Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. satu atap sama calon pelakor
Pagi itu sinar matahari masuk samar lewat jendela kamar rawat Miska. Bau obat-obatan bercampur dengan aroma antiseptik memenuhi udara. Barra duduk di kursi samping ranjang, tubuhnya masih dalam setelan jas semalam, dasi sudah longgar, wajahnya lelah namun tetap terjaga. Miska bersandar di bantal tinggi, kepalanya terbalut perban rapi, lengan kanannya digendong kain, terlihat begitu ringkih dan semakin membuat Barra enggan meninggalkannya.
Suara dering ponsel memecah keheningan. Barra merogoh saku jas, menatap layar sebentar. Nama “Mama” terpampang jelas. Dengan nada berat, ia menjawab panggilan itu.
“Ya, Ma?”
Suara Ratih terdengar dari seberang, penuh amarah yang ditahan.
[Barra, kamu di mana sekarang?]
“Di rumah sakit, Ma."
[Ya Tuhan, Barra! Kamu sadar nggak apa yang kamu lakukan? Aluna itu istrimu! Semalam dia jatuh, kepalanya terbentur keras karena ulahmu. Sekarang dia ada di rumah, aku sudah di sana. Dia kelihatan lemah, tapi tetap memaksa bilang dia baik-baik saja. Kamu malah pilih jaga adik tirinya istrimu?!]
Barra terdiam sejenak, wajahnya mengeras. “Aluna baik-baik saja ... dia kuat.”
[Baik-baik saja katamu?] Ratih mendengus keras. [Kamu buta apa pura-pura buta, hah? Luka Aluna mungkin nggak separah Miska di mata kamu, tapi apa kamu nggak mikir betapa sakitnya dia diperlakukan seperti itu oleh suaminya sendiri? Orang kuat jika selalu diabaikan juga akan lemah, jangan menyesal kalau nanti Aluna pergi ninggalin kamu, Barra!]
Nada Ratih makin tajam, menusuk telinga Barra tetapi lelaki itu menahan diri.
“Saya nggak bisa tinggalin Miska sekarang. Dia yang lebih butuh saya.”
[Barra!] suara Ratih meninggi, tajam seperti cambuk.
[Kalau kamu masih punya hati, segera pulang. Tunjukkan kamu suami, bukan cuma nama di buku nikah!]
Barra menarik napas dalam-dalam, rahangnya menegang. Ia akhirnya memutuskan panggilan itu tanpa memberi janji apa pun. Miska yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum samar. Dengan suara pelan penuh kelembutan yang dibuat-buat, ia berkata, “Kak Barra … kamu mau pulang, ya?”
Barra menoleh, menatap wajah pucat itu.
“Aku harus lihat keadaan Aluna.”
Miska langsung menggenggam pergelangan tangan Barra dengan tangan kirinya yang masih lemah.
“Jangan tinggalkan aku, Kak. Aku takut kalau sendirian di sini. Aku sakit … kepala ini nyut-nyutan, tangan aku juga nggak bisa gerak. Aku nggak mau diurus sama orang lain, aku maunya Kakak yang jagain aku.”
Nada manja itu, ditambah tatapan mata berkaca-kaca, membuat benteng tegas Barra goyah. Rasa bersalahnya pada Miska semakin menjerat. Ia menarik kursinya lebih dekat.
“Kalau begitu … kamu ikut aku pulang.”
Miska tersenyum lega, senyum penuh kemenangan yang terselip di wajah pucatnya. “Boleh? Aku boleh tinggal di rumah Kakak sampai sembuh?”
“Ya,” jawab Barra singkat, tegas, tanpa ragu.
Di saat itu juga, Ratih yang masih di kediaman Barra menatap wajah Aluna yang pucat, mata sayu, tetapi tetap berusaha tersenyum. Ratih bisa melihat jelas, luka terbesar bukan di pelipis yang membiru, melainkan di hati menantunya itu.
Suasana rumah besar keluarga Pramudya pagi itu hening, hanya suara langkah Ratih yang bolak-balik keluar masuk kamar Aluna. Wanita itu masih terbaring lemah di ranjang, pelipisnya dibalut perban tipis. Walau sakit, Aluna tetap memaksa bangun, mengenakan gaun rumah sederhana, dan duduk di tepi ranjang.
“Luna, kamu harus istirahat dulu. Jangan dipaksain.” Ratih menahan bahunya lembut.
Aluna tersenyum samar, bibirnya pucat. “Aku nggak apa-apa, Tante. Luka ini cuma di kepala, bukan di hati … meskipun yang di hati jauh lebih sakit.”
Ratih tercekat mendengar kalimat itu. Sebelum sempat menjawab, suara deru mobil terdengar dari luar. Ratih menoleh cepat ke jendela.
“Sepertinya Barra pulang.” katanya lalu melirik Aluna. Aluna ikut menoleh, matanya berpendar sesaat berharap, mungkin kali ini suaminya benar-benar pulang untuknya.
Namun, harapan itu runtuh ketika pintu utama terbuka dan suara beberapa orang terdengar di ruang tamu. Barra muncul, masih dengan jas hitam elegannya, dan di sisinya ada Miska dengan kepala berperban dan lengan digendong. Barra menopang tubuhnya seolah Miska adalah harta rapuh yang harus dilindungi.
Ratih yang turun lebih dulu ke ruang tamu langsung menegang.
“Astaga, Barra … jadi ini yang kamu maksud pulang?”
Barra menatapnya singkat, wajahnya dingin. “Miska tinggal di sini sementara. Dia perlu dirawat.”
“Lalu istrimu?!” Ratih menunjuk ke arah lantai atas, suaranya meninggi.
“Aluna baru jatuh semalam karena ulahmu, Barra! Dia butuh kamu!”
"Ini juga ulah Aluna! Dia harus bertanggung jawab dan merawatnya," kata Barra dingin.
Miska cepat menyela, dengan nada lirih penuh kelembutan.
“Tante … jangan salahin Kak Barra. Aku yang minta ikut. Aku nggak kuat sendirian.” Ia menunduk, wajah pucatnya semakin menimbulkan kesan rapuh.
"Kalau Tante nggak ingin aku ada di sini lebih baik aku pu..." belum selesai Miska berkata, Barra langsung menyela.
"Kamu di sini," Barra menahan lengan Miska yang hendak berpaling. Ratih meliriknya tajam, tapi sebelum sempat bicara lagi, suara langkah pelan terdengar dari tangga.
Aluna berdiri di sana, tubuhnya masih lemah tapi tatapannya tajam. Rambutnya terurai sederhana, gaun rumah putih menempel di tubuhnya. Meski tampak sakit, ada wibawa di sorot matanya.
“Selamat datang, Miska…” ucapnya lirih tapi jelas. “Ternyata rumah ini bukan hanya untukku, ya?”
Barra menoleh cepat, sedikit terkejut melihat Aluna turun. “Kamu belum seharusnya turun, Luna.”
Aluna tersenyum getir. “Kenapa? Takut aku jatuh lagi? Atau takut aku lihat kenyataan kalau suamiku lebih memilih bawa perempuan lain ke rumah ini?”
Suasana menegang, Ratih memejamkan mata, menahan amarah. Barra mengepalkan tangannya, lalu menjawab datar, “Miska keluargamu juga. Jangan bicara seperti itu. Kamu juga perlu merawatnya ... karena kamu dia terluka,”
Aluna menuruni tangga perlahan, hingga akhirnya berdiri hanya beberapa langkah dari mereka. Tatapannya berpindah dari Barra ke Miska, lalu kembali ke Barra.
“Satu tahun aku menunggumu, satu tahun aku berharap kamu bisa menoleh sedikit saja padaku. Tapi ternyata yang kamu bawa pulang … bukan cintamu, bukan hatimu, tapi Miska.”
Air mata menetes di sudut matanya, namun Aluna cepat-cepat menghapusnya. Ia tidak mau terlihat lemah. Senyum getir itu kembali terbit.
“Baiklah, Barra. Kalau memang begitu, mari kita lihat … siapa yang lebih kuat bertahan di rumah ini. Aku, istrimu yang sah, atau dia, adik tiriku yang selalu ingin merebut semua yang kumiliki.”
Miska terdiam, tapi sorot matanya berkilat puas karena dalam diam, ia tahu keberadaannya saja sudah cukup menusuk hati Aluna. Barra sendiri hanya bisa terdiam, wajahnya tetap dingin, tapi dalam dadanya ada sesuatu yang mulai bergolak.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡