Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pecahnya Hati Riana
Riana menunggu Raka di apartemennya, perasaan cemas dan amarah bercampur aduk menjadi satu. Semalaman ia tidak bisa tidur, pikirannya terus berputar pada pengkhianatan Raka dan Kirana. Bagaimana bisa dua orang yang paling ia sayangi tega melakukan ini padanya?
Bel berbunyi, membuat jantung Riana berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum membuka pintu. Raka berdiri di depannya, wajahnya pucat dan matanya memancarkan penyesalan.
"Riana, aku bisa jelaskan," ucap Raka lirih, suaranya terdengar serak.
"Jelaskan apa?" tanya Riana dengan nada sinis, berusaha menyembunyikan luka yang menganga di hatinya. "Jelaskan bagaimana kamu bisa tidur dengan adikku sendiri? Jelaskan bagaimana kamu bisa menghamilinya? Apa kamu pikir aku akan percaya dengan alasan-alasanmu yang tidak masuk akal itu?"
Raka terdiam sejenak, tampak kesulitan mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya. Ia menunduk, menghindari tatapan tajam Riana yang menusuk.
"Aku tahu aku salah, Riana," ucapnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri atas apa yang telah kulakukan."
"Salah? Kamu bilang ini hanya 'salah'?" bentak Riana, air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. "Kamu sudah menghancurkan hidupku, Raka! Kamu sudah mengkhianatiku dengan cara yang paling menyakitkan! Bagaimana bisa kamu tega melakukan ini padaku?"
Air mata Riana akhirnya tumpah, membasahi pipinya. Ia tidak bisa lagi menahan emosi yang selama ini ia pendam. Ia merasa seperti dunianya runtuh, hancur berkeping-keping.
"Kenapa, Raka? Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanya Riana dengan suara bergetar, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya.
Raka mengangkat wajahnya, menatap Riana dengan tatapan memohon. "Aku... aku tidak tahu, Riana," jawabnya lirih, suaranya dipenuhi penyesalan. "Itu terjadi begitu saja. Aku tidak bisa mengendalikannya."
"Begitu saja?" ulang Riana dengan nada tak percaya, air matanya semakin deras mengalir. "Kamu pikir ini bisa dimaafkan begitu saja? Kamu pikir aku akan percaya dengan alasanmu itu? Apa kamu pikir aku bodoh?"
Raka meraih tangan Riana, mencoba menggenggamnya dengan erat. "Riana, aku mohon maafkan aku," ucapnya dengan suara memelas. "Aku tahu aku tidak pantas mendapatkan maafmu, tapi aku mohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku janji, aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia."
"Memperbaiki semuanya?" tanya Riana dengan nada sinis, menarik tangannya dari genggaman Raka. "Bagaimana kamu bisa memperbaiki ini, Raka? Kamu sudah menghancurkan segalanya! Apa kamu bisa mengembalikan kepercayaanku padamu? Apa kamu bisa menghapus rasa sakit yang kamu torehkan di hatiku?"
"Aku tahu, Riana," jawab Raka, air matanya juga mulai mengalir. "Tapi aku janji, aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku. Aku akan menikahi Kirana dan membesarkan anak ini. Aku akan memastikan bahwa dia tidak kekurangan apapun."
Riana tertawa sinis mendengar ucapan Raka, air matanya semakin deras mengalir. "Menikahi Kirana? Jadi, itu rencanamu? Kamu akan meninggalkanku dan menikahi adikku sendiri? Apa kamu pikir aku akan membiarkan itu terjadi?"
"Tidak, Riana," jawab Raka dengan nada putus asa. "Aku tidak ingin meninggalkanmu. Aku masih mencintaimu. Kamu adalah wanita yang paling aku cintai di dunia ini."
"Mencintaiku?" ulang Riana dengan nada tak percaya, air matanya semakin deras mengalir. "Kalau kamu mencintaiku, kenapa kamu melakukan ini padaku? Kenapa kamu mengkhianatiku dengan adikku sendiri? Apa kamu pikir aku akan percaya dengan kata-kata cintamu itu?"
Raka terdiam sejenak, tampak kesulitan mencari jawaban atas pertanyaan Riana. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
"Kirana... Kirana lebih menyayangiku," ucap Raka akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Dia lebih manja dan perhatian padaku. Dia selalu ada untukku, kapanpun aku membutuhkannya. Kalau kamu, Riana, kamu selalu menggantungkan harapanmu padaku. Kamu tidak pernah benar-benar menerimaku apa adanya."
Riana terkejut mendengar pengakuan Raka. Ia tidak percaya bahwa itu adalah alasan Raka mengkhianatinya. Ia merasa seperti ditampar keras di wajahnya.
"Jadi, karena itu kamu memilih Kirana?" tanya Riana dengan nada kecewa, air matanya semakin deras mengalir. "Karena dia lebih manja dan perhatian padamu? Karena dia selalu ada untukmu? Apa aku kurang memberimu cinta dan perhatian selama ini? Apa aku kurang berusaha untuk membahagiakanmu?"
"Bukan begitu, Riana," jawab Raka dengan nada memohon. "Aku tahu kamu mencintaiku, dan aku juga mencintaimu. Tapi kamu selalu menahan dirimu. Kamu tidak pernah benar-benar membuka hatimu untukku. Kamu selalu takut untuk terluka, dan itu membuatku merasa tidak aman dalam hubungan ini."
"Itu karena aku masih trauma, Raka!" bentak Riana, emosinya semakin memuncak. "Kamu tahu aku pernah gagal dalam hubungan sebelumnya. Aku takut untuk membuka hatiku lagi, aku takut untuk terluka lagi. Aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka-lukaku, dan kamu seharusnya mengerti itu!"
"Aku tahu, Riana," jawab Raka, air matanya juga mulai mengalir. "Tapi aku tidak bisa terus menunggu. Aku butuh seseorang yang bisa mencintaiku sepenuhnya, tanpa syarat. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa aman dan nyaman dalam hubungan ini."
"Jadi, karena itu kamu memilih Kirana?" tanya Riana dengan nada sinis, air matanya semakin deras mengalir. "Karena dia tidak punya trauma masa lalu? Karena dia bisa langsung mencintaimu tanpa syarat? Apa kamu pikir itu adil bagiku?"
"Aku tidak bilang begitu, Riana," jawab Raka dengan nada putus asa. "Aku hanya bilang... aku hanya bilang aku butuh seseorang yang bisa membuatku bahagia. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan keraguan."
"Dan aku tidak bisa membuatmu bahagia?" tanya Riana dengan suara bergetar, air matanya semakin deras mengalir. "Apa selama ini aku hanya menjadi beban bagimu? Apa selama ini aku hanya membuatmu tidak bahagia?"
Raka terdiam sejenak, tidak berani menatap Riana. Ia tahu bahwa ia telah menyakiti hati Riana dengan sangat dalam, dan ia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
"Aku... aku tidak tahu," jawabnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Riana tertawa sinis mendengar jawaban Raka, air matanya semakin deras mengalir. "Kamu tidak tahu? Jadi, selama ini aku hanya menjadi pelarianmu saja? Aku hanya menjadi tempatmu untuk mengisi kekosongan hatimu? Apa kamu tidak pernah benar-benar mencintaiku?"
"Tidak, Riana," jawab Raka dengan nada memohon. "Kamu bukan pelarianku. Aku benar-benar mencintaimu. Kamu adalah wanita yang paling aku cintai di dunia ini."
"Cinta macam apa itu, Raka?" tanya Riana dengan nada sinis, air matanya semakin deras mengalir. "Cinta yang bisa mengkhianati dan menghancurkan hati seseorang? Cinta yang bisa membuat seseorang merasa tidak berharga dan tidak dicintai?"
Riana mendekat ke arah Raka, menatapnya dengan tatapan penuh amarah dan kekecewaan.
"Kamu mengkhianati ku dengan adikku sendiri, Raka!" bentak Riana, suaranya bergetar karena emosi. "Apa lagi sampai dia hamil anakmu!
lukaku semakin parah dan hidupku makin hancur! Mana janjimu dulu untuk sabar menungguku sampai lukaku sembuh? Mana janjimu untuk selalu ada di sampingku, apapun yang terjadi? Tapi apa? Belum sampai lukaku sembuh, malah kamu tambahi dengan luka yang begitu dalam, luka yang mungkin tidak akan pernah bisa sembuh!"
Riana mendorong Raka menjauh, air matanya semakin deras mengalir. Ia merasa sesak di dadanya, sulit untuk bernapas. Ia tidak bisa lagi menahan emosinya, ia merasa seperti akan meledak.
"Pergi kamu dari sini, Raka!" bentak Riana dengan suara bergetar. "Aku tidak ingin melihatmu lagi! Aku tidak ingin mendengar penjelasanmu lagi! Kamu sudah menghancurkan segalanya, dan aku tidak akan pernah bisa memaafkan mu!"
Raka menatap Riana dengan tatapan sedih dan menyesal. Ia tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dan ia tidak bisa memperbaikinya. Ia tahu bahwa ia telah kehilangan Riana selamanya.
"Aku mengerti, Riana," ucap Raka lirih. "Aku akan pergi. Tapi aku mohon, jangan membenciku. Aku tidak ingin kamu membenciku."
"Aku tidak membencimu, Raka," jawab Riana dengan suara bergetar. "Aku hanya... aku hanya merasa sangat kecewa. Aku merasa kamu telah mengkhianati kepercayaanku, dan itu sangat menyakitkan."
Raka mengangguk pelan, air matanya juga mulai mengalir. Ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, ia menoleh ke arah Riana dan berkata, "Aku akan selalu mencintaimu, Riana. Aku harap kamu bisa bahagia."
Setelah mengatakan itu, Raka keluar dari apartemen Riana, meninggalkan Riana yang menangis tersedu-sedu di tengah ruangan. Riana merasa hancur, marah, dan kecewa. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia merasa sendirian dan tak berdaya.
Riana berjalan menuju jendela dan menatap keluar. Pemandangan kota yang biasanya indah, kini terasa suram dan menakutkan. Ia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berujung.
Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri. Ia tahu bahwa ia harus kuat, ia harus menghadapi semua ini. Tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Ia merasa terlalu sakit dan bingung untuk berpikir jernih.
Riana memutuskan untuk menelepon sahabatnya, Sarah. Ia butuh seseorang untuk berbagi kesedihannya, seseorang yang bisa memberinya dukungan dan semangat. Ia berharap Sarah bisa membantunya melewati masa sulit ini.
Setelah beberapa dering, Sarah mengangkat telepon. "Riana? Ada apa? Kenapa kamu menelepon malam-malam begini?" tanya Sarah dengan nada khawatir.
Riana tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menangis. Sarah semakin khawatir dan bertanya, "Riana, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Ceritakan padaku."
Dengan suara bergetar, Riana menceritakan semua yang telah terjadi kepada Sarah. Ia menceritakan tentang pengkhianatan Raka dan Kirana, tentang kehamilan Kirana, dan tentang konfrontasinya dengan Raka.
Sarah mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Setelah Riana selesai bercerita, Sarah berkata, "Riana, aku sangat menyesal mendengar semua ini. Aku tahu ini pasti sangat berat bagimu. Tapi kamu harus kuat, Riana. Kamu tidak boleh menyerah."
"Aku tidak tahu harus bagaimana, Sarah," jawab Riana dengan suara bergetar. "Aku merasa hancur dan tak berdaya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."
"Aku mengerti, Riana," jawab Sarah. "Tapi kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Kamu bisa mengandalkanku."
"Terima kasih, Sarah," ucap Riana dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
"Sudah seharusnya aku membantumu, Riana," jawab Sarah. "Kita kan sahabat. Sekarang, coba tenangkan dirimu. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kamu harus memikirkan masa depanmu."
"Masa depan?" tanya Riana dengan nada sinis. "Masa depan macam apa yang bisa kuharapkan setelah semua ini terjadi?"
"Kamu masih muda, Riana," jawab Sarah. "Kamu masih punya banyak kesempatan untuk meraih kebahagiaan. Jangan biarkan satu kejadian ini menghancurkan seluruh hidupmu."
"Aku tahu, Sarah," jawab Riana. "Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk memulai kembali. Aku merasa terlalu sakit dan bingung untuk berpikir jernih."
"Aku akan membantumu, Riana," jawab Sarah. "Kita akan melewati ini bersama-sama. Sekarang, coba istirahat dulu. Besok kita bertemu dan membicarakan semuanya dengan lebih tenang."
"Baiklah, Sarah," jawab Riana. "Terima kasih atas segalanya."
"Sama-sama, Riana," jawab Sarah. "Istirahat yang cukup ya. Jangan lupa, aku selalu ada untukmu."
Setelah menutup telepon, Riana merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian, ia memiliki sahabat yang selalu siap membantunya. Ia memutuskan untuk mengikuti saran Sarah dan mencoba untuk beristirahat.
Riana merebahkan diri di ranjang, memejamkan matanya. Ia mencoba untuk melupakan semua yang telah terjadi, namun bayangan Raka dan Kirana terus berputar di benaknya. Akhirnya, ia terlelap dalam tidur yang penuh mimpi buruk, di mana ia terus dihantui oleh pengkhianatan dan kesedihan. Ia berharap, ketika ia bangun nanti, semua ini hanyalah mimpi buruk belaka. Namun, ia tahu jauh di lubuk hatinya, bahwa kenyataan pahit ini harus ia hadapi, dan ia harus mencari cara untuk bangkit kembali, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Ia harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk melanjutkan hidup, dan membuktikan bahwa ia bisa bahagia, meskipun tanpa Raka dan Kirana di sisinya. Ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh tantangan dan ketidakpastian, namun juga babak yang penuh dengan harapan dan kesempatan untuk menemukan jati dirinya yang sejati.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*