NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 — Ruang Kosong yang Mulai Terisi

Sepulang dari pertemuan dengan Farhan, langkah Zahwa terasa ringan… tapi kosong. Seperti seseorang yang baru saja menutup pintu rumah masa kecilnya, lega karena akhirnya berani, tapi tetap ada sepi yang menggelayut.

Kontrakan kecilnya terasa sunyi sore itu. Tidak ada suara panci, tidak ada wangi bumbu yang ia tumis seperti biasanya. Hanya ada dirinya, satu sofabed, dan dinding yang baru ditempeli wallpaper murah motif kayu yang ia beli karena lagi diskon.

Zahwa melepaskan khimar dan duduk perlahan, membiarkan tubuhnya menyentuh sofabed lembut yang jadi saksi bisu perjalanan barunya.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan.

Tak menangis keras.

Hanya diam… lalu satu tetes jatuh.

“Ya Allah… kalau ini memang jalanku, kuatkan.”

Ponselnya bergetar.

Nama itu muncul.

Daniel.

Bukan telepon. Pesan.

> “Sudah sampai rumah? Kamu aman?”

Zahwa menghapus air matanya cepat, merapikan jilbabnya seolah Daniel bisa melihatnya dari kejauhan. Ia mengetik pelan.

> “Alhamdulillah. Sudah sampai. Terima kasih sudah tanya, Pak.”

Butuh beberapa detik sampai balasan masuk.

> “Jangan terlalu formal begitu. Tapi baiklah.”

“Istirahat. Besok kamu harus latihan presentasi.”

Senyum tipis muncul tanpa Zahwa sadari. Daniel memang selalu seperti itu—bicara to the point, tapi perhatian kecilnya terasa nyata.

Ia membalas singkat.

> “Siap, Pak.”

Dan entah kenapa, ada rasa hangat kecil di dada.

Bukan cinta… bukan.

Lebih seperti: “Aku tidak sendirian di dunia ini.”

---

Malamnya Zahwa membuka laptop, mulai menyusun konsep presentasi dan menu sampel. Tapi pikirannya masih sering balik ke pertemuan tadi.

Farhan terlihat sudah jauh.

Bukan hanya secara perasaan, tapi secara prinsip hidup. Ia bahkan tak peduli sedikit pun dengan apa yang diperjuangkan Zahwa sepanjang pernikahan.

Namun anehnya, Zahwa tidak menyesal.

Ia justru melihat dirinya dengan cara baru—lebih kuat, lebih mandiri, lebih dewasa.

Ia baru menyadarinya saat menata bumbunya satu per satu: jahe, kunyit, bawang, rempah premium yang ia beli dari uang komisi Pak Arham.

Zahwa menghela napas panjang.

"Aku masih hidup. Aku masih bisa masak. Aku masih punya Allah. Dan aku masih punya kesempatan."

Ketukan pelan menghentikan lamunannya.

Pesan dari Daniel lagi.

> “Kamu sudah makan malam?”

Zahwa tersenyum kecil.

Ia merasa seperti ada seseorang yang mengingatkan hal-hal kecil yang dulu diperhatikan Farhan… sebelum hilang.

> “Belum, Pak. Tadi sibuk.”

“Tapi saya masak sebentar lagi.”

Daniel membalas cepat.

> “Jangan lupa makan. Orang lapar tidak bisa berpikir jernih.”

Zahwa tertawa lirih.

“Iya, Pak.”

Ia bangkit dan menyiapkan sepiring mie goreng sederhana.

Saat makan, ia terpikir… seandainya nanti benar-benar berpisah dari Farhan, hidupnya seperti apa?

Apakah ia mampu berdiri sendiri?

Apakah ia bisa membesarkan usahanya?

Tapi kemudian bayangan Daniel muncul—seseorang yang melihat potensinya tanpa tahu masa lalunya, seseorang yang tidak meremehkan kreativitasnya, seseorang yang menilai dirinya dari kerja kerasnya… bukan dari kepatuhannya.

Zahwa menggeleng cepat.

"Astaghfirullah… jangan mikir jauh dulu."

Ia masih istri orang. Meski hanya di atas kertas.

---

Keesokan paginya, matahari baru muncul ketika Zahwa duduk di meja kecilnya, menyiapkan slide presentasi. Ia memilih warna soft pastel, mencocokkan dengan gaya masakannya.

Tiba-tiba telepon berdering.

Daniel.

“Assalamu’alaikum, Zahwa.”

Suara itu dalam, tenang, dan entah kenapa membuat jantung Zahwa sedikit mencelos.

“Wa’alaikumussalam, Pak Daniel.”

“Aku cuma mau pastikan kamu tidak lupa sarapan,” katanya sambil sedikit tertawa.

“Kok Bapak yakin saya lupa?”

“Karena suaramu lemes. Kamu kalau kerja suka nggak ingat waktu.”

Zahwa terdiam. Tidak banyak orang yang bisa membaca dirinya seperti itu.

“Iya… saya bikin roti tadi. Sudah makan, Pak.”

“Oke. Good.”

Nada suaranya melunak. “Kalau kamu butuh bantuan buat presentasi, bilang. Aku ada Arvino di kantor. Dia bisa bantu materi.”

“InsyaAllah saya bisa dulu, Pak. Kalau mentok, nanti saya tanya.”

“Deal.”

Ada jeda sebentar sebelum Daniel melanjutkan, lebih pelan:

“Dan Zahwa… yang soal kemarin… aku minta kamu jangan ambil keputusan terburu-buru. Kamu harus konsultasi. Aku sudah siapkan seseorang yang bisa kamu temui kalau mau.”

Zahwa menelan ludah.

Hatinya terasa diremas lembut, bukan karena romantis, tapi karena ada seseorang yang peduli.

“Terima kasih banyak, Pak… saya… saya benar-benar butuh itu.”

“Aku tahu. Kamu nggak sendiri. Hear me?”

Nada suaranya dalam, penuh empati.

Zahwa memejamkan mata.

“Iya, Pak.”

Hanya itu yang mampu ia ucapkan.

Daniel tidak menekan.

Tidak memaksa.

Tidak memberi janji manis.

Hanya memberi ruang aman.

---

Setelah telepon ditutup, Zahwa duduk lama sambil menatap jendela. Mobil-mobil lalu lalang, tapi ia merasa dunia baru saja berhenti sejenak.

Rasa sedih masih ada.

Rasa kehilangan pun ada.

Tapi ada juga sesuatu yang baru, semacam harapan kecil, samar, seperti cahaya yang muncul dari celah pintu.

Ia tahu itu bukan cinta. Tidak boleh.

Batasnya jelas.

Tapi ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Daniel hadir seperti seseorang yang Allah kirim untuk memberi pegangan sementara ia hampir terjatuh.

Zahwa menarik napas dalam, menenangkan dirinya.

“Fokus, Zahwa… fokus dulu.”

Ia membuka halaman konsep menu:

Rawon Premium Ala Zahwa

Pepes Ikan Daun Pisang

Tumis Udang Sambal Klasik

Sayur Lodeh Ibu Kampung

Menu yang membumi, hangat, penuh rasa rumah. Mungkin itu juga yang ia butuhkan—rasa rumah yang hilang.

Tiba-tiba bunyi notifikasi muncul.

Daniel mengirim satu pesan lagi.

> “Zahwa, kamu hebat. Jangan lupa.”

Zahwa menggigit bibirnya.

Ada sebaris hangat yang menyusup ke hati.

“Terima kasih, Pak…”

Ia membalas.

Hari itu Zahwa bekerja dengan semangat baru, bukan karena ingin membuktikan sesuatu pada Farhan…

tapi karena untuk pertama kalinya, ia ingin membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri.

Dan di sisi lain kota, di lantai paling atas gedung megah itu…

Daniel tersenyum kecil menatap layar ponselnya.

Ada sesuatu tentang Zahwa yang membuatnya ingin melindungi.

Tapi ia tahu, ini bukan waktunya.

Belum.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!