NovelToon NovelToon
Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Romansa / Mantan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nanie Famuzi

Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda


Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.

Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .

Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.

Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .

Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3

Kruyuk...

Suara lapar itu terdengar begitu nyaring dari perutku, sampai membuatku ingin pura-pura tidak dengar. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan. Kaki terasa berat, perut kosong, dan kepala mulai berkunang.

Sambil menekan perut yang keroncongan, aku menatap jalan yang sepi.

“Duh, begini amat nasib,” gumamku pelan. “Ayo, Mir… pikir! Pasti ada cara buat dapet makanan?”

Angin sore berembus, membawa aroma kopi dan gorengan dari kejauhan, menyiksa. Tapi yang lebih menyiksa adalah kenyataan, aku tidak punya uang..

Sementara itu, dari balkon rumah besar di seberang jalan, seorang pria berdiri sambil menatap ke arahku.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, entah karena iba… atau karena sesuatu yang lain.

“Dasar orang aneh.”

“Tuan, ini kopinya!” suara seorang asisten rumah tangga memecah lamunannya, sambil meletakkan secangkir kopi di meja.

“Oh, iya. Terima kasih, Bi.”

“Sama-sama, Tuan. Tapi… Tuan lihat apa, sih? Dari tadi senyum-senyum sendiri.”

Pria itu menoleh sekilas ke bawah, matanya kembali tertuju gadis itu.

“Enggak, cuma… ada cewek aneh di bawah sana.”

Bi Jumi, asisten rumah tangga itu ikut melongok ke bawah, mengikuti arah pandang sang tuan.

“Oh... itu toh yang Tuan lihat dari tadi,” ujarnya, menatap lekat sosok gadis di tepi jalan.

“Wong gendeng itu, Tuan. Orang gila. Lihat aja penampilannya, kumel, rambutnya acak-acakan.”

Ia berdecak pelan sambil menegakkan badan.

“Mau saya usir, Tuan? Soalnya dari pagi dia di situ terus, nggak gerak-gerak. Kayak lagi nunggu sesuatu.”

Sang tuan hanya tersenyum samar, matanya tak lepas dari sosok Miranda yang berdiri di bawah terik matahari, memegangi perutnya yang kelaparan. Ada sesuatu di wajah gadis itu. Satu kata. Cantik.

“Nggak usah, Bi,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kasih aja makanan ke dia. Kasihan, kelihatannya belum makan dari pagi.”

Bi Jumi menatap tuannya, setengah tak percaya.

“Beneran mau dikasih makan, Tuan? orang gila loh itu?”

Pria itu menghela napas, pandangannya tetap tertuju ke bawah.

“Memang kenapa kalau dia gila bi, kasih makan aja. Habis itu, tolong lapor polisi. Siapa tahu ada keluarga yang lagi nyari. Dunia ini terlalu kejam buat orang lapar sendirian.”

“Baiklah kalau begitu, Tuan. Saya permisi,” ujar Bi Jumi sambil menunduk sopan. Ia lalu berbalik, menuruni tangga dengan langkah tergesa. Suara sendalnya beradu dengan lantai marmer, memantul di sepanjang koridor rumah besar itu.

Di balkon, sang tuan masih berdiri diam, jemarinya mengetuk perlahan pagar besi. Tatapannya mengikuti Bi Jumi yang kini melangkah keluar membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral.

Dari bawah, Miranda menatap curiga saat wanita paruh baya itu mendekat. Matanya menyipit, tubuhnya sedikit mundur.

“Hei, kamu… makan dulu, ya. Ini buat kamu,” ujar Bi Jumi, suaranya lembut tapi hati-hati, seolah bicara pada anak kecil yang takut.

Miranda hanya memandang, ragu. Tangannya gemetar, antara ingin mengambil atau tetap menjaga jarak.

“Saya nggak minta dikasihani,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Dari atas balkon, sang tuan menatap dengan ekspresi sulit terbaca. Ia tidak tahu mengapa gadis itu menarik perhatiannya begitu dalam, tapi ada sesuatu di sorot mata Miranda yang terasa... tidak asing.

“Eh… ini, ambil aja, ya.”

Bi Jumi menyodorkan sebungkus roti dan sebotol air mineral, suaranya bergetar lembut tapi tegas. “Ayo, nggak apa-apa. Makan dulu, nanti pingsan kamu.”

Namun Miranda hanya menatapnya dengan tatapan curiga. Tubuhnya menegang, matanya bergerak cepat antara roti dan wajah Bi Jumi.

“Enggak,” ujarnya singkat sambil menggeleng keras. “Aku nggak mau ih. Kamu pasti mau racunin aku, kan?”

Bi Jumi terperanjat, hampir menjatuhkan roti yang dipegangnya.

“Hah? Racunin kamu? Astaga, saya cuma mau nolong!” katanya panik.

Tapi Miranda mundur selangkah, wajahnya memucat, tangan terangkat seolah siap melindungi diri.

“Jangan mendekat! Aku tahu permainan kamu… kamu mau dasar wanita jahat!"

Dari atas balkon, sang tuan memperhatikan situasi itu dengan alis berkerut. Gadis itu jelas ketakutan, tapi di balik tatapannya yang liar, ada sesuatu yang lain, seperti luka lama yang belum sembuh.

Ia menaruh cangkir kopinya di meja, lalu berbalik.

“Bi, udah, biarin dulu. Saya turun.”

“Lho, Tuan? Mau ke mana?” seru Bi Jumi, setengah panik. Tapi sang tuan sudah melangkah pergi, menuruni tangga spiral rumahnya tanpa menjawab.

Langkah sepatunya terdengar mantap menuruni anak tangga, bergema di antara dinding marmer. Sesampainya di depan rumah, ia membuka pagar pelan, menatap Miranda yang kini berdiri kaku di tepi jalan.

Angin sore berembus, membawa aroma tanah dan debu.

Miranda menatapnya waspada, seperti seekor kucing liar yang siap lari kapan saja.

“Hei, kamu,” katanya lembut, berhenti beberapa langkah darinya. “Jangan takut, saya nggak akan nyakitin kamu. Nama kamu siapa?”

Miranda menggigit bibirnya, diam. Matanya bergetar menatap roti di tangan Bi Jumi, lalu kembali ke wajah pria itu.

“Mira… Miranda.” suaranya serak, nyaris seperti bisikan yang pecah.

Pria itu tersenyum tipis, menatap gadis di depannya dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Nama yang bagus,” ujarnya pelan. “Miranda... cocok sama matamu. Tenang, tapi kelihatan nyimpen banyak cerita.”

Miranda hanya menunduk. Kakinya bergeser gelisah, seperti ingin pergi tapi tubuhnya terlalu lelah untuk benar-benar melangkah.

“Kamu tinggal di mana?” tanya pria itu hati-hati.

Miranda menggeleng pelan. “Nggak tahu. Aku… lupa.”

Jawaban itu membuatnya terdiam sejenak. Ada jeda hening yang terasa panjang, diisi hanya oleh suara angin dan detak waktu yang entah kenapa terasa berat.

“Lupa?” ulangnya perlahan, seolah memastikan ia tak salah dengar.

Miranda menatapnya sekilas, lalu memalingkan wajah. “Aku cuma ingat namaku.- Sisanya… gelap.”

Bi Jumi menatap sang tuan dengan raut khawatir. “Tuan, mungkin lebih baik kita panggil polisi aja, siapa tahu—”

“Nggak, Bi, nanti aja.” potongnya cepat, tapi lembut. “Biar dia makan dulu. Setelah itu baru kita cari tahu siapa dia.”

Ia lalu menatap Miranda lagi, kali ini dengan nada yang lebih hangat.

“Masuk dulu, ya. Kamu bisa makan di dalam. Nggak usah takut, cuma saya sama Bi Jumi di rumah ini.”

Miranda menatapnya lama, ragu yang kental tergambar di matanya. Tapi perutnya kembali berbunyi, keras, menyedihkan. Ia menunduk, lalu mengangguk malu.

Sang tuan tersenyum, memberi isyarat pada Bi Jumi untuk membuka gerbang.

“Ayo masuk, Miranda!”

Dan untuk pertama kalinya, Miranda melangkah masuk melewati pagar rumah itu.

Lama pria itu memandangi Miranda yang tampak lahap memakan roti.

Setiap suapan seperti pertarungan antara rasa lapar dan gengsi. Sesekali ia berhenti, menatap roti di tangannya, lalu kembali melahapnya dengan cepat seolah takut makanan itu akan menghilang.

Sang tuan bersandar di kursinya, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. Di balik wajah kusut dan rambut acak-acakan, ada sesuatu yang lembut, seperti bayangan masa lalu yang samar-samar ia kenal.

“Pelan-pelan aja, nanti keselek,” ucapnya lembut, mencoba mencairkan suasana.

Miranda berhenti sejenak, menatapnya sekilas. Ada keraguan di matanya, tapi juga rasa malu yang samar.

“Maaf...,” katanya pelan.

“Nggak apa-apa,” jawab pria itu singkat, masih dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

Sementara itu, Bi Jumi datang menghampiri dengan langkah pelan. Wajahnya tampak canggung, seperti menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya membungkuk sedikit mendekati sang tuan.

“Tuan...” bisik Bi Jumi lirih, hampir tak terdengar di antara suara sendok dan napas pelan Miranda.

Sang tuan menoleh perlahan, menatapnya dengan alis terangkat.

“Kenapa, Bi?”

Bi Jumi menelan ludah, pandangannya sekilas mengarah pada Miranda yang masih sibuk menghabiskan sisa roti, lalu kembali menunduk dekat ke telinga tuannya.

“Saya... saya sudah menghubungi polisi, Tuan.”

Wajah pria itu berubah sedikit tegang. “Polisi? Lalu bagaimana?”

“Saya juga sempat nelpon rumah sakit jiwa di pusat,” lanjut Bi Jumi dengan suara nyaris bergetar. “Dan mereka bilang... ada seorang pasien perempuan yang kabur tiga hari lalu. Namanya... Miranda.”

Seketika napas sang tuan tertahan. Tatapannya beralih cepat ke arah gadis yang kini tengah meneguk air dengan polosnya.

“Mereka yakin itu dia, Tuan. Katanya sebentar lagi petugas dari rumah sakit bakal ke sini buat jemput.”

Keheningan turun perlahan seperti kabut.

Pria itu menatap Miranda lama, sangat lama, dengan mata yang kini tak lagi sekadar iba, tapi penuh tanda tanya.

“Pasien rumah sakit jiwa…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tak lama kemudian, suara kendaraan berhenti di depan rumah besar itu. Dari balik jendela, tampak dua petugas berseragam putih turun bersama seorang wanita berjas krem yang membawa map dan menatap rumah itu penuh kehati-hatian.

Bel rumah berbunyi.

Ting... tong...

Bi Jumi segera berjalan ke pintu, sementara sang tuan masih duduk diam, memandangi Miranda yang kini memainkan gelas kosong di tangannya.

“Selamat sore, kami dari Rumah Sakit Jiwa Harapan Insani,” ujar salah satu petugas sopan. “Kami dapat laporan, ada seorang pasien kami bernama Miranda di sini.”

Bi Jumi menatap tuannya sejenak, lalu mengangguk. “Iya, betul, Pak. Dia di dalam.”

Tanpa banyak kata, para petugas rumah sakit dengan hati-hati menggandeng Miranda. Gadis itu tidak melawan, tidak juga menolak, hanya menurut, seperti anak kecil yang tahu ke mana harus pulang.

Langkahnya pelan, matanya menatap lantai seolah sedang berpikir tentang sesuatu yang jauh.

Sebelum benar-benar melewati ambang pintu, ia menoleh.

Di sana, pria itu masih berdiri di ruang tamu, memandangi kepergiannya dalam diam.

Dan saat pandangan mereka bertemu, Miranda tersenyum, senyum tipis yang singkat, tapi cukup untuk meninggalkan kesan aneh di dada pria itu.

Ada ketenangan di sana, tapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan…

Lalu pintu tertutup pelan.

“Kasihan gadis itu ya tuan, cantik cantik gila.”

Apa benar dia gila?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Ada luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata karena ia bukan di kepala, tapi di jiwa yang lelah bertahan."

1
partini
kalau berjodoh ma dokternya kasihan jg Miranda lah dokter suka lobang doang nafsu doang
Nunna Nannie: 🙏🙏
Terimakasih sudah mampir,
total 1 replies
Aal
bagus... saya suka ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!