Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21 -- pangeran tidur
Udara dini hari terasa dingin dan lembap ketika lift rahasia di ujung lorong bawah tanah kembali terbuka.
Pintu baja bergeser pelan dengan suara mendesis, memperlihatkan sosok pria tinggi yang melangkah keluar dalam diam.
Leo Adikara.
Setelan hitamnya kini ternoda samar da*rah kering di bagian lengan dan kerah. Sarung tangannya telah dilepas, tetapi masih tersisa bekas merah gelap di ujung jarinya. Matanya dingin, tenang—seolah apa pun yang baru saja terjadi di luar sana hanyalah bagian kecil dari rutinitasnya.
Pukul lima pagi.
Langit di atas kediaman Adikara mulai memucat, menandakan fajar yang sebentar lagi tiba. Namun di dalam rumah, keheningan masih sempurna—terutama di lantai pribadi yang hanya bisa diakses oleh Leo dan beberapa orang terpercaya.
Langkahnya tidak bersuara ketika ia menyusuri lorong kembali menuju kamar pribadinya. Setiap gerakannya presisi, seolah otot dan pikirannya telah dilatih untuk bekerja di dua dunia berbeda:
satu dunia di atas panggung—sebagai pewaris sah perusahaan Adikara, pria yang dikenal publik sebagai CEO tampan yang kini terbaring koma—dan satu dunia di balik bayangan, di mana ia adalah penguasa yang bahkan nama aslinya dibisikkan dengan takut-takut.
Malam tadi ia tidak hanya pergi untuk "menyelesaikan urusan bisnis". Ia juga menumpas pengkhianatan.
Tiga nama telah dicoret dari daftar panjangnya malam itu—tiga orang yang mencoba menjual data internal kepada pihak yang sama yang pernah menargetkan Aruna.
Leo tidak memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan. Dalam dunianya, pengkhianatan hanya memiliki satu hukuman yaitu: kematian.
Ia sempat menatap tangan kirinya di dalam mobil, memperhatikan noda darah yang sudah mulai mengering. Anehnya, setiap kali ia melakukan hal seperti ini, pikirannya selalu kembali pada satu hal—Aruna.
Wanita itu.
Istri yang dinikahinya demi strategi, namun perlahan menumbuhkan sesuatu yang lebih berbahaya dari perasaan: kelemahan.
Dan malam ini, ketika darah menetes di tangannya, bayangan wajah Aruna tiba-tiba muncul dalam benaknya—saat ia tertidur sambil memeluk selimut tipis, dengan bibir sedikit mengerucut seolah masih ingin mengomel dalam mimpi.
Leo mendengus kecil saat mengingatnya. Ia bahkan sempat mengamati ekspresi itu lewat kamera di markasnya tadi malam, sebelum akhirnya mematikan layar.
“Menarik,” gumamnya pelan sambil membuka pintu kamar. “Aku bahkan bisa kehilangan fokus hanya karena wajahmu.”
Begitu pintu menutup, aroma lembut lavender langsung menyapa.
Cahaya remang dari lampu tidur masih menyala, memantulkan siluet Aruna yang meringkuk di kasurnya. Napasnya teratur, wajahnya tenang. Selimutnya sedikit bergeser, memperlihatkan sebagian bahu mungilnya.
Leo berdiri diam cukup lama di depan ranjang itu. Tatapannya yang biasanya tajam kini melunak tanpa ia sadari. Ia bahkan sempat memperhatikan bibir Aruna yang sedikit terbuka, seperti sedang berbicara dalam tidur.
“Ngorok dikit pun manis,” gumamnya tanpa suara, sebuah senyum tipis nyaris tak terlihat muncul di sudut bibirnya.
Namun darah di kerahnya mengering dan baunya menusuk samar. Leo menurunkan pandangan ke dirinya sendiri dan menghela napas.
Ia menuju kamar mandi di sisi dalam ruangan, membuka keran air panas. Suara gemericik air segera memenuhi ruangan, bercampur dengan kepulan uap hangat. Ia melepaskan masker hitam setengah wajahnya, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.
Tatapan di balik mata itu tidak sama dengan yang dikenal orang luar. Tidak ada kelelahan, tidak ada kesedihan—hanya dingin yang terlatih.
Namun di balik tatapan itu, tersimpan sesuatu yang bahkan ia enggan sebut: kekhawatiran.
Tetes-tetes darah yang menodai kulitnya mengalir bersama air hangat. Ia menggosok tangannya, menyeka pipi yang sempat tergores tipis akibat benturan dengan pecahan kaca tadi malam. Luka kecil, tapi cukup meninggalkan rasa perih.
“Darren benar,” gumamnya pelan sambil menghapus bercak di wajahnya. “William Darmawan… kau bukan ancaman biasa.”
Nama itu kembali melintas di kepalanya—nama pria yang semalam muncul di rekaman CCTV, berdiri terlalu dekat dengan Aruna
Leo bukan pria yang mudah terbakar cemburu. Namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang. Mungkin bukan karena William, tapi karena Aruna. Ia tahu wanita itu bukan tipe yang mudah jatuh, namun ia juga tahu: dunia selalu punya cara untuk menguji kesetiaan.
Leo menyalakan pancuran sedikit lebih deras, membiarkan air panas membasahi rambutnya, menutupi wajahnya yang tiba-tiba terasa lelah. Dalam gelap dan sunyi, pikirannya bergulat antara sisi manusia dan sisi iblis yang telah lama ia pelihara.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi. Setelan hitamnya kini tergantung rapi di gantungan, diganti dengan pakaian pasien yang sama seperti sebelumnya—putih sederhana, bersih, tanpa noda. Ia kembali terlihat seperti pria yang tidak tahu apa-apa, seolah tidur panjang selama berbulan-bulan.
Ia merapikan posisi selimut di ranjang besar, menyamakan posisi alat pemantau, memastikan detak jantungnya sesuai dengan ritme yang terekam sebelumnya. Semua dilakukan dengan keahlian yang luar biasa teliti—seolah ia benar-benar sedang “berperan” dalam teater kehidupan.
Begitu semuanya siap, Leo melangkah perlahan menuju sisi ranjang, lalu berbaring kembali.
Ia menatap langit-langit selama beberapa detik sebelum akhirnya memejamkan mata.
Dunia kembali hening.
Namun belum genap satu menit, suara lembut terdengar.
Geliat kecil dari arah kasur sebelah.
Leo yang masih berbaring pura-pura koma mendengar suara itu dengan jelas: selimut bergeser, napas kecil Aruna yang berubah ritmenya, dan suara lembut yang menggumam setengah sadar.
“Hmm…”
Aruna menggerakkan tubuhnya, berguling ke sisi kanan, wajahnya kini menghadap ke arah ranjang Leo.
Kelopak matanya terbuka perlahan. Cahaya pagi yang menembus celah tirai membuat wajahnya terlihat lembut. Ia menatap ke arah Leo, seperti kebiasaan yang ia lakukan setiap pagi—mengecek apakah suaminya sudah bangun atau masih terlelap dalam “tidurnya”.
Wajahnya menunjukkan sedikit rasa pusing. Ia menekan pelipisnya pelan. “Ugh… kenapa rasanya kepala berat banget ya?”
Ia duduk perlahan, mengucek mata, lalu menghela napas panjang. Di matanya, ia hanya merasa lelah karena pekerjaan dan begadang. Ia tidak tahu bahwa penyebab sebenarnya bukan itu.
Leo, di sisi lain, masih memejamkan mata dengan sempurna. Tapi telinganya menangkap setiap desahan, setiap langkah kaki kecil Aruna yang turun dari kasur dan berjalan menuju meja kecil di dekat jendela.
“Kayaknya gara-gara susu semalam deh…” gumamnya pelan, sambil mengingat rasa hangat yang menenangkan itu. “Terlalu enak sampai aku ketiduran.”
Ia tertawa kecil, tidak sadar bahwa suara kekehan-nya barusan hampir membuat pria di ranjang itu membuka mata.
Leo menahan napas sejenak. Tatapannya tetap tertutup, tapi otot wajahnya menegang ringan. Ia ingat jelas bahwa ia sendiri yang memerintahkan Darren untuk menaruh obat tidur ringan dalam susu semalam—hanya agar Aruna benar-benar istirahat, karena selama seminggu terakhir wanita itu kurang tidur dan stres akibat tekanan pekerjaan.
Ia tidak ingin melihat lingkar hitam di bawah matanya lagi.
Aruna berjalan ke arah meja rias, menatap wajahnya sendiri di cermin. “Hmm… pantes aja aku mimpi aneh semalam. Mimpi ketemu orang misterius yang bilang aku harus tidur lebih awal.” Ia tertawa kecil sendiri. “Dasar mimpi konyol.”
Ia menatap refleksinya, lalu menoleh lagi ke arah Leo yang terbaring di ranjang besar itu.
Senyum lembut muncul di bibirnya.
“Pagi, Leo…” sapanya pelan, seperti berbicara pada bayi yang sedang tidur. “Kau tahu gak? Aku udah mulai terbiasa liatmu tidur gini tiap hari.”
Ia melangkah pelan mendekat, duduk di kursi di samping ranjang, lalu menatap wajah suaminya itu dengan tatapan lembut yang anehnya membuat udara di ruangan terasa lebih hangat.
“Tapi serius deh,” lanjutnya dengan nada bercanda, “kalau kamu tidur terus, nanti aku yang tua duluan. Masa istri ngomel sendirian setiap malam. Harusnya kamu gantian dong yang ngomelin aku.”
Leo, masih dalam peran, nyaris tidak bergerak. Namun di dalam pikirannya, kalimat itu menggema dalam diam—dan entah kenapa, membuat dadanya terasa sesak.
Ia sudah terbiasa dengan darah dan ancaman, tapi tidak pernah terbiasa dengan suara lembut Aruna.
Aruna meraih tangan Leo, menggenggamnya perlahan. “Kamu tahu gak, kulitmu dingin banget tiap pagi. Aku sampe khawatir loh, takutnya kamu kedinginan.”
Ia mengusap punggung tangan itu dengan lembut, seolah ingin mengalirkan kehangatan melalui sentuhan.
Dan tanpa sadar, Leo menahan diri dengan susah payah agar jari-jarinya tidak bergerak.
“Bangunlah cepat, Leo,” bisik Aruna, suaranya pelan tapi tulus. “Aku janji gak akan ngomel terlalu lama kalau kamu bangun. Ya, paling lima menit pertama aja.”
Ia tersenyum, lalu menunduk sedikit, menyandarkan kepala di sisi ranjang.
Waktu berjalan.
Cahaya pagi semakin terang, menerobos masuk melalui tirai, memantulkan cahaya hangat ke kulit keduanya. Dalam diam itu, Leo membuka sedikit matanya—sangat tipis, nyaris tak terlihat—hanya untuk memastikan Aruna benar-benar tertidur dalam posisi setengah bersandar.
Tatapannya melembut.
Beberapa helai rambut Aruna terjatuh menutupi pipinya. Ia tampak begitu damai, seolah dunia luar tak pernah menyentuhnya. Leo menahan diri agar tidak menyentuhnya, tapi jemarinya tanpa sadar bergerak sangat pelan, menyibak sehelai rambut yang menempel di pipi Aruna.
Gerakan kecil itu berhenti di udara.
Lalu kembali turun.
Leo menutup mata lagi, perlahan.
Dalam hati, suara dinginnya bergema pelan—
bukan perintah, bukan ancaman, tapi doa yang bahkan ia sendiri tak pernah tahu masih tersisa dalam dirinya.
“Tetaplah seperti ini, Aruna. Tenang, tanpa tahu apa yang kulakukan demi melindungimu.”
Udara pagi mengalir lembut. Detak monitor kembali stabil.
Dan di balik ketenangan itu, pria yang dikenal dunia sebagai “pangeran tidur” baru saja kembali dari neraka.