NovelToon NovelToon
Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Sepupu Dingin Itu Suamiku.

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: ovhiie

Tentang Almaira yang tiba-tiba menikah dengan sepupu jauh yang tidak ada hubungan darah.

*
*


Seperti biasa

Nulisnya cuma iseng
Update na suka-suka 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ovhiie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Sementara itu di waktu yang sama dan di tempat yang berbeda.

Hari ini rasanya sangat lambat bagi Almaira, entah kenapa sejak mendengar penjelasan dari Anna di pagi hari, Almaira tidak bisa berpikir jernih lagi.

Apalagi melihat Anna yang tiba-tiba pergi ke rumah sakit setelah menerima telepon dari ibunya.

Pikirannya jadi tidak fokus dan terus melayang, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang menggerogoti hatinya, sedikit demi sedikit.

Drrrtt…

Hp yang tergeletak di meja bergetar saat itu. Almaira tersentak, lalu dia cepat-cepat mengangkat kepalanya, meraih hp nya.

Namun, nama yang muncul di layar adalah Sam, bukan Anna. Dia menatap nama laki-laki itu sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilannya.

"Halo."

_ Almaira? Ini kamu, kan?

"Ya, ini aku."

_ Hei! Kenapa kamu tidak bilang padaku, kalau mau mampir ke toko bunga hari ini?

"Ah..."

Dia benar-benar lupa. Pantas saja Sam terdengar begitu kesal. Tadi pagi, Yaga merebut paksa hp nya.

"Maaf"

Meskipun Sam tidak tahu detailnya, rasa bersalah itu masih membebani pikirannya.

_ Apa kamu tidak membaca pesanku? Kamu menutup telepon ku begitu saja, lalu tidak membalas pesanku. Jangan membuatku khawatir.

"Maaf, suami ku yang menutup telepon mu, jadi aku lupa memberi tahu mu Sam."

_ Yah, yang penting tidak ada sesuatu yang terjadi antara kamu dengan suami mu kan?

"Tidak ada, aku benar-benar lupa."

_ Ck, kamu selalu saja begitu. Sekarang, di mana Anna? Apa pacar ku ada di samping mu?

"Apa? Kamu bilang apa? Anna pacarmu?" Almaira terkejut mendengar pengakuannya yang tiba-tiba.

_ Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku mengejarnya dua hari yang lalu di telepon? Kamu lupa?

"Ah. Kalau begitu aku senang mendengar akhirnya kau berhasil mendapatkan hati Anna."

_ Terimakasih, omong-omong Almaira, haruskah aku menjemputmu?

"Apa?"

_ Bukankah aku sudah bilang tadi pagi bahwa kamu harus datang ke reuni sekolah? Kamu lupa juga?

"Ah, benar

_ Rencananya, akan di adakan paling lama minggu depan. Kamu harus datang ya?

"Aku..."

_ Tentu saja! Kamu tidak akan datang kan. Apa kamu sibuk?

Almaira merenung sejenak. Biasanya, dia akan menolak dengan alasan-alasan yang biasa. Namun kali ini...

"Baiklah, aku akan datang." Dia menjawab spontan tanpa berpikir.

_ Apa? Serius? Kamu benar-benar mau datang?

"Kamu bilang aku harus datang, kan? Di mana kita akan bertemu?"

_ Aku tidak menyangka kamu akan setuju. Bagaimana kalau di toko bunga? Aku yang akan membawa mu bersama Anna di mobilku.

"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri."

Meski Sam terus menawarkan diri untuk membawanya, Almaira dengan tegas menolaknya.

Panggilan telepon itu diakhiri dengan Sam yang katanya mau mampir sebentar ke toko bunga hari ini. Setelahnya, Almaira kembali merakit bunga di tangannya, melakukan pekerjaannya yang tertunda.

* * *

Waktunya menutup toko pun tiba, dan lampu pada papan nama toko bunga itu mati. Pintu depan dibuka sedikit, dan Anna mengintip keluar untuk melambaikan tangan.

Almaira menatap wajah Anna dan pacarnya Sam sebelum tersenyum.

"Ini sudah malam Almaira, awas ya. Pastikan kamu pulang naik taksi."

"Hmm." jawab Almaira sambil menerima amplop yang di sodorkan Anna

Sejujurnya dia tidak mau menerima upah karena membantu Anna selama ini. Dan dia tidak mau memeriksa berapa jumlah uang yang ada di amplop, tapi dia tetap merasa bersyukur.

Almaira berjalan menyusuri lingkungan yang sudah dikenalnya, masih merasakan tatapan mata Anna di punggungnya dia tetap berjalan. Anna mungkin bersikap sinis, tapi tidak diragukan lagi dia sangat peduli pada Almaira.

Pernah suatu hari saat masih di SMA, Anna bicara dengan suara acuh tak acuh pada Almaira untuk pertama kalinya.

"Kalau tidak salah. Aku lihat kamu sering datang membeli bunga."

Anna selalu memasang wajah datar dan bersikap dingin saat di sekolah, jadi Almaira terkejut dan dia menjawab.

"Tante ku menyukainya."

"Oh, kamu baik sekali ya," gumam Anna pelan.

Sejak saat itu, dia membuatkan Almaira karangan bunga yang lebih besar dan lebih mewah tanpa biaya tambahan.

Setiap itu terjadi, Almaira selalu membawakan hadiah kecil seperti satu cup minuman dingin untuk Anna dan camilan. Begitulah akhirnya mereka menjadi sahabat.

Dan sekarang

Saat sudah cukup jauh dari toko bunga, Almaira menoleh ke belakang. Dia melihat Sam, kini berdiri di pintu untuk melambaikan tangan padanya.

"Ya Tuhan, Anna selalu saja mengkhawatirkan Aira seperti ini." gumam Almaira dan mengangkat tangannya.

Baru mau melambaikan tangan pada mereka, tiba-tiba hp di sakunya bergetar. Almaira tersentak saat tahu siapa yang menelepon.

"Kak Yaga!" jawab Almaira dengan suara dingin yang tidak disengaja. Menyadari kesalahannya, dia menutup bibirnya rapat-rapat.

_ Kamu di mana? tanya Yaga tanpa menyapa.

Meskipun Almaira meninggalkan rumah lebih dari lima jam. Cuma itu yang di tanyakan Yaga.

"Aira lagi dalam perjalanan pulang Kak."

_ Di jam segini? tanya Yaga tidak senang. Mungkin Almaira keliru, tapi kedengarannya Yaga seperti khawatir padanya.

Almaira duduk di kursi tunggu yang disediakan untuk penumpang yang menunggu bus kota di pinggir jalan.

"Aira baru mau pulang agak malam karena Aira membantu teman di toko bunga."

_ Toko bunga! Dimana?

Almaira menarik napas sambil melihat sekeliling. Jalan raya yang sepi diterangi oleh cahaya dari lampu lalu lintas rasanya tampak suram.

"Oh, tapi Aira sudah ada di halte bus."

_ Sudah makan malam?

"Mmm, sedikit."

_ Lihat cara bicaramu, kamu pasti lapar kan?

"Kak Yaga juga sama" Di seberang telepon, suara tawa pelan Yaga terdengar aneh.

Entah kenapa, Almaira seperti merasakan sesuatu yang menggelora di telinganya.

_ Sepertinya kamu tidak bisa menunggu di sana lebih lama lagi. Di mana? Aku akan menjemput mu.

Suara rendah yang lembut terdengar menyenangkan.

"Tidak perlu Kak, Aira bisa pulang sendiri."

_ Aku tahu, jadi di mana? Jangan biarkan aku mengulangnya lagi.

"Tapi..."

_ Almaira, apa kamu ingin aku menjadi orang gila yang terus ke mana-mana mencari mu? Suara dingin Yaga menusuk telinga Almaira

Degh

"Kak Yaga tidak marah kan?"

_ Mau aku begitu?

"Tidak!"

_ Jadi katakan, di mana tempatnya?

Aira menundukkan kepalanya dalam-dalam dan dengan ragu menyebutkan nama halte.

_ Hmm, baiklah aku akan segera kesana.

"Itu ... berapa lama kira-kira Aira harus menunggu?"

_ Entahlah. Tunggu aku dan jangan bergerak sebelum aku datang menjemput mu.

"Ya..."

Dan ketika mobil Yaga tiba

"Ah… Kak Yaga." Almaira merasa sedikit malu saat melihatnya datang. Dengan topinya yang diturunkan, dia bicara, "Maaf Aira sudah merepotkan, terimakasih."

Tanpa sepatah kata, Yaga membukakan pintu mobil untuknya.

"Kelak, kamu tidak perlu berterima kasih padaku pada hal kecil seperti ini." jawab Yaga terus terang

"...."

* * *

Mobil hitam itu dipenuhi aroma Yaga. Aroma itu menyelimuti dirinya seolah mobil itu adalah wujud lain Yaga. Almaira tidak percaya bahwa dirinya pantas mendapatkan perasaan asing namun nyaman ini.

"Kita pulang sekarang." Yaga masuk ke kursi pengemudi dan mulai menyetir dengan lancar. Setelah meninggalkan jalan yang sudah dikenalnya, mobil pun meluncur ke jalan hitam mengilap dengan tenang.

Keheningan menyelimuti mereka. Melihat pemandangan malam yang berlalu dengan cepat di luar, Almaira mengingatkan dirinya sendiri bahwa tidak lama lagi dia akan berpisah untuk selamanya.

Dan ketika itu terjadi…

Almaira melirik fisik Yaga dengan sembunyi-sembunyi. Fokus mengemudi, profilnya dalam kegelapan tampak sempurna sementara tangannya di setir terlihat besar dan kokoh.

Setiap kali dia harus berbelok, matanya dengan hati-hati melihat sekeliling untuk mencari keamanan, dan setiap kali lampu lalu lintas berubah menjadi kuning, dia segera memperlambat laju kendaraannya.

Penampilannya dalam kegelapan yang sunyi sungguh mengagumkan.

"Kak Yaga," panggil Almaira sambil melamun. Mobil itu berhenti di lampu merah, dan dengan lampu belakang mobil di depan yang menyinari wajahnya, raut wajah Yaga tampak lebih tegas.

"Hmm?"

Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat dia menjawab. Ketika lampu belakang merah mobil di depannya menghilang, kegelapan tiba-tiba menyelimuti wajahnya. Hanya cahaya samar dari lampu dasbor yang menerangi wajahnya yang kosong.

"Jika… Kak Yaga mau bertemu Amera, Aira tidak keberatan Kak Yaga menemuinya." Almaira menawarkan.

Yaga adalah laki-laki yang luar biasa, terlalu serakah bagi Almaira untuk menginginkannya. Sejak awal, dia menikah karena ingin membalas budi dengan cara tertentu. Dan dia berharap Yaga akan merasa bebas untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Ini adil bukan

"Jadi… Kak Yaga tidak perlu khawatir tentang Aira"

"Itu tidak akan pernah terjadi Almaira" Yaga memotong ucapannya, suaranya rendah seperti biasa.

* * *

Begitu mereka tiba di rumah, Yaga segera membawanya ke ruang kerja. Karena lampu redup, bagian dalamnya tampak elegan dan mewah.

Almaira tidak bisa menahan diri untuk melihat sekeliling diam-diam, tidak bisa menahan diri untuk tidak berseru. Tetapi sepertinya Yaga sudah terbiasa dengan nuansa ruang kerjanya yang seperti itu.

Jendela besar yang hanya terdiri dari satu bagian memperlihatkan pemandangan kota yang indah. Di ujung ruang itu terdapat lemari tinggi yang di penuhi dengan buku. Sementara meja marmer di dekatnya dihiasi dengan lilin lantai kristal. Dan sofa besar empuk yang kini di dudukinya rasanya sangat nyaman.

"Aku tidak bisa memikirkan tempat lain agar kita lebih tenang."

"Ini indah." Almaira bersungguh-sungguh

Setelah pulang dari luar negeri Almaira mendengar bahwa hari-harinya sangat sibuk. Jadi, wajar saja jika Yaga tidak punya waktu untuk memikirkan tempat untuk obrolan pertama mereka.

Almaira tidak ingat kapan terakhir kali Yaga peduli padanya untuk melakukan hal seperti ini.

"Aku senang kamu menyukainya." Suara Yaga terdengar tegas saat dia menambahkan, "Aku akan membawakan mu sesuatu."

Dia meninggalkan ruangan itu dengan tenang, sambil melakukan panggilan telepon di hp nya yang membuat Almaira terdiam beberapa saat. Dan menunggunya dengan sungguh-sungguh.

Tapi...

Yaga sudah lama tidak kembali bahkan ketika Bibik masuk sambil membawa minuman. Almaira mengutak-atik hp dan menunggu. Namun setelah beberapa saat dia mulai khawatir.

Apa ada sesuatu yang terjadi?

Baru Almaira mau mencari, pintu kamar terbuka.

"Maaf aku membuat mu menunggu," kata Yaga dahinya sedikit basah karena keringat, dan alih-alih duduk di seberangnya, dia berjalan langsung ke arahnya. Dia kemudian meletakkan hp dan kotak P3K di atas meja.

Melihat barang yang dibawanya, Almaira dengan hati-hati melepaskan topinya. Ketika dia melihat wajahnya, mata Yaga menyipit karena tidak senang.

"Ah…" Almaira mengalihkan pandangannya terkejut, tapi Yaga memegang dagu Almaira dengan lembut agar gadis itu tetap menghadapnya. Almaira tersentak dan mengerutkan kening.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Yaga

"Ah, ini ya? Kening Aira terbentur di pintu toko bunga tadi."

Yaga menatapnya dengan pandangan yang menunjukan seolah dia tidak percaya. Dia bertanya, "Benarkah?"

Almaira mengangguk, dan Yaga tidak mendesaknya lebih jauh. Sebagai gantinya, dia mengoleskan salep di sekitar pelipisnya dan menempelkan plester pada lukanya.

Jaraknya begitu dekat hingga Almaira bisa merasakan napasnya. Aroma tubuh Yaga sudah tidak asing lagi tercium melekat dalam hidung, tetapi Almaira tidak terbiasa dengan situasi ini.

Almaira masih ingat seperti apa Kakak sepupunya di masa lalu, dan sisi lembut yang tak terduga ini membuat hatinya meleleh. Dia tidak pernah menyadari bagian ini dari dirinya sebelumnya, tetapi sekarang dia pasti menyadarinya.

"Ah." Rasa sakit yang menusuk tiba-tiba membuatnya mengerang, membuat sentuhan tangan Yaga berubah menjadi lebih lembut. Dia memperlakukannya seolah-olah dia adalah sehelai bulu yang rapuh.

Jantung Almaira berdebar seolah siap meledak kapan saja. Alih-alih memejamkan mata, dia malah menahan napas. Tatapan dan sentuhan Yaga seolah membangunkan setiap sel dalam tubuhnya. Semua indranya tegang, namun hatinya meleleh tidak berdaya.

"Selesai." Wajah lembut Yaga akhirnya menjauh darinya.

"Kak... apa tadi Kak Yaga keluar mencari ini?" Almaira nyaris tidak bisa bertanya.

"Akan lebih baik jika aku bisa menemukan perban, tapi sepertinya Bibik lupa menyediakannya," jawabnya dengan acuh tak acuh saat duduk di seberangnya.

Almaira tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dia bahkan tidak menyadari bahwa Yaga memperhatikan luka-lukanya.

"Terima kasih."

"Hmm, apa kamu mau makan malam?" tanya Yaga.

"Aira sudah makan Kak" Saat Yaga tidak menjawab, Almaira mengulang, "Aira serius."

Akhirnya Yaga mengangguk, dan keheningan singkat terjadi.

Begitu suasana canggung memenuhi ruangan. Almaira harus segera melakukan sesuatu, jadi matanya langsung tertuju ke arah meja.

Dia meraih sebotol minuman soda di atas meja, saat itu terjadi tangan Yaga menghentikannya.

"Aku tidak membawamu ke sini untuk membuatmu melakukan ini."

"Tapi..."

"Kamu bisa minum?" tanya Yaga

Almaira menggelengkan kepalanya pelan, lalu Yaga meletakkan kembali minuman di atas meja. Dia kemudian melakukan panggilan di hp nya, dan segera Bibik masuk, berdiri dan menundukkan kepala dengan sopan.

"Bawakan aku segelas jus jeruk" perintah Yaga dengan suara datar. Saat menyadari bahwa itu untuknya, Almaira pun melambaikan tangannya.

"Ah…! Tidak usah Bik, Aira baik-baik saja." desaknya.

"Begitu ya, bagaimana dengan susu?"

Almaira tersipu. Tampaknya Yaga masih menganggapnya sebagai gadis kecil meskipun dia sudah berusia dua puluh satu tahun. Mengepalkan tangannya dengan takut-takut, dia menjawab,

"Aira mau coba minumannya Kak."

"Tidak! Kamu cuma boleh minum susu." Yaga menepisnya dengan tegas.

***

Segelas susu segera diletakkan di meja. Di sisi lain, Yaga memegang gelas batu yang diisi dengan minuman bersoda.

Anehnya, Almaira tidak merasa kesal dengan penolakannya. Dia menatap Yaga dalam diam, dan Yaga melarang tanpa menatapnya

"Kamu tidak boleh minum."

"Kenapa...?"

"Karena aku tidak bisa membiarkanmu"

Yaga menjelaskan, dia bukan bermaksud mengajaknya minum malam ini. Dia hanya butuh tempat yang tidak akan diganggu.

"Kenapa Kak Yaga peduli?"

Almaira berkata tanpa berpikir, menyadari kesalahannya, dia mendongak dan melihat Yaga menatapnya dengan rasa ingin tahu.

"Kenapa kamu berpikir, kalau aku tidak peduli seperti itu Almaira?"

"Ah… Karena sebelumnya Kak Yaga memang begitu."

Itu jawaban yang masuk akal, tetapi Almaira mencemooh dirinya sendiri dalam diam.

"Kedengarannya aku seperti mendapat penolakan." Jawabnya santai, membuat Almaira terdiam sesaat. Lalu tersenyum dan menjawab.

"Tentu saja tidak."

Almaira tidak ingin Yaga tahu tentang rencananya.

"Lalu apa maksudmu saat kamu bilang, aku akan merasa lebih nyaman bersama Amera?"

Almaira tersentak mendengar pertanyaan tajam itu. Dia benar bahwa itulah yang ditawarkan Almaira saat mengusulkan agar mereka bercerai.

Namun, inilah kenyataannya.

Almaira menjalani kehidupan yang terlindungi sementara tak seorang pun dalam keluarga peduli dengan perasaannya.

Ini berarti bahwa segalanya akan lebih mudah bagi Yaga menikahi cinta pertamanya.

Namun, Almaira tetap tidak bisa menceritakan seluruh isi hatinya. Setelah dia berhasil bercerai dan melarikan diri dari genggamannya dia tidak mau bertemu dengannya lagi.

Begitu yang di pikirkan.

"Aira tidak pantas mendapat perhatian sebanyak Amera. Lagipula, Aira masih anggap Kak Yaga sepupu saja."

"Begitu ya?" tanya Yaga lagi pelan, dan Almaira mengangguk. Yaga menambahkan dengan ekspresi misterius, "Yah.. tidak lama lagi kamu akan segera tahu kebenarannya Almaira."

"Maksudnya?" tanya Almaira pelan.

Keheningan singkat terjadi di ruangan itu. Es di gelas Yaga berdenting pelan, tetapi suaranya seakan memenuhi udara. Merasa bibirnya mulai kering, Almaira menyesap susunya.

Yaga menghabiskan isi gelasnya dalam satu tegukan dan menatapnya lagi.

"Jadi, kenapa kamu mengundurkan diri?" tanyanya acuh tak acuh. Tampaknya sudah saatnya untuk saling terbuka.

Almaira ragu sejenak sebelum memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Ada rotasi anatomi."

Mata Yaga menunjukkan bahwa dia mendengarkan dengan penuh perhatian, jadi dia melanjutkan,

"Tapi Aira membeku di depan mayat"

"Tidakkah kamu berpikir kamu akan melihat mayat saat kamu masuk jurusan kedokteran?"

"Ya."

"Jadi apa yang terjadi?" tanyanya sambil mengisi gelasnya lagi. Dia menghabiskan setengahnya dan mengembalikan gelas itu ke meja.

"Mayat itu…" Bibir Almaira sedikit bergetar saat dia memulai.

Peristiwa itu terjadi pada rotasi anatomi pertama di tahun pertamanya. Profesor memberi tahu para mahasiswa bahwa mereka beruntung diberi kesempatan untuk berlatih pada tubuh asli di tahun pertama kuliah mereka.

Almaira telah membuat profesor itu terkesan sebelumnya, jadi dia mengizinkannya menjadi mahasiswa pertama yang membedah mayat.

Dia menyerahkan pisau bedah padanya. Almaira sedikit gemetar, namun dia tetap berjalan mendekati mayatnya dengan berani.

Saat berdekatan, dia melihat tanda lahir yang tampak familier di leher kiri mayat itu, warnanya cokelat tua, dan kecil berbentuk bulan.

Almaira membeku, mayat yang tergeletak adalah seorang teman laki-laki yang sempat berpura-pura menjadi pacarnya dulu, meninggal karena tertabrak mobil saat melindunginya.

Melihat tanda lahir yang sama persis di tempat yang sama. Almaira menjadi pucat dan mulai gemetar hebat.

Profesor memerintahkannya untuk mulai membedah, membuat Almaira merasa tertekan untuk bicara.

Almaira mulai bergerak dengan pisau bedahnya. Tubuh mayat itu mengeras karena bahan kimia, membuat pekerjaannya menjadi sulit. Almaira mulai berkeringat dan merasa mual.

"Lebih keras lagi!" teriak sang profesor kepadanya. "Kamu harus memberi lebih banyak tekanan Almaira"

Almaira mulai panik. Bau zat kimia yang membuat tubuhnya kaku menyelimuti dirinya bagai mimpi buruk. Pandangannya tiba-tiba kabur.

"Almaira." teriak profesornya, tetapi suaranya terdengar jauh. "Fokus!"

Itu suara terakhir kali yang didengarnya sebelum akhirnya Almaira kehilangan kesadaran. Dan ternyata, siswa lainnya juga mengalami trauma yang sama dari sesi mayat itu seperti dirinya.

"Aira minta maaf Kak" Almaira meminta maaf.

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Karena Kak Yaga sudah bekerja keras untuk memasukkan Aira ke universitas."

"Itu tugasku sebagai sepupumu dulu," kata Yaga. Itulah yang dikatakannya saat dia masih SMA. Dia menjelaskan kepadanya bahwa dia hanya melakukan hal yang seperlunya, tetapi dia tahu itu tidak sepenuhnya benar.

Lagipula, Kakak sepupu mana yang akan membawakan kotak makan siang untuk Adik sepupu pada hari ujian.

Hari itu, semua siswa lainnya disambut oleh keluarga mereka saat memasuki lokasi ujian begitupula dengan teman yang berpura-pura menjadi pacarnya. Karena dia satu-satunya yang berjalan sendiri, Almaira ingat bahwa dia merasa sangat kesepian.

Apalagi, melihat Amera begitu bahagia berduaan dengan Yaga di kejauhan, rasa kesepian Almaira semakin bertambah. Yang dia bawa hari itu untuk makan siang cuma sepotong roti dan susu yang di buat sendiri.

Saat itulah Yaga muncul dengan membawa kotak makan siang yang juga susah payah di buatnya sendiri dan bicara padanya.

"Kamu pasti bisa melakukannya. Percayalah."

Yaga tidak bicara apapun lagi, namun kata-katanya yang sederhana cukup membuat Almaira bersemangat.

Seluruh hatinya bergetar, dan dia merasa sangat bersyukur kepadanya dan bersumpah untuk tidak melupakan momen itu.

Itu sebabnya bahkan setelah dia lulus, Almaira benar-benar berharap bahwa Yaga akan menjalani kehidupannya yang bahagia.

"Jadi, apa yang kamu lakukan akhir-akhir ini?" tanya Yaga

"Teman Aira membuka toko bunga sendirian, jadi… Aira suka mampir ke sana pada siang hari kerja dan membantu."

"Jadi itu pekerjaan paruh waktu?"

"Bukan. Aira tidak tega melihatnya kesulitan Kak. Itu saja, sungguh."

Yaga mengernyit sedikit, seolah sedang berpikir keras. Tampaknya dia belum sepenuhnya percaya, dan entah mengapa, Almaira sangat ingin dia tahu.

Dia melanjutkan, "Jika Aira cuma diam di rumah, Aira akan terganggu oleh banyak pikiran kan? Dan itu yang membuat Aira bosan."

Pikiran, bosan?

Yaga mengulang kata itu di ujung mulutnya, seperti anak kecil yang sedang bermain dengan istilah baru yang tidak begitu dipahaminya. Kemudian dia tertawa pelan.

"Ah, jadi begitu ya."

Almaira cuma tersenyum

Sejujurnya Almaira sadar diri dari lama tapi dia sudah terlanjur jatuh pada situasi ini. Di satu sisi Almaira ingin mundur tapi terlanjur sayang, pun sebaliknya jika dia melangkah maju dia sadar kalau dirinya bukan di level yang sama dengan Amera

Alasan itulah yang membuatnya membenci Yaga tanpa sebab.

Jika saja Almaira bertanya lebih lanjut, sepertinya Yaga bersedia menceritakan kebenarannya dan meluruskan kesalahpahaman.

Sayangnya, mereka cuma melanjutkan obrolan ringan tentang hal-hal biasa dalam waktu yang lama. Biasanya, Yaga yang bertanya dan Almaira yang menjawab.

Semua jawaban Almaira dapat diterima, jadi cerita yang menyenangkan pun berlanjut, sampai akhirnya..

"Almaira, rupanya kamu masih saja menjaga batasan mu dengan baik ya." kata Yaga di sela-sela obrolan mereka.

"Hmm." Almaira memaksa senyumnya, tapi tetap terlihat sempurna.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!