Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TALAK DI MALAM PENGGEREBEKAN
"Tante!! Ayok dong buka pintunya! Atau mau aku dobrak?!"
Suara itu makin kencang. Terdengar seperti ledekan.
Erina semakin pucat pasi, firasatnya makin gak enak. Wanita itu meraih ponselnya, mencoba menghubungi Yudha.
Panggilan WhatsApp hanya memanggil. Begitupun dengan panggilan seluler. Sepertinya ponselnya mati atau memang sengaja dinonaktifkan.
[Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi].
"Shiittt!! Sial!! Kenapa di saat dibutuhkan seperti ini, dia gak aktif sih?"
Erina menggigit bibir bawahnya. Dirinya sendiri memang menghubungi Yudha 3 hari yang lalu saat dirinya memutuskan pulang ke rumah dan menyatakan kehamilannya pada Tama. Sikap penerimaan dari Tama dan Kemala membuat Erina jumawa. Merasa semua baik-baik saja dan kehidupannya akan berjalan normal lagi. Ia pun meminta Yudha untuk tidak menghubunginya dulu. Bahkan tak segan, Erina mengkambing hitamkan Yudha sebagai tersangka utama. Seolah-olah dirinya tidak tahu menahu soal kecelakaan itu.
Yudha tentu saja kecewa. Merasa Erina seperti kacang lupa kulitnya. "Mentang-mentang kamu sudah kembali pada suamimu, kamu buang aku gitu aja?!"
"Bukan membuang, Sayang. Tapi kita putus komunikasi untuk sementara sampai semuanya aman. Dan lupakan dulu rencana untuk merebut harta Kemala. Setidaknya sampai aku melahirkan nanti. Aku gak mau sampai anak ini lahir tanpa ayah," ujarnya saat di telepon waktu itu.
Yudha mematikan sambungan teleponnya. Dan sejak itulah mereka tidak lagi berkomunikasi. Jujur saja Erina rindu, dia sudah cinta mati pada kekasih gelapnya itu. Namun sebagai wanita, ia masih punya rasa peduli terhadap bayi yang dikandungnya. Jangan sampai kehidupannya nanti hilang arah. Tama harus bertanggung jawab sebagai ayahnya meskipun belum tentu anak ini darah dagingnya.
DUK... DUK... DUK!
Ketukan di pintu terdengar semakin keras. Kali ini bukan hanya suara Kemala, tapi terdengar pula suara lain, tegas dan berwibawa.
"Bu Erina, kami dari kepolisian. Mohon kerjasamanya dan bersikap kooperatif. Kami memiliki surat tugas untuk menangkap anda!"
DUAARRR.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Erina terhenyak mendengar suara bariton itu. Dugaannya ternyata benar. Diamnya Tama dan Kemala bukan berarti mereka mengalah, namun menunggu waktu yang tepat supaya Erina berada di tempat ini dan mereka bisa
Menangkapnya dengan mudah.
"Aargghh, sialll! Tau gitu gue ikut Yudha waktu itu.
Duh gimana ini?"
Erina membeku di tempat. Napasnya tertahan.
Pundaknya gemetar. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa lumpuh. Suara polisi itu bagaikan palu godam yang menghantam semua skenario manis yang selama ini ia rancang dengan penuh manipulasi.
"Dobrak saja, Pak!"
Terdengar suara Kemala memberikan perintah pada petugas polisi itu. Erina bisa mendengarnya, namun tubuhnya mematung. Keringat dingin bercucuran. Ingin kabur, tapi tak sanggup. Lututnya benar-benar lemas.
Hitungan tiga, pintu benar-benar didobrak paksa.
BRUKKK.
Pintu akhirnya terbuka. Dua petugas berpakaian preman berdiri di ambang pintu, menunjukkan lencana mereka. Sementara Erina masih membeku di tepi ranjang dengan wajah pucatnya.
"Selamat malam. Kami mendapat laporan atas dugaan pmbunuhan berencana. Ada beberapa bukti yang mengarah pada Ibu Erina Putri. Kami minta Ibu ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan."
Erina mundur beberapa langkah. Suaranya bergetar. "Tidak... Tidak, pasti ada kesalahan! Saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu! Semua ini fitnah! Yudha yang melakukannya, saya tidak tahu apa-apa!"
Salah satu petugas tetap menjaga nada suara dengan
Sopan namun tegas. "Kami hanya meminta Ibu ikut untuk diperiksa. Penahanan atau tidak, itu tergantung hasil pemeriksaan. Mohon kerja samanya, Bu."
"Aku... aku tidak mau! Aku tidak bersalah! Kalian salah orang! Ini semua fitnah! Tama! Mas Tama... tolong aku!" pekiknya, kini sudah berteriak-teriak.
Langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Tama muncul dengan wajah datar dibelakangnya Mang Asep mengekori, tak ada ekspresi terguncang sedikit pun. Pria itu menatap Erina sejenak, lalu mengangguk kecil ke arah polisi. "Bawa saja. Saya akan datang ke kantor nanti untuk memastikan prosedurnya berjalan sesuai hukum."
"Mas Tama?!" Erina menjerit nyaring, matanya membelalak tak percaya. "Aku gak bersalah. Aku istrimu, Mas...!"
Tama hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk.
"KEMALA! Kau yang melakukan semua ini, kan?! Kau menjeratku! Ini semua karena kau tidak bisa terima aku kembali ke rumah ini! Kau ingin merebut Tama dariku. Kau benar-benar keponakan yang licik! Aku sudah baik hati merawatmu, tapi ini balasannya!" Erina kini membalikkan tubuhnya ke arah Kemala, seperti singa terluka yang tak punya arah serangan lagi.
Kemala tetap tenang. "Aku tidak melakukan apa-apa, Tante. Hanya menyerahkan bukti. Selebihnya, itu tanggung jawab hukum yang akan memutuskan. Buktinya sudah jelas, bukan aku yang jahat dan licik, tapi Tante! Erina, kau bukan bagian dari keluargaku lagi!"
Erina terduduk di lantai. Kedua petugas sudah
Mendekat. Salah satu dari mereka mengeluarkan borgol, namun tidak langsung digunakan.
"Kalau Ibu tidak bisa tenang, kami akan melakukan penanganan sesuai prosedur."
Erina kembali berteriak. "JANGAN SENTUH AKU! AKU HAMIL! KALIAN MAU MEMBUNUH BAYI INI, YA?!"
Kemala tersenyum tipis. "Kau bisa bilang apa saja, Tante. Tapi drama malam ini sudah basi."
Erina tiba-tiba mengerang dan jatuh ke lantai. Ia menggeliat, memegangi perutnya sambil menjerit, "AAAH! Sakit... tolong... anakku..."
Namun Kemala hanya menghela napas, lalu berjalan pelan mendekat. Ia berjongkok, menatap wajah Erina yang setengah merem-melek, berusaha terlihat seolah dalam kondisi kritis.
"Jangan pikir kami gak tahu, Erina. Kau kan ratu sandiwara. Kami semua tahu kau cuma pura-pura. Jadi... jangan buang energi. Ikuti saja prosedurnya dan selamat menikmati hidup di penjara!" ucap Kemala tersenyum menyeringai ke arah Erina yang masih pura-pura kesakitan itu.
Salah satu polisi menahan senyumnya. "Kalau memang Ibu merasa tidak enak badan, kami bisa bawa ambulans ke kantor. Tapi kami tetap harus membawa Ibu malam ini."
Erina bangkit mendadak, tapi segera terhuyung saat seorang petugas memegang lengannya dengan sopan namun tak bisa ditolak.
"LEPASKAN AKU! MAS TAMA, AKU HAMIL
ANAKMU! KAU MAU ANAKMU LAHIR DI PENJARA?!"
Tama tetap berdiri di tempat. Hening sesaat. Hanya suara napas tersengal Erina yang terdengar. Lalu Tama membuka suara.
"Kalau memang anak itu benar anakku, maka dia pantas lahir dari kebenaran, bukan dari kebohongan. Aku akan tanggung jawab... tapi aku tidak akan melindungi kejahatan, Rin."
Ucapan itu memukul Erina lebih keras dari tamparan mana pun.
Tangisnya pecah. "Kamu tega, Tama... kamu tega... aku mencintaimu... aku pulang karena ingin memulai lagi. Ini pasti gara-gara si ja-lang Kemala. Dia sama seperti ibunya, murahan!"
PLAKKK.
Satu tamparan mendarat di pipi Erina. Bukan dari tangan Kemala, melainkan dari suaminya sendiri.
Tama memejamkan matanya sebentar. "Jaga bicaramu, Erina! Kau yang murahan, bukan Kemala."
Erina tak lagi bisa berkata-kata. Tangannya memegang pipinya yang terasa panas dan perih. Suasana hening dan menegangkan di malam penggerebekan itu. Erina tak pernah menyangka jika suaminya akan menamparnya di hadapan Kemala hanya demi membela gadis itu. Ia benar-benar terluka.
Suaranya tercekat, tubuhnya lemas. Terlebih saat Tama melanjutkan kata-katanya. Pria itu mengucapkan sesuatu yang membuat Erina terkejut setengah mati dan hampir pingsan beneran dibuatnya.
"Erina Putri binti Siswanto, saya jatuhkan talak padamu. Mulai hari ini, kau bukan istriku lagi!"
DEGHHH.
Dadanya seperti di hantam batu yang besar. Malam ini, malam yang seharusnya Tama memberikan support dan membelanya, malah menjadi malam yang memilukan. Erina diringkus polisi sekaligus ditalak oleh suaminya sendiri.
Air matanya terjatuh seketika. Namun belum sempat dia berbicara, petugas menggiringnya keluar dari kamar. Kemala mengikuti dari belakang, memastikan semua berjalan lancar.
"M-mas... Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Aku sedang hamil anakmu, Mas," ucapnya lirih dengan air mata berderai. Air mata yang menurut Kemala penuh dengan kepalsuan.
Tama memilih diam. Ia harus membuktikan jika anak itu bukan anaknya. Tapi jika memang anak dalam kandungan Erina adalah darah dagingnya, ia siap untuk bertanggung jawab dan merawat anak itu. Begitupun dengan Kemala yang sudah ikhlas dan siap menjadi ibu sambungnya.
Sebelum melewati ambang pintu rumah, Erina menoleh sekali lagi. Matanya menatap tajam ke arah Kemala.
"Semua ini gara-gara kamu, Kemala! Kau boleh menang sekarang. Tapi ini belum selesai. Aku akan membalasmu!" pekik Erina, matanya basah dan memerah oleh air mata dan kebencian yang semakin besar pada
Keponakannya itu.
Kemala hanya membalas dengan senyum datar.
"Sudah selesai, Erina. Hanya saja, kau belum menyadarinya."
Tidak ada lagi sikap sopan yang Kemala tunjukkan.
Baginya, Erina sudah bukan bagian dari keluarganya lagi. Entah sampai kapan, namun Kemala belum bisa memaafkannya.
Pintu mobil tertutup. Suara sirine mobil polisi sayup terdengar menjauh. Malam yang tadinya hening kini menyisakan jejak-jejak kegaduhan yang membekas.
Tama kembali duduk di sofa, menatap ruang tamu yang kini terasa lebih lapang. Kemala duduk di seberangnya. Mang Asep berdiri di sudut lain dengan posisi kepala menunduk. Ia sangat bersedih dengan apa yang terjadi pada Kemala, anak dari juragan Subagja.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya Tama pelan.
Kemala menggeleng. "Sakit, Mas. Sakit sekali.
Meskipun polisi sudah menangkapnya, tapi hatiku tidak benar-benar lega. Rasanya sakit," ucap Kemala seraya memukul-mukul dadanya. Air mata yang sejak tadi dia tahan, akhirnya pecah.
Tama mengangguk. Ia mendekati Kemala lalu memeluknya erat, memberikan support dan menenangkan istrinya. "Kamu wanita yang hebat. Badai ini pasti akan berlalu. Ikhlas ya, Sayang. Apa yang terjadi sudah suratan takdir. Mari kita fokus untuk masa depan. Aku akan menembus rasa sakitmu. Ijinkan aku mengobatinya," ucap Tama dengan tulus.
Kemala mengangguk, ia membenamkan kepalanya tidak ada bidang suaminya. Ia butuh waktu untuk menerima ini semua. Apalagi setelah ini masih ada masalah lain yang lebih besar. Meskipun Erina sudah dirikus polisi, namun belum berarti mereka bisa tenang.
Ada satu hal yang kini menjadi beban pikiran Kemala.
Ningsih.
Ya, sahabat yang sangat dia percaya selama ini, akan menjadi masalah berikutnya yang harus Kemala selesaikan.
"Istirahatlah, Sayang. Yang satu itu, kita hadapi nanti. Sekarang yang penting, Erina sudah ditangkap. Aku pastikan dia akan dihukum seberat-beratnya!" ucap Tama seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya saat ini.
Pagi itu, langit masih digelayuti awan kelabu. Udara dingin merambat ke dalam ruang tamu rumah minimalis Tama yang membawa nuansa muram yang belum juga pergi sejak malam mencekam itu. Tama duduk di kursi rotan dekat jendela, memegang secangkir kopi yang kini hanya menjadi alasan untuk tetap tenang.
Ponselnya bergetar. Nama yang tertera di layar:
Kompol Dimas.
Dengan cepat, Tama menjawab. "Halo, Kompol?"
"Selamat pagi, Pak Tama. Maaf mengganggu, kami punya informasi lanjutan terkait jaringan yang
Berhubungan dengan Ibu Erina."
Tama menegakkan posisi duduknya. Mendengar dengan serius informasi apa yang dikatakan oleh kepolisian.
"Sesuai yang Bapak curigai, kami sudah menggeledah apartemen milik Yudha yang ada di pusat kota, serta markas pribadi mereka di daerah perbukitan-sebuah vila yang tampaknya kerap digunakan untuk kegiatan ilegal."
"Kami tidak menemukan Yudha maupun anak-anak buahnya di dua lokasi itu. Mereka kabur. Tapi... kami berhasil menyita barang bukti yang cukup besar."
Tama berdiri dari duduknya, menahan napas. "Barang bukti?"
"Ya, Pak. Dalam salah satu ruangan di vila, kami menemukan tumpukan paket narkotika jenis sabu dan ekstasi, siap edar. Jumlahnya tidak sedikit. Berdasarkan taksiran awal tim kami, nilainya bisa mencapai miliaran rupiah. Tampaknya mereka tidak sempat menyelamatkan barang-barang itu saat kabur. Ini memperkuat dugaan bahwa Yudha bukan sekadar kaki tangan... tapi justru otak dari jaringan ini."
Tama menghela napas panjang. Kepalanya tertunduk.
Ia tak percaya jika istrinya bisa kenal bahkan memiliki hubungan spesial dengan kriminal. Tapi yang membuatnya heran, jika Yudha adalah seorang pengedar, kenapa Yudha malah memoroti Erina?
Kompol Dimas melanjutkan, "Kami juga menemukan dokumen dan rekaman komunikasi yang mengarah pada transaksi lintas kota. Jejak digital Yudha sangat jelas. Dia
Menggunakan nama samaran 'Rakael' dalam dunia bawah tanah."
Tama bergumam lirih. "Apa Erina juga terlibat?."
"Kami menduga Ibu Erina tahu siapa Yudha sebenarnya, tapi berpura-pura tidak tahu demi keuntungannya sendiri. Masalahnya, selama ini, Yudha dan anak buahnya berhasil menutup semua jalur hukum dengan cara licik. Tapi kali ini... mereka meninggalkan jejak."
"Dan dia juga otak dalam pembunuhan berencana terhadap Tuan Subagja dan Nyonya Indira," ujar Kompol Dimas.
"Lalu, apa langkah selanjutnya?" tanya Tama tegas.
"Kami sedang mengerahkan tim khusus untuk memburu mereka. Wajah-wajah mereka sudah tersebar di semua pos perbatasan. Kami juga bekerja sama dengan Bareskrim dan Bea Cukai untuk mencegah mereka kabur ke luar negeri."
Tama mengepalkan tangan. "Saya tidak akan ikut campur, Pak. Tapi saya mohon... jika ada data atau keterlibatan yang menyangkut nama keluarga besar saya, tolong kabari langsung. Saya ingin semua ini dibersihkan sampai ke akar-akarnya."
"Kami mengerti, Pak Tama. Kami akan berusaha sekeras mungkin untuk memburu mereka dan memastikan mereka semua tertangkap!"
Tama terdiam sejenak. Dunia terasa berputar lebih cepat. Semua yang dulu terlihat rapi dan elegan, perlahan terkelupas, menyisakan wajah asli yang mengerikan.
Erina, wanita yang selalu menunjukkan wajah manis dan sikap lembut sehingga membuat Tama tergila-gila saat itu, kini telah berubah. Dia berubah karena dibutuhkan oleh cinta palsu dari seorang kriminal seperti Yudha.
"Terima kasih, Pak Kompol. Saya sangat menghargai kerja keras tim Anda."
"Ini sudah tugas kami, Pak. Kami akan terus mengabari perkembangan penyelidikan."
Telepon terputus.
Tama menatap jendela yang mulai berembun. Hujan gerimis mengguyur pelan-pelan, seolah mencuci semua noda yang selama ini tersembunyi. Tapi tidak semua noda bisa hilang. Beberapa sudah terlanjur mengendap, menodai fondasi keluarganya.
Langkah kaki terdengar pelan dari arah belakang.
Kemala muncul membawa nampan kecil berisi teh hangat.
"Dari Kompol Dimas?" tanyanya, meletakkan nampan di atas meja.
Tama mengangguk. "Yudha kabur."
Kemala memejamkan mata sesaat. "Tapi...?"
"Polisi menemukan gudang narkoba di markasnya.
Sabu dan ekstasi, siap edar. Bahkan ada dokumen dan bukti digital transaksi besar-besaran. Yudha itu... gembong narkoba. Tapi yang aneh, kenapa Erina malah diporotin? Harusnya kan Yudha bisa mencukupinya?"
Kemala menelan ludah. "Dan tante Erina?"
Tama mengembuskan napas. "Kemungkinan besar dia gak tahu."
Kemala menggigit bibirnya. "Orang seperti itu masih sempat bilang ingin memulai hidup baru denganmu? Aku bahkan malu menganggapnya tante. Aku gak nyangka jika ibu punya adik yang telah terjerumus begitu jauh, Mas."
"Itulah jika orang tidak pernah bersyukur. Topengnya terlalu tebal. Darah itu kental, namun sifat seseorang tidak bisa disamakan meskipun saudara. Ibu Indira tentu sangat beda dengan Erina. Dan Mas sangat menyesal karena dulu telah tertipu oleh sifat manisnya," balas Tama lirih.
Mereka terdiam lama. Hanya suara hujan dan detak jam yang terdengar. Lalu Kemala membuka suara dengan nada rendah.
"Apakah semua ini akan berakhir? Bagaimana jika Yudha dan anak buahnya berkeliaran dan balas dendam pada kita?"
Tama menatapnya intens. Ia meraih tangan istrinya kemudian menggenggamnya erat. Pria itu mendekatkan wajahnya, mendaratkan ciu-man di bibir Kemala. Lembur dan penuh penghayatan. Seolah memberikan ketenangan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Aku akan melindungimu, Kemala. Percayalah... Tidak ada yang bisa menyakitimu. Mereka harus melewati nyawaku dulu!"