NovelToon NovelToon
Kepincut Musuh Bebuyutan

Kepincut Musuh Bebuyutan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Kisah cinta masa kecil / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.

" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.

Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.

Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.

Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Minta Restu

Sinar matahari pagi menembus tirai kamar, tepat mengenai wajah Max yang masih terlelap. Lelaki itu mendengus pelan, lalu memejamkan matanya rapat-rapat sambil mengerang kecil.

"Maxx…"

Suara itu terdengar samar dari balik pintu.

"Max, kamu udah bangun belumm?"

"Maxx!!"

Brak! Brak! Brak!

Pintu kamar digedor bertubi-tubi.

"Astagaa, papah! Iya, sebentar!" Max bangkit dengan wajah kusut, rambut acak-acakan seperti sarang burung. Ia baru saja berdiri ketika pintu kamar terbuka.

Clek!

Koh Tion masuk dengan langkah cepat, ekspresinya serius tapi nadanya tetap khas orang tua yang kepo.

"Max, tolong jelasin ke papah sekarang juga."

"Hah? Papah ngapain sih pagi-pagi udah heboh?" Max duduk di tepi kasur, menguap lebar.

"Itu cewek yang datang tadi malam siapa?" serbu Koh Tion tanpa basa-basi.

"Pacar kamu, ya? Kamu punya pacar gak cerita ke papah!"

"Bukan!" sahut Max cepat.

"Jangan bohong! Dia tadi malam minta restu loh sama papah!"

"Hah??!" Max refleks berdiri, wajahnya langsung berubah tegang. "Minta restu? Maksud papah siapa? Fany?"

Koh Tion mengangguk mantap. "Kan, ketahuan juga. Gak apa-apa, Max. Kalau pun iya, papah restuin kok. Anak itu kelihatannya baik, sopan, cantik lagi. Kamu memang pinter cari calon istri."

"Papah apaan sih…" Max menatap ayahnya tak percaya. “Fany itu bukan pacar aku, pah. Serius. Aku gak punya pacar. Kalau dia datang lagi bawa-bawa nama aku, jangan dipercaya!”

Koh Tion melipat tangan di dada, menatap Max penuh curiga. "Alah, jangan bohong. Udah sana, mandi! Nanti Fany ilfil lagi."

"Papah!" protes Max, tapi Koh Tion sudah keburu keluar kamar sambil bersenandung kecil, meninggalkan Max yang berdiri bengong.

Sunyi beberapa detik.

Max menatap kosong ke arah pintu, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.

"Ya Tuhan… kenapa hidup gue jadi ribet banget sih…"

Tangannya terulur mengacak rambut sendiri dengan frustasi.

"Fan, lo tuh kenapa harus sampai segininya…" gumamnya lirih, setengah kesal, setengah iba.

5 tahun yang lalu

daun-daun kering beterbangan di trotoar dekat kedai kopi kecil di pinggir jalan. Max duduk di luar, earphone menempel di telinga, matanya fokus ke laptop. Di meja, ada segelas kopi hitam yang sudah mulai dingin.

Suara langkah sepatu hak terdengar mendekat, cepat dan teratur.

"Excuse me, is this seat taken?"

Max mendongak sebentar. Di hadapannya berdiri seorang perempuan berambut panjang, mengenakan coat krem dan syal biru muda. Wajahnya cantik, tapi tatapannya tajam dan percaya diri.

"Yeah, it is."

"Really? I don’t see anyone else here."

"It’s taken by my peace and silence" jawab Max datar, lalu kembali menatap layar laptopnya.

Fany menaikkan satu alis. "Wow. You must be fun at parties."

Max tak menjawab, hanya menyesap kopinya pelan.

Fany tersenyum miring. "Alright, Mr. Grumpy. I’ll sit here anyway."

Tanpa menunggu izin, dia menarik kursi dan duduk.

"Suit yourself" gumam Max pendek.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Fany menatap Max yang tetap sibuk mengetik. Ia melirik layar laptopnya sekilas.

Fany tertawa kecil. "You know, you’re the first guy I’ve met in London who didn’t even ask for my name."

Max menutup laptopnya perlahan. "Because I didn’t plan to."

Fany mengerling. "Too bad. You’ll need it one day."

"Oh, really?"

"Yeah" Fany tersenyum penuh percaya diri. "Because I’m Fany Amaura. And I always get what I want."

Max menatapnya beberapa detik, lalu berdiri sambil mengambil laptopnya.

"Well, good luck with that, Fany."

"Where are you going?"

Max tak menjawab, langkahnya perhana menjauh.

Fany menatap punggung Max dengan senyum licik.

"See you around"

Fany masih duduk di kursinya sambil memandangi arah Max pergi. Tapi beberapa detik kemudian, dia berdiri dan berlari kecil menyusul.

"Hey! Wait!"

Max berhenti setengah malas. "What now?"

"You’re not from here, are you?"

Max mengerutkan kening. "What makes you think that?"

"Your accent" jawab Fany cepat. "It’s not British. More like… Asian? Indonesian, maybe?"

Max memutar tubuhnya sepenuhnya kali ini. "You’re Indonesian?"

Fany tersenyum lebar. "Aha! Jadi bener kamu orang Indonesia!"

Max mendesah pelan. "Ya terus kenapa?"

"Loh, sombong amat. Sesama orang Indonesia loh" ucap Fany sambil menatapnya geli.

Max menatap jam tangannya. "Aku lagi buru-buru."

Fany menyilangkan tangan di dada. "Kamu kuliah di mana sih?"

"UCL."

"Wah keren banget! Aku di King’s College. Sama-sama S1, ya?"

"Hmm."

"Hmm aja? Kamu emang kayak gini ya dari lahir? Dingin banget, sumpah" Fany menatapnya setengah kesal setengah kagum.

Max menarik napas panjang. "Kalau kamu udah selesai menebak-nebak hidup aku, aku duluan."

Fany menahan lengan Max sebentar. "Eh tunggu, aku belum tahu nama kamu."

"Gak perlu tahu."

"Tapi aku udah kasih tahu nama aku!"

"Ya, dan aku gak minta."

Fany terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil. "Kamu nyebelin sih… tapi menarik."

Max hanya berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

Fany memandangi punggungnya dengan senyum tipis. "Lihat aja, suatu hari kamu pasti ngobrol duluan sama aku.. dannn bisa jadi milik aku!"

.

.

.

"Bu Mita."

Mita menoleh ke belakang, langkahnya terhenti. "Kenapa, Pak?"

Herman berjalan cepat menyusul, lalu melangkah sejajar dengannya di koridor sekolah yang mulai lengang. "Nanti sore saya mau singgah ke rumah Bu Mita, ya. Mau ambil pesanan peyek ibu saya."

"Oh iya, ya sudah, Pak" jawab Mita ramah.

Mereka berjalan pelan menyusuri lorong, suara langkah sepatu beradu dengan lantai keramik yang mengilap.

"Oh iya, Bu Mita,” Herman kembali membuka percakapan, “malam ini sibuk nggak?"

Mita sempat berpikir sebentar sebelum menjawab, "Kayaknya enggak, sih. Kerjaan saya juga udah beres. Emangnya kenapa, Pak?"

"Saya mau ajak Bu Mita ke rumah. Ada acara syukuran—lahiran anak kakak saya. Sekalian mau ngundang orang tua Bu Mita juga nanti, kalau berkenan."

"Oh, alhamdulillah! Selamat ya, Pak, atas kelahiran ponakan barunya" ucap Mita dengan tulus.

Herman terkekeh kecil. "Haha, makasih ya, Bu Mita."

"Oh iya, saya udah tiga hari nggak lihat Bu Fatma. Biasanya beliau suka nyapa saya di ruang guru"

"Ibu saya lagi sibuk ngurus cucunya, sekalian ngatur acara malam ini" jawab Herman sambil tersenyum. "Jadi ambil cuti tiga hari."

"Oh, pantesan. Rempong juga ya kalau udah punya cucu."

"Hahaha, iya. Sampai ikut-ikutan nggak bisa tidur."

Mereka tertawa bersama, suasananya terasa ringan dan hangat. Begitu sampai di depan ruang guru, Mita menoleh sambil tersenyum. "Ya udah, Pak, saya duluan ya."

"Iya, Bu. Nanti sore saya ke rumah" balas Herman sebelum berbelok ke ruang guru laki-laki, sementara Mita masuk ke ruang guru perempuan.

Sekolah kembali tenang, hanya suara kipas angin tua yang berputar lambat di langit-langit.

Tringg!

📩 maxwel

Mit! Malam ini jangan lupa bantuin saya di toko!

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!