NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:932
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 22

Beberapa minggu berjalan dengan baik, Camilla selalu melakukan rutinitas di ruang kerja Arthur dan sekali seminggu melakukan latihan pedang bersama Aiden.

"Kau semakin lihai, jika seperti ini, mungkin Putra Mahkota akan segera luluh padamu," ucap Aiden sambil mengedipkan mata.

"Heh, kau ini.. Oh ya, adikmu bagaimana? Seingatku dia akan segera berusia 18 tahun"

"Yap.. mereka sudah memikirkan acara debutane dari sekarang," jawab Aiden.

Pada waktu santai, keduanya lebih memakai bahasa santai karna memang mereka adalah teman masa kecil yang kemudian bertemu lagi karna Camilla masuk ke istana.

"Aku masih tidak percaya waktu berlalu begitu cepat, kau bahkan menjadi Putri Mahkota," lanjut Aiden.

"Apa kau akan kembali ke ruang kerjanya?," tanya Aiden yang sudah merapihkan alat latihan mereka.

"Ya, jika aku tak mau, dia pasti menyuruh pelayan untuk menyeretku kesana," jawab Camilla dengan wajah cemberutnya.

Beberapa saat setelah mereka berpisah, langit mulai mendung, Camilla berjalan sendirian di lorong istana, menuju ruang kerja Putra Mahkota. Mary sedang sibuk di dapur, jadi ia memutuskan pergi lebih dulu, membawa beberapa catatan kecil yang sudah ia siapkan.

Ketika tiba di depan pintu, ia melihat tidak ada pengawal. Pintu pun tidak terkunci. Camilla ragu sejenak, tetapi rasa penasarannya lebih besar. “Mungkin Arthur baru saja pergi sebentar..” gumamnya.

Ia melangkah masuk. Ruangan itu sepi, hanya cahaya abu-abu dari jendela yang menyinari meja besar penuh dokumen. Camilla meletakkan map kecilnya di atas meja, lalu menoleh sejenak.

Pandangannya berhenti pada sebuah tumpukan kertas berbeda dari biasanya disimpan agak terpisah, dengan segel merah yang mencolok.

Apa ini?

Camilla tahu ia tidak seharusnya menyentuh dokumen itu. Tapi rasa ingin tahu menyeretnya. Jemarinya gemetar saat membuka halaman pertama.

Tulisan di sana bukan sekadar laporan biasa. Itu adalah strategi militer. Peta perbatasan, nama jenderal, rencana penempatan pasukan. Semakin ia membaca, semakin jelas bahwa dokumen itu benar-benar penting dan sangat rahasia.

“Ya Tuhan..” bisiknya, menutup mulut dengan tangan.

Ia tahu seharusnya berhenti, tapi matanya tertarik pada satu halaman dengan catatan tangan Arthur sendiri. Catatan itu penuh perhitungan dingin, jumlah korban yang “diterima,” wilayah yang “dikorbankan,” seolah nyawa manusia hanya angka.

Oh tidak.. aku lupa! Sebentar lagi Arthur akan pergi berperang, tapi bukankah rencananya terlalu kejam? Dia bahkan menuliskan berapa jumlah prajurit yang akan mati.

Suara pintu terbuka tiba-tiba membuatnya tersentak. Arthur berdiri di ambang pintu, wajahnya gelap.

“Camilla.” Suaranya rendah, nyaris berbahaya.

Camilla menjatuhkan dokumen itu ke meja, tubuhnya kaku. “A-Arthur.. aku hanya..”

“Membuka sesuatu yang bukan untukmu.” Tatapan matanya menusuk, dingin seperti es. “Siapa yang memberimu izin?”

Camilla mundur selangkah, bibirnya gemetar. “Aku tidak bermaksud.. aku hanya penasaran. Aku pikir hanya dokumen seperti biasa yang bisa aku bantu..”

Arthur menutup pintu dengan keras, langkahnya mendekat. “Membantu? Dengan apa? Dengan menuliskan gosip di dokumen perang?”

Nada suaranya tajam, penuh penghinaan. Camilla terdiam, hatinya perih mendengar kata-kata itu.

“Aku percaya padamu sampai batas tertentu,” lanjut Arthur, suaranya meninggi. “Tapi ternyata kau bahkan tidak tahu batasan. Dokumen itu rahasia kerajaan, Camilla. Satu halaman saja jatuh ke tangan musuh, ribuan orang bisa mati!”

Air mata menggenang di mata Camilla. “Aku.. aku hanya ingin tahu sisi lain darimu. Aku tidak menyangka kau bisa menulis begitu dingin tentang manusia.”

Arthur berhenti tepat di hadapannya, wajahnya tegang. “Itu tugasku. Tugasku adalah memastikan kerajaan tetap berdiri, meski harus mengorbankan sebagian.”

“Dan kau menyebut itu tugas? Menulis korban manusia seolah hanya angka?!” suara Camilla pecah, tubuhnya bergetar. “Bagaimana bisa kau begitu tenang membaca penderitaan?”

Arthur membalas tatapannya, matanya membara. “Karena kalau aku tidak tenang, siapa yang akan tenang? Kalau aku ikut goyah, seluruh kerajaan akan runtuh.”

Keheningan menyesakkan memenuhi ruangan. Hanya napas keduanya yang terdengar, cepat dan berat.

Camilla memeluk dirinya sendiri, berusaha menahan gemetar. “Aku.. aku hanya ingin menjadi bagian dari duniamu. Tapi ternyata aku terlalu bodoh.”

Arthur terdiam, namun rahangnya mengeras. Ia tahu kata-kata Camilla menusuk lebih dalam daripada yang ia bayangkan.

Namun, amarah dan rasa dikhianati membuatnya tak mampu melunak. “Pergi, Camilla. Sekarang.”

Camilla menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu berbalik. Langkahnya goyah saat keluar dari ruangan, meninggalkan Arthur sendirian.

Begitu pintu tertutup, Arthur meremas kertas di tangannya sampai kusut. Wajahnya menegang, antara marah dan kecewa.

Camilla berjalan cepat menyusuri lorong istana, matanya berkaca-kaca. Setiap langkah terasa berat, seolah semua kekuatan telah hilang dari tubuhnya. Ia tidak berhenti sampai tiba di kamarnya, lalu menutup pintu dengan keras.

Mary yang sedang merapikan selimut terlonjak kaget. “Yang Mulia? Apa yang terjadi?”

Camilla terdiam beberapa saat, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. “Aku.. aku membuat kesalahan besar, Mary.”

Mary buru-buru mendekat, menggenggam tangannya. “Kesalahan apa? Katakan padaku.”

Air mata akhirnya mengalir di pipi Camilla. “Aku membuka dokumen yang tidak seharusnya kulihat. Dokumen perang. Arthur marah besar.. dia mengusirku.”

Mary membeku, wajahnya berubah pucat. Ia tahu betapa seriusnya masalah itu. Membuka dokumen rahasia bisa dianggap pengkhianatan. “Ya Tuhan, Yang Mulia..” bisiknya.

***

Di ruang kerjanya, Arthur duduk sendirian. Dokumen rahasia sudah ia rapikan kembali, tetapi pikirannya masih kacau.

Ia memandang tangannya yang tadi hampir bergetar ketika melihat Camilla membaca catatannya. Bukan karena takut rahasia terbongkar, ia tahu Camilla tidak akan mengkhianatinya tetapi karena.. ia belum sepenuhnya percaya untuk mengatakan semua padanya

Ia menutup mata, mengingat kembali suara pecah Camilla saat berkata: “Bagaimana bisa kau begitu tenang membaca penderitaan?”

Arthur menghela napas panjang. Ia ingin mengejarnya, menjelaskan semuanya. Tapi harga diri dan kebiasaannya menahan emosi menahannya. Kalau aku meminta maaf sekarang, apa dia akan menganggapku lemah?

Namun, semakin lama ia diam, semakin terasa ruang kerjanya kosong. Tidak ada suara pena Camilla, tidak ada tawa kecilnya yang biasanya mengganggu. Sunyi yang dulu ia nikmati kini terasa menyiksa.

Malam itu, Camilla tidak bisa tidur. Ia berbalik berkali-kali di ranjang, pikirannya dipenuhi wajah Arthur. Kata-kata kasarnya terngiang-ngiang, menusuk lebih tajam daripada pedang.

Mary masuk pelan, membawa segelas susu hangat. “Yang Mulia, minumlah. Mungkin ini bisa membantu.”

Camilla duduk perlahan, menerima gelas itu dengan tangan gemetar. “Mary.. apakah aku terlalu lancang? Apakah aku memang tidak tahu batasan?”

Mary terdiam sejenak, lalu berkata lembut, “Anda memang lancang, tapi bukan dengan niat jahat. Anda hanya terlalu penasaran.”

Camilla menunduk. “Tapi Arthur.. dia melihatku seolah aku musuhnya.”

Mary menggenggam bahunya. “Putra Mahkota hidup dengan beban yang berat. Kadang caranya melindungi diri adalah dengan bersikap dingin, bahkan kejam. Tapi itu tidak berarti dia tidak peduli pada anda.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!