Lian, gadis modern, mati kesetrum gara-gara kesal membaca novel kolosal. Ia terbangun sebagai Selir An, tokoh wanita malang yang ditindas suaminya yang gila kekuasaan. Namun Lian tak sama dengan Selir An asli—ia bisa melihat kilasan masa depan dan mendengar pikiran orang, sementara orang tulus justru bisa mendengar suara hatinya tanpa ia sadari. Setiap ia membatin pedas atau konyol, ada saja yang tercengang karena mendengarnya jelas. Dengan mulut blak-blakan, kepintaran mendadak, dan kekuatan aneh itu, Lian mengubah jalan cerita. Dari selir buangan, ia perlahan menemukan jodoh sejatinya di luar istana.
ayo ikuti kisahnya, dan temukan keseruan dan kelucuan di dalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Di kamar bawah tanah yang mereka tuju, ruang persembahan menyambut dengan aroma dupa hangus. Di tengahnya, peti hitam besar dipagari lingkaran rune kuno. Di atas altar, simbol naga dan phoenix yang ada di gulungan segel itu sendiri berdenyut. Beberapa pelayan istana berdiri seperti terdoktrin, wajah mereka kosong, mata merah menyala. Mereka adalah penjaga bayangan yang kerasukan, namun di dalam masih menyisakan jejak-jejak manusia. Lian menelan, menatap Liu Ning sejenak, pasang mata yang dulu ia kenal, kini tegang, namun tegar.
“Liu Ning,” katanya perlahan, “kita harus menarik keluargamu dari inti kekuasaan. Bukan sebagai korban; sebagai penentu.”
Liu Ning menatap puluhan langkah ke belakang, paman Liu Kang yang haus kuasa, Kaisar palsu Liu Ming yang mengklaim takhta atas darah dan tipu muslihat, para pejabat yang haus keuntungan. Ada rasa malu dan bara harga diri di dadanya. “Aku akan berdiri di depanmu, bukan sebagai kunci, tapi sebagai pemimpin. Aku akan panggil mereka yang masih setia pada kebenaran.”
Sementara itu, Feng Xuan menyelidik ritual. Ia melihat urutan rune, aliran darah yang hendak dipaksa masuk ke dalam segel melalui simbol-simbol genealogis: kedamaian diganti oleh penyaluran kemarahan. Jika ritual ini selesai, segel bukan hanya akan terbuka ia akan menyala sebagai luka di antara dimensi. Mereka harus menghentikannya saat itu juga.
Lian mengangguk. “Kita pecah ritual ini bertahap. Aku akan masuk ke pusat lingkaran, memutus aliran dengan musik Pondasi Langit. Feng Xuan, kau pecah rune keduanya. Chen Yun, jaga pintu. Liu Ning, lepaskan berita, biarkan rakyat tahu apa yang terjadi.”
Di saat yang sama, di luar tembok istana, Yuyan telah melaksanakan perannya. Ia tidak hanya pengalih perhatian ia telah menghubungi pedagang, penjahit, pelayan yang lelah. Dengan cerdik, ia menyebar kabar, “Mereka akan membuka segel iblis di istana. Pergi ke gerbang timur, bantu yang bisa.” Kata-kata ini,
Disampaikan oleh wanita di pasar dan tukang kayu yang mendengar, menimbulkan sesuatu yang tidak diantisipasi sang Kaisar palsu, rasa kemarahan yang terkumpul. Rakyat selama ini ditindas; berita adanya ancaman supernatural memberi alasan untuk tidak hanya ketakutan, tetapi juga bertindak.
Kembali di ruang persembahan, Lian menapaki lantai. Tangannya memegang pedang cahaya. Ia tidak menjerit, tidak memanggil kekuatan bombastis. Ia memainkan nada — nada dasar Pondasi Langit. Suara itu bukan kata-kata, melainkan frekuensi yang mengusir dan merapikan. Rune pada peti mengerut seperti luka yang disentil.
Aliran darah menghentak, mundur seperti air yang ditarik. Feng Xuan, di sisi lain, mengayunkan pedang naga dengan ritme memecah. Setiap tebasannya menyingkap lapisan segel; ia bukan menghancurkan, melainkan 'membuka' bantalan-bantalan rune, memutus tautan ke iblis.
Di luar, desis lantang: pasukan istana yang dikomandoi Liu Ming menjatuhkan pintu gerbang, namun mereka dihadang oleh kerumunan rakyat yang dipimpin oleh Liu Ning sendiri bukan sebagai pangeran kecundang, melainkan sebagai putra yang kembali membela negeri. Liu Ning berdiri di depan, takhta palsu jauh di belakangnya, ia mengangkat suaranya, memaparkan kebohongan, memanggil nama-nama yang dulu dikhianati. Rakyat yang sejak lama merasakan kebijakan tirani kini menemukan alasan untuk bukan hanya marah, tetapi bertindak. Mereka mengepung prajurit, membuka gerbang, mengibarkan bendera-bendera biasa lambang-lambang keberanian rakyat, bukan lambang kekaisaran palsu.
bersambung
cerita terlihat terlalu naif