Nala, maaf. Aku gak tau kamu bawa teh panas.” Rey menatap Nala penuh rasa bersalah.
Nala tersenyum tapi air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.
“Kamu apain Nala?” tanya Zanna pada Rey, ia tak tau kejadian pastinya karena lagi mandi.
“Aku gak sengaja kagetin Nala, aku gak tau ada air panas,” ucap Rey bersalah. “Maafin aku Nala. Bang Gaza, jangan marah.”
Gaza menghentikan gerakan tangannya di kaki Nala, ia melirik ke arah istrinya yang menangis tanpa suara. Saat itu Gaza tau, ia melakukan kesalahan lagi.