Nayla dan Dante berjanji untuk selalu bersama, namun janji itu pudar ketika Nayla mendapatkan pekerjaan impiannya. Sikap Nayla berubah dingin dan akhirnya Dante menemukan Nayla berpegangan tangan dengan pria lain. Hatinya hancur, tetapi sebuah kecelakaan kecil membawanya bertemu dengan Gema, kecerdasan buatan yang menjanjikan Dante kekayaan dan kekuasaan. Dengan bantuan Gema, Dante, yang sebelumnya sering ditolak kerja, kini memiliki kemampuan luar biasa. Ia lalu melamar ke perusahaan tempat Nayla bekerja untuk membuktikan dirinya. Dante melangkah penuh percaya diri, siap menghadapi wawancara dengan segala informasi yang diberikan Gema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Halo Freya
Freya menatap Dante yang terbaring. Wajahnya yang damai membuat hati Freya teriris, namun kata-kata yang ia ucapkan pada Dante masih terngiang, menjadi sumpahnya sendiri. Freya tahu ia tidak bisa bertindak gegabah. Pengalamannya sebagai CEO membuatnya berpikir strategis. Ia harus mencari tahu dalang di balik kecelakaan ini dengan cara yang cerdas dan terstruktur. Freya tidak punya waktu lama, ia harus segera menemukan petunjuk. Freya menekan tombol panggilan telepon di ponselnya, menghubungi Sinta.
"Sinta, aku butuh bantuanmu," kata Freya tanpa basa-basi. "Cari semua data tentang kecelakaan mobil di pusat kota kemarin. Aku butuh laporan polisi, rekaman CCTV, dan semua informasi yang terkait. Prioritaskan penyelidikan di area di mana truk itu menghilang. Jangan ada yang terlewat, Sinta! Aku akan mencari tahu siapa orang di balik ini."
"Kau yakin?" tanya Sinta. "Ini bukan lagi masalah perusahaan, Freya."
"Aku tahu, Sinta," jawab Freya. "Ini masalah pribadi, dan ini juga masalah keadilan. Aku tidak akan membiarkan orang yang telah melakukan ini kabur. Aku akan bekerja sama dengan pihak kepolisian, tetapi aku ingin kita juga mencari tahu sendiri."
"Baiklah, aku akan segera mulai," jawab Sinta. "Apa ada yang lain?"
"Aku butuh data-data Bram, seperti catatan teleponnya, dan data yang terkait dengan pekerjaannya," kata Freya.
"Tentu, Freya. Aku akan mengurusnya."
Freya menutup telepon. Matanya teralih ke Dimas dan Kania yang tampak gelisah di luar. Ia tahu ada sesuatu yang aneh. Selembar kertas yang dengan cepat Dimas sembunyikan menjadi perhatiannya. Freya memutuskan untuk tidak terburu-buru. Ia akan menghadapi mereka setelah ia mengurus hal-hal yang lebih penting.
Freya melangkah keluar ruangan. Matanya terarah pada Dimas dan Kania. Freya tidak ingin mereka curiga. Ia harus tetap tenang dan profesional.
"Aku akan kembali ke kantor," kata Freya. "Aku akan mengurus beberapa hal, dan aku akan kembali lagi nanti. Kalian bisa istirahat. Biar aku yang menemani Dante."
Dimas dan Kania tampak lega. Mereka mengangguk, lalu berpamitan pada Freya.
Freya melangkah ke luar rumah sakit. Ia harus menyusun strategi yang tepat. Ada tiga hal yang harus ia lakukan. Pertama, menganalisis data-data kecelakaan. Kedua, menyelidiki keterlibatan Bram. Ketiga, mencari tahu apa yang Dimas sembunyikan.
Freya duduk di kantornya, matanya menatap layar laptop. Di hadapannya, terhampar data-data yang dikirim Sinta. Laporan polisi, rekaman CCTV dari beberapa titik di sekitar lokasi kejadian, dan laporan saksi mata.
Ia memeriksa setiap detail dengan cermat, seolah sedang menganalisis laporan keuangan. Sebuah truk besar berwarna gelap, tanpa nomor plat, menabrak mobil Dante. Saksi mata mengatakan truk itu melaju kencang dari arah berlawanan.
Freya melihat rekaman CCTV dari beberapa sudut jalan. Ia memperlambat setiap adegan, memerhatikan dengan saksama gerakan truk itu. Gerakannya terlihat sangat terencana, seolah tahu di mana dan kapan harus menabrak.
Tidak ada rem, tidak ada upaya menghindari kecelakaan. Freya merasakan firasat buruk yang menguat, kecelakaan ini bukanlah insiden semata. Seseorang memang sengaja ingin melukai Dante. Freya memeriksa laporan saksi mata, tidak ada yang melihat sopir truk itu, ia menghilang begitu saja.
Freya menghela napas panjang, merasa bahwa kasus ini begitu rumit. Ia menutup laptopnya. Ada satu hal lagi yang mengganjal pikirannya. Freya meraih ponselnya dan menelepon Bram.
"Kenapa kau meneleponku?" tanya Bram, suaranya terdengar tegang. "Aku dengar kau sangat ingin berbicara denganku."
"Aku hanya ingin tahu apa yang kau lihat di tempat kejadian?" tanya Freya, suaranya tenang. "Bukankah kau orang pertama yang ada di sana?"
"Ya," jawab Bram. "Aku sedang dalam perjalanan pulang, dan aku melihat truk itu menabrak mobil Dante, kemudian menghilang. Itu adalah kecelakaan yang aneh."
"Kenapa kau tidak melapor ke polisi?" tanya Freya. "Kenapa kau tidak mengejar sopirnya?"
"Aku terlalu takut," jawab Bram. "Aku tidak ingin terlibat. Aku hanya ingin pulang ke rumah."
"Bram," kata Freya. "Seseorang yang berada di tempat kejadian, bukankah seharusnya dia melapor ke polisi? Aku curiga padamu!"
"Kau tidak bisa menuduhku!" kata Bram, suaranya meninggi. "Aku juga korban dari kecelakaan ini. Aku juga ingin tahu siapa yang melakukannya."
Freya terdiam. Alasan Bram masuk akal, tetapi ada sesuatu yang ganjil. Ia tahu Bram adalah seorang manipulatif. Freya memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan. Ia menutup telepon. Ia tahu ia harus mencari tahu lebih banyak.
Freya menyewa seorang peretas yang tepercaya. Dalam hitungan jam, ia sudah mendapatkan semua data yang ia butuhkan. Catatan telepon, riwayat pencarian, dan pesan yang dikirim Bram. Freya dengan cermat menganalisis semua data itu.
Freya menemukan banyak panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Panggilan ini dilakukan pada waktu yang sangat spesifik, sebelum kecelakaan terjadi. Freya juga menemukan pesan-pesan aneh yang tidak jelas. Pesan-pesan itu dihapus, tetapi peretasnya berhasil memulihkannya.
Pesan-pesan itu berisi perintah, dan Bram membalas dengan kata "siap." Ada juga pesan-pesan yang berisi ancaman, yang tampaknya datang dari orang yang mengancam Bram. Freya menyadari, Bram adalah korban, tetapi ia juga kaki tangan. Freya merasa yakin. Ia sudah menemukan salah satu pelakunya.
Freya mengirim pesan ke Bram. "Aku tahu kau ada di balik semua ini," tulisnya. "Aku punya semua bukti."
Bram yang baru saja tiba di apartemennya, membaca pesan itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Freya tidak main-main. Ia harus bertindak cepat. Ia melihat jam di dinding. Pukul 22.00 malam.
Bram kembali ke kantornya. Ia harus mengambil data-data penting. Freya tidak boleh tahu siapa bosnya. Ia merencanakan untuk menculik Freya. Bram menelepon seseorang.
"Aku butuh bantuan," kata Bram, suaranya terdengar cemas. "Freya tahu. Dia punya buktinya."
"Apa yang kau ingin aku lakukan?" tanya seseorang di ujung telepon.
"Culik Freya," jawab Bram. "Jangan biarkan ia memberitahu siapa pun. Aku akan mengirimkan lokasinya. Lakukan secepat mungkin. Aku akan membayar kalian lebih dari yang kuperkirakan."
"Baiklah," jawab seseorang di ujung telepon. "Aku akan mengurusnya."
Bram mematikan telepon. Ia tahu ini adalah satu-satunya cara. Freya harus bungkam, ia harus tutup mulut. Bram mengambil ranselnya, memasukkan beberapa barang, lalu melangkah keluar. Malam itu, ia akan menculik Freya.
Freya keluar dari kantornya. Malam sudah larut. Jalanan terlihat sepi. Ia melangkah menuju mobilnya. Tiba-tiba, ia merasakan sebuah tangan membekap mulutnya. Freya berusaha berontak, tetapi tenaga orang itu terlalu kuat. Ia mencium bau eter yang menyengat, dan pandangannya mulai kabur. Freya merasakan tubuhnya lemas. Ia tidak bisa melawan.
Ketika Freya membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di sebuah kursi yang dingin. Tangan dan kakinya terikat erat. Freya berusaha bergerak, tetapi ia tidak bisa. Ia memandangi sekelilingnya. Ia berada di sebuah rumah kosong yang gelap. Jendela-jendelanya tertutup papan. Hanya ada cahaya dari satu lilin di sudut ruangan.
"Kau sudah bangun, rupanya," kata sebuah suara. Freya terkejut. Bram berjalan mendekat, wajahnya dipenuhi amarah. "Kau sangat ingin tahu apa yang terjadi, bukan?"
Bram menyeringai, lalu memandang Freya dengan tatapan tajam. "Kau tidak perlu khawatir," katanya. "Aku akan memberitahu semuanya, tetapi setelah itu, kau akan diam selamanya."