Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. GAWAT
Suara tawa anak-anak desa Waringin berderai di udara siang yang hangat. Aruna duduk bersila di tanah lapang dekat lumbung padi, mengelilingi anak-anak kecil yang menatapnya penuh rasa ingin tahu. Ia menggambar bentuk-bentuk sederhana di tanah dengan ranting, menjelaskan tentang bagian tubuh manusia dengan cara yang paling mudah mereka mengerti. Anak-anak itu menyimak dengan mata berbinar, tertawa saat Aruna menyelipkan kisah lucu, lalu kembali serius ketika ia menekankan pentingnya menjaga kebersihan tubuh.
Namun suasana ceria itu mendadak terguncang. Seorang lelaki berlari tergopoh dari arah perkampungan. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, keringat bercucuran.
"Nyi Ratna! Aruna!" suaranya serak dan penuh panik. "Cepat! Cepatlah! Istriku ... istriku tak bisa bernapas dengan baik ... perutnya bengkak, panas sekali, dan ia mengerang kesakitan!"
Anak-anak yang semula tertawa kini bungkam. Beberapa saling berbisik, wajah mereka tegang.
Aruna segera bangkit, jantungnya berdegup kencang. "Tenang, Pak. Tunjukkan jalan padaku."
Lelaki itu, bernama Karto, salah satu petani desa, segera berlari memimpin jalan. Aruna mengangkat sedikit rok kain pinjaman Nyi Ratna agar tidak menghalangi langkahnya, lalu menyusul dengan cepat. Suasana berubah dari riuh tawa menjadi bayang-bayang cemas. Anak-anak berlarian pulang, menyebarkan kabar bahwa ada seorang perempuan yang tengah sekarat.
Rumah panggung kayu milik Karto dipenuhi orang. Perempuan-perempuan desa menunduk berdoa, sementara beberapa lelaki berdiri di luar, wajah muram dan tegang. Dari dalam terdengar suara erangan yang memilukan. Aruna masuk dengan langkah mantap, meski hatinya dicekam rasa takut. Ia telah melihat banyak kasus darurat di rumah sakit modern, tetapi kali ini ia tidak punya apa pun, tak ada pisau bedah steril, tak ada cairan infus, tak ada antibiotik. Hanya pengetahuan yang tersisa di kepalanya, sedikit ramuan herbal, dan doa agar semesta memberinya jalan.
Di atas tikar anyaman, terbaring seorang perempuan muda bernama Marni, istri Karto. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya, rambutnya kusut menempel di kulit yang panas. Tangannya menggenggam perut bagian kanan bawah dengan kuat, seolah nyeri itu menancap dan merobek isi tubuhnya. Napasnya cepat dan dangkal, sesekali ia mengerang lirih.
"Aruna ..." bisik Nyi Ratna yang sudah lebih dulu di sana rupanya, wajahnya diliputi kecemasan. "Marni panas tinggi sejak kemarin. Kami sudah beri ramuan penurun demam, tapi pagi ini ia muntah darah, lalu perutnya makin kembung ... aku tidak tahu apa yang terjadi."
Aruna duduk di samping Marni, mencoba menyingkirkan ketakutannya. Ia membuka selendang tipis yang menutupi tubuh Marni, meraba perut yang terasa keras dan tegang. Saat disentuh, Marni meringis keras, tubuhnya menegang.
"Sakit ... sakit sekali," lirih Marni.
Jantung Aruna terhantam. Ia mengenali gejala ini: Peritonitis, radang berat di rongga perut, kemungkinan akibat usus buntu yang pecah. Dalam dunia modern, ini hanya bisa diselamatkan dengan operasi darurat. Tanpa itu, infeksi akan menyebar, racun membanjiri tubuh, dan nyawa terancam dalam hitungan jam atau hari.
Tapi di desa tahun 1819 ini, operasi bukanlah pilihan. Aruna menggigit bibir, pikirannya berpacu akan segala kemungkinan yang bisa ia lakukan dalam membantu Marni. Wanita yang kini terbujur kesakitan ini adalah salah satu yang ramah dan selalu tersenyum kepada Marni setiap kali mereka bertemu.
Aku tak boleh menyerah. Masih ada cara untuk memperpanjang waktunya, mengurangi rasa sakit, dan menahan infeksi dengan herbal, batin Aruna.
Gadis itu menarik napas panjang, menatap mata penuh air Karto. "Aku akan berusaha, tapi keadaan Marni sangat berbahaya. Kita harus kuat dan cepat."
Karto mengangguk dengan wajah pias, lalu menunduk, menggenggam tangan istrinya yang lemah.
Aruna memanggil beberapa perempuan desa. "Tolong ambilkan air bersih yang banyak, kain bersih, serta batu-batu kecil untuk dipanaskan. Aku juga butuh daun sirih, kunyit, jahe, dan sambiloto kalau ada."
Perempuan-perempuan itu bergegas, meski wajah mereka diliputi ketakutan. Bagi mereka, penyakit seburuk ini kerap dianggap pertanda buruk atau kutukan gaib. Namun kehadiran Aruna membawa setitik harapan yang menggantung di antara putus asa. Aruna menjelaskan pada mereka sejak awal, kalau semua hal yang terjadi ada penjelasan logis, tidak ada hubungannya dengan kutukan atau hal gaib.
Sementara menunggu, Aruna menutup matanya sejenak, mengingat pelajaran-pelajaran yang pernah ia dapatkan ketika liburan kuliah di dataran Cina dulu. Ia teringat seorang tabib tua yang mengajarinya dasar-dasar pengobatan tradisional: bagaimana menjaga keseimbangan yin dan yang, bagaimana ramuan herbal tertentu mampu menahan racun, dan bagaimana sentuhan tangan yang tenang bisa membawa sedikit ketenteraman pada jiwa yang gelisah.
Kalau aku tak bisa menyembuhkan total, setidaknya aku bisa memperpanjang waktunya, memberi kesempatan tubuhnya untuk bertahan.
Aruna menunduk pada Lastri, berbisik lembut, "Bertahanlah. Aku di sini. Aku akan menolongmu sebisa mungkin."
Aruna mulai dengan langkah sederhana yaitu membersihkan tubuh Marni dari keringat dingin, mengganti kain basah dengan kain kering agar tak menambah beban. Air panas yang dibawa para perempuan ia campur dengan rempah jahe dan kunyit, lalu ia rendam kain di dalamnya dan menempelkannya perlahan pada perut Marni. Harapannya, panas itu bisa sedikit meredakan nyeri spasmodik dan memperlancar aliran darah.
Sambil itu, ia menyiapkan ramuan pahit dari sambiloto dan daun sirih yang direbus hingga airnya pekat. Ramuan itu ia suapkan sedikit demi sedikit ke bibir Marni, meski perempuan itu hampir tak sanggup menelan.
Wajah Aruna menegang. Kalau ia dehidrasi, racun akan makin cepat menguasai tubuhnya. Aku harus menemukan cara untuk memberinya cairan.
Di dunia modern, ia akan langsung memasang infus. Kini, ia hanya bisa memberi air hangat bercampur sedikit madu untuk menjaga energi, diselingi rebusan herbal agar tubuhnya tidak menyerah begitu cepat.
Malam mulai turun, dan tubuh Marni makin melemah. Orang-orang desa berkumpul di depan rumah, menunggu dengan cemas. Aruna tetap berjaga di samping, matanya berkunang karena lelah, namun tangannya tak berhenti mengompres, menyiapkan ramuan, memijat perlahan agar aliran darah Marni tak berhenti.
Nyi Ratna menatapnya penuh iba. "Aruna, kau sudah berusaha sekuat tenaga. Jangan salahkan dirimu kalau-"
Namun Aruna menatap tajam, meski suaranya gemetar. "Aku tidak akan berhenti, Mbok. Selama Marni masih bernapas, aku akan tetap berusaha."
Kalimat itu membuat semua yang hadir terdiam. Ada kekuatan tak terlihat dari sorot mata Aruna, kekuatan yang membuat semua orang percaya untuk sejenak bahwa keajaiban mungkin saja terjadi.
Walau Aruna sendiri masih belum menemukan apa yang harus ia lakukan untuk menolong Marni. Ada rasa frustasi karena Aruna yang belajar ilmu kedokteran modern harus merasa tidak berdaya dengan keadaan yang serba terbatas sekarang. Hal yang paling ditakuti Aruna adalah ketika ia tidak bisa menyelamatkan nyawa seseorang. Walau ia tahu kalau dirinya bukan Tuhan, namun alasan Aruna menjadi dokter adalah karena ia ingin menyelamatkan. Tak ingin lagi ia melihat seseorang meninggal karena tangan dokter yang tidak kompeten. Tidak setelah Aruna kehilangan kakak perempuannya karena seorang dokter yang tidak memiliki jiwa ingin menolong dengan hati, tapi karena uang.