Leon, pria yang ku cintai selama 7 tahun tega mengkhianati Yola demi sekertaris bernama Erlin, Yola merasa terpukul melihat tingkah laku suamiku, aku merasa betapa jahatnya suamiku padaku, sampai akhirnya ku memilih untuk mengiklaskan pernikahan kita, tetapi suamiku tidak ingin berpisah bagaimana pilihanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
“Janji nggak?”
“Ya nggak mau janji ah, biar kamu cariin aku. Jadi aku ada yang sayang.”
“Aku udah sayang kamu kok, sayang. Kamu nggak perlu bikin aku khawatir. Bisa nggak sih, please lah, jangan kayak gitu.”
“Iya, aku bercanda doang. Kenapa sih kamu nggak bisa diajak bercanda. Lagian aku nggak apa-apa kali. Ya udah, nih, aku pulang ya. Nanti kalau udah sampai aku kabarin. Oke, tuan putriku.”
“Baik, pangeranku. Hati-hati ya. Kalau gitu aku masuk ke dalam rumah ya. Bye bye.”
Yoto tersenyum kepada Yola, begitu juga dengan Yola yang sambil melambai dan masuk ke dalam rumah.
Saat Yoto mau pergi, ia mendengar ada bunyi pecahan piring dari dalam rumah Yola. Setelah itu, Yoto langsung memiringkan motornya untuk diparkir.
Terdengar suara tangisan wanita dan suara memohon dari wanita itu, yang sangat dikenal oleh Yoto. Siapa lagi kalau bukan Yola.
“Ampun, Pak. Yola janji nggak bakal pulang malam lagi. Yola juga nggak bakal mau pulang-pulang malam lagi. Pak, mohon Pak, jangan marahin Yola atau mukul Yola lagi.”
Yoto yang mendengar itu langsung mengetuk pintu. Dibukalah pintu itu oleh papa Yola.
“Siapa kamu? Malam-malam ngetuk rumah orang, nggak sopan banget. Ada perlu apa ya?”
“Bapak, Yola pulang malam karena saya. Jadi bapak jangan marahin anak bapak lagi. Kalau bapak mau marahin, marahin saya aja. Jangan marahin anak bapak.”
“Halah, masih anak SMA aja belagu banget! Kalian itu ya masih butuh yang namanya orang tua, tapi malah berlaku seenaknya. Gimana nantinya kalau udah dewasa? Baru begini aja udah kurang ajar. Saya nggak bisa lihat lagi nanti ke depannya gimana!”
Yola merintih kesakitan, tetapi papanya tetap memukul dan menendangnya di depan mata Yoto. Melihat itu, Yoto langsung menghampiri Yola dan menggendongnya keluar dari rumah.
Papanya sangat marah kepada Yola, tetapi Yoto melindungi wanitanya seperti melindungi istrinya sendiri. Walau bagaimanapun, Yola pasti akan menjadi istrinya Yoto suatu saat nanti.
“Maafin aku ya. Aku nggak bisa banyak bantuin kamu. Kamu udah berapa lama digituin sama papa kamu? Kenapa mama kamu diem aja, nggak bisa bantuin kamu sih, sayang?”
Yola hanya diam dan menangis sesenggukan tanpa berkata apa-apa. Namun Yoto memahami arti dari tangisan Yola.
Sampai di rumah pohon milik Yoto.
“Kok kamu bisa ke rumah pohon sih? Dan kamu punya rumah ini dari mana?”
“Sebenarnya kalau lagi ada masalah, aku selalu tidur di sini. Aku nggak pernah tidur di rumah. Karena papa aku juga ngerasain hal yang sama sama aku. Ya, sayangku, aku cuma punya kamu.”
“Idih, apaan sih? Orang aku serius, kamu itu malah bercanda mulu. Tapi makasih ya. Maaf kamu udah nonton hal-hal yang nggak harus kamu tonton.”
“Kamu bicara apa sih? Aku malah sedih lihat kamu diperlakukan kayak gitu sama papa kamu. Harusnya papa kamu itu sayang sama kamu. Kan kamu cantik, kenapa harus dimarahin dan dipukul seperti itu. Pasti sakit banget ya.”
Yola menangis terisak, seakan dirinya sudah menahan semua itu sendirian. Yoto mencoba menenangkan dengan mendekap erat Yola.
“Nggak apa-apa. Kalau kamu mau nangis, aku mau kok jadi guling kamu buat nangis. Yang penting nanti kamu udah nggak nangis lagi.”
“Kamu nggak merasa jijik ya sama aku? Kamu kan udah lihat keluarga aku kayak gimana. Kamu nggak berpikir nanti kalau misalkan kita nikah, keluarga aku bakal kayak apa?”
“Kalau nanti kita nikah, kita akan ke negara yang kamu suka. Ke tempat yang kamu cintai, yang nggak ada orang memperlakukan kamu dengan kasar. Aku akan selalu support kamu ke manapun kamu berada kok, sayang. Tenang aja, ada aku. Kamu hanya cukup percaya sama aku aja. Janji.”
“Kalau menurut aku, lebih baik kita udahan aja. Aku juga nggak bisa selalu banyak berharap sama kamu. Kamu itu pria baik, dan aku nggak mau merusak citra kamu di depan banyak orang. Apalagi kan kamu itu cowok yang benar-benar sempurna di mata aku, bahkan di mata semua orang.”
Yoto hanya menggeleng sambil mengusap kedua pipi Yola, lalu menatap matanya dengan tajam.
“Kata siapa kehidupan aku sempurna? Kan nggak ada yang menjamin semua itu akan selalu sempurna. Kadang juga seperti roda, bisa di atas, bisa di bawah. Kita nggak pernah tahu kehidupan orang lain, sayang. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha, bukan mengeluh atau merendahkan diri sendiri. Aku nggak suka kalau kamu merendahkan diri kamu sendiri. Lagian, yang jelek itu keluarga kamu, bukan kamu. Jadi kenapa kamu harus merasa jijik sama diri kamu?”
“Jadi, kalau menurut kamu pribadi, masalah itu keluarga aku, bukan aku-nya?”
“Kalau menurut sayangnya, aku yang salah, keluarganya atau kamu-nya?”
“Sayang, aku nanya. Kenapa kamu nanya balik sih? Kadang-kadang aku kesel deh sama kamu. Males tahu kalau cerita sama kamu, pasti kamu suka bercandain balik.”
Yoto tersenyum untuk mencairkan suasana, karena ia tahu Yola sedang butuh support.
“Bukan aku nggak mau bicara serius sama kamu. Tapi aku tahu perasaan kamu sekarang lagi nggak bisa serius. Lebih baik aku bercandain kamu daripada kita serius. Bener nggak sih?”
Yola mendengar itu merasa senang, lalu langsung manja kepada Yoto.
“Kamu harus janji ya sama aku, nggak mau ninggalin aku. Kalau sampai kamu ninggalin aku, aku bakal neror kamu terus-terusan, inget kamu!”
“Nggak apa-apa, neror aja. Lagian aku suka kalau kamu neror aku. Akhirnya ada yang berhasil neror aku, dan orang yang neror aku itu cantik. Bentar lagi jadi istri aku deh.”
“Kenapa sih kamu nggak ada takut-takutnya sama aku? Kamu nggak ngerasa ya keluargaku aneh, dan aku juga aneh. Kenapa kamu tetap mencintai orang aneh sih?”
“Mungkin karena aku orang aneh kali ya. Makanya aku mencintai orang aneh. Tapi sebenarnya nggak apa-apa sih, mencintai orang aneh itu wajib kok. Kalau orangnya kamu. Kalau orangnya bukan kamu ya nggak wajib.”
Yola mencoba memukul Yoto dengan pelan, tapi perutnya bunyi. Yoto tersenyum.
“Laper? Mau makan apa? Aku masakin sini. Tapi kadang jam segini ada tukang nasi goreng yang aku suka. Tunggu ya, aku turun dulu ke bawah. Kamu tunggu di sini aja, sambil nonton atau tiduran. Semuanya lengkap kok di sini, tenang aman. Ini udah rumah kedua kok, nggak ada siapa-siapa. Paling cuma ada aku yang gangguin kamu.”
“Ya udah, kamu hati-hati ya. Kalau misalkan ada apa-apa telepon aku. Kalau butuh bantuan juga bilang ke aku.”
“Siap, tuan putriku yang cantik. Aku cari makanan dulu ya buat kamu yang cantik. Kamu juga jangan sampai kelaparan. Makan aja yang ada di kulkas, sambil nunggu aku. Oke?”
Yola hanya menggeleng kepala, merasa Yoto terkadang lucu, tapi juga menyebalkan.
Setelah 1 jam berlalu, Yola mulai khawatir dengan Yoto. Namun ia mencoba untuk berpikir positif.
Tak lama kemudian, Yoto akhirnya kembali ke rumah pohon yang sudah didirikannya sejak lama.
“Tadaaa! Aku bawa makan.”
Yola sontak langsung mendekap Yoto. Yoto bingung ada apa, ternyata Yola khawatir karena Yoto terlalu lama pergi.
“Maafin aku ya, sayang. Kamu khawatir ya sama aku? Aku janji deh nggak bakal kayak gitu lagi sama kamu.”
“Aku takut ada apa-apa sama kamu, makanya aku khawatir banget. Maafin aku ya, karena khawatir aku terlalu berlebihan ke kamu.”
“Nggak apa-apa kok, aku suka. Lagian kalau kamu yang khawatir, aku nggak masalah. Kalau orang lain sih aku nggak mau juga.”
Yola memukul kecil Yoto. Tak lama, ia melihat makanan yang dibawa Yoto.
“Kamu bawa makanan apa?”
“Liat aja sendiri. Kalau nggak suka, buat aku. Kalau suka, ya makan aja.”
Yoto sambil ambil minum, lalu mengecek handphone-nya. Ada pesan dari papanya.
“Kamu ke mana? Kenapa belum pulang? Mau papa hancurin rumah pohon kamu? Pulang sekarang! Kalau nggak mau pulang, biar papa hampirin kamu!”
“Aku lagi kerja kelompok di rumah teman aku, dan aku nginap di rumah teman aku.”
“Awas ya, sampai kamu bohong! Kalau kamu berani bohong sama papa, liat aja kamu!”