NovelToon NovelToon
Isekai To Zombie Game?!

Isekai To Zombie Game?!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Zombie / Fantasi Isekai / Game
Popularitas:615
Nilai: 5
Nama Author: Jaehan

Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saling Menopang

Part 16

Suara raungan semakin mendekat, menggema di lorong sempit seperti gemuruh neraka. Mirai dan Nero saling bertatapan sepersekian detik, cukup untuk tahu bahwa mereka harus lari sekarang atau tamat. Dengan napas masih belum teratur dan tubuh menggigil, keduanya berlari sekuat tenaga, menyusuri gang yang licin oleh genangan dan puing. Di belakang sana, suara langkah kaki terseret bercampur dentuman sepatu yang menghantam aspal berair terdengar mengerikan, seolah kematian itu sendiri sedang mengejar.

Udara makin berat, dan aroma busuk menempel di hidung seperti kutukan. Nero sempat menoleh ke belakang, melihat bayangan-bayangan membungkuk dengan gerakan liar di antara tirai hujan, jumlahnya tak lagi bisa dihitung. "Cepat, belok kanan!" serunya, menarik tangan Mirai yang mulai terseret. Mereka menerobos pintu besi setengah terbuka menuju gang yang lebih sempit, namun suara zombie tidak surut. Malah bertambah, seperti panggilan kematian yang merambat lewat suara dan bau darah. Pelarian mereka bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk mempertahankan kewarasan di tengah dunia yang hancur.

Insting Nero membawanya menerobos masuk ke dalam sebuah gedung kantoran yang tampak kosong dan setengah runtuh. Kursi-kursi berserakan, kaca pecah di mana-mana, dan debu menebal di setiap sudut. Hampir saja Mirai tergelincir di lantai licin berlumur darah kering.

Reflek Nero menariknya ke dalam ruang lain, namun pintu besi di belakang mereka sudah terlepas dari engselnya, tak bisa ditutup. Suara dentingan besi menggemakan kepanikan baru. Mirai mencoba mendorong lemari arsip ke depan pintu, tapi terlalu berat. Sementara itu, raungan para zombie semakin dekat, mereka mulai merangsek masuk dari lorong luar.

Tanpa waktu untuk berpikir panjang, Nero menarik Mirai menuju tangga darurat di ujung lorong. Lalu berlari naik melewati lantai demi lantai yang gelap dan penuh reruntuhan. Di atap, angin kencang menerpa wajah mereka. Nero menatap ke seberang, atap gedung lain yang berjarak sekitar tiga meter. "Gak ada pilihan," gumamnya, sebelum berlari dan melompat. Kini tubuhnya telah mendarat dengan berguling di sisi lain, lalu memberi isyarat pada Mirai.

Gadis itu tertegun sejenak. Panik dan takut membaur. Namun di seberang sana Nero meyakinkan dengan ekspresinya bahwa ia bisa melakukannya. Jantungnya berdebar, ia pun mengambil ancang-ancang, berlari dan meloncat. Tumitnya sempat terpeleset di bibir atap, tapi tangan Nero berhasil meraih pergelangannya tepat waktu. Suara para zombie kini menggema dari bawah seperti lolongan dari neraka.

Pelarian pun berlanjut, mereka melompati tiga atap gedung lainnya, lebih rendah, lebih rapuh, dan lebih membahayakan. Mirai mulai terengah, lututnya goyah, sementara Nero tampak limbung karena luka robek di lengannya akibat jatuh melindungi Mirai tadi terasa semakin perih.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah tua bertingkat dua yang tampak kokoh meski catnya mengelupas dan jendelanya pecah. Mereka masuk melalui jendela yang terbuka, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa jam terakhir, suasana benar-benar sunyi. Hanya suara napas mereka dan degup jantung yang memenuhi udara. Rumah itu mungkin tidak sempurna, tapi untuk sekarang, ini cukup aman.

Sebelum memutuskan untuk berdiam, ada baiknya memeriksa rumah ini dulu.  Sebab Nero tahu, tempat aman sekalipun bisa jadi jebakan jika tidak diperiksa lebih dulu.

Pemuda itu memberi tanda pada Mirai untuk menunggu dalam kamar milik seorang anak perempuan yang terlihat dari dekorasi ruangan bernuansa pink dan penuh boneka. Sayangnya semuanya sudah tampak kusam. Setelah Mirai mengangguk Nero beranjak pergi, mengendap memeriksa setiap sudut rumah tua itu bersama katananya.

Lorong-lorong sempit, tangga berderit, dan ruangan penuh debu disisir dalam diam. Tak ada suara, tak ada gerakan. Hanya udara pengap dan aroma lembap dari masa lalu. Beberapa jendela sudah pecah, sebagian lainnya tertutup rapat. Setelah memastikan bahwa tidak ada zombie di dalam maupun di sekitar rumah, ia kembali ke ruangan tempat Mirai menunggu. Langkahnya sedikit terhuyung, dan lengan jaket bagian kirinya sudah lengket oleh darah yang terus mengalir.

Mirai bangkit dengan panik tapi segera menenangkan diri. Ia menyuruh Nero duduk dan membuka jaketnya. Luka itu tampak dalam dan memanjang, cukup untuk membuat orang biasa pingsan. Tangannya sedikit gemetar saat membuka perban darurat, alkohol, dan benang jahit dari tas. Awalnya keraguan mulai menggerogoti. Ia bukan siapa-siapa, bukan perawat apalagi dokter. Namun saat matanya menatap luka itu lebih lama, sekelebat kemampuan asing muncul dalam kepala. Gambar tangan yang menjahit luka, aroma alkohol, tekanan benang, semuanya muncul begitu saja, seperti pemahaman orang lain yang tiba-tiba menjadi miliknya.

Nero menatap diam, tak berkata apa-apa saat jarum itu mulai menusuk kulitnya. Bukan karena tidak percaya, ia memang tahu bahwa Mirai mendapat skill job dokter. Tapi baru kali ini ia melihat sendiri bagaimana skill itu bekerja. Gerakan Mirai begitu cekatan, seperti bukan miliknya sendiri. Namun wajah gadis itu tetap cemas, penuh konsentrasi, seperti seseorang yang sedang bertarung dengan instruksi di kepalanya. “Ternyata ... kayak gitu ya kalau skill kamu bekerja,” gumamnya pelan, separuh bicara pada diri sendiri.

Mirai menoleh sebentar, lalu kembali fokus. “Aku juga baru tau. Rasanya kayak ... tanganku digerakin sama pengalaman yang bukan berasal dari hidupku. Aneh banget rasanya. Jujur aku gak biasa liat yang ginian. Darah dan daging yang robek.” Suaranya lirih bergetar tanda kebingungan yang terbalut takjub oleh tindakannya sendiri. Luka itu pun berhasil dijahit rapi dan diperban.

“Makasih. Aku beruntung punya kamu sekarang,” bisik Nero.

Pipi Mirai merona. “Aku lebih beruntung ada kamu yang ngelindungin aku.”

Gadis itu tertunduk setelah melihat senyum lelah Nero. “Kita ganti baju dulu. Aku cari ruang lain buat ganti, nanti balik lagi.” Mirai hanya mengangguk seolah tenaganya telah habis. Tanpa kata keduanya seolah sepakat untuk beristirahat di rumah ini.

Malam turun tanpa suara. Langit di luar tampak gelap pekat, tak berbintang, seolah dunia ini benar-benar telah dibuang dari rahmat langit. Angin malam menyelinap dari sela-sela jendela pecah, membuat suhu di ruangan itu turun perlahan. Mirai duduk bersandar di dinding, lututnya ditekuk, lengan memeluk kakinya sendiri. Sementara Nero duduk agak jauh, dengan tubuh masih setengah tertutup perban, memejamkan mata sebentar.

Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama. Hanya suara angin dan dengung samar dari dunia luar. Tapi keheningan itu bukan kedamaian, melainkan kosong yang mencekam.

“Ini gila,” desis Mirai lirih memecah sunyi. “Dipaksa masuk ke dunia ini tanpa tahu untuk apa, bagaimana caranya, dan berapa lama.”

Nero membuka matanya perlahan. Menoleh, tapi tidak langsung menjawab.

“Kamu liat tadi. Baru zombie yang berukuran segede itu kita udah kewalahan. Aku bahkan pernah liat yang setinggi gedung tiga lantai. Ka-kalo kita sampe harus ngadepin yang kek gitu gimana? Gak kebayang sama aku, Viiiin ...," napasnya agak berantakan dan terdengar putus asa. "Ini gak mudah. Kita beneran bertaruh nyawa."

Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan tajam.

“Kamu tau, aku nggak pernah siap untuk hal semacam ini. Bahkan saat kamu bilang aku dapat skill dokter, aku sempat ngerasa itu keren banget. Tapi waktu darahmu keluar, tanganku gemetar pegang jarum. Aku sadar, aku ini penakut. Cuma manusia biasa yang nggak ngerti dunia ini sama sekali. Satu hal yang aku sesali. Aku malas membaca deskripsi hero, cerita dan semua detail dari game ini. Bahkan aku men-*skip *tutorialnya.” Air matanya jatuh pelan. Tak menangis keras, hanya sesenggukan kecil yang terpendam. Tangis yang disimpan terlalu lama, baru pecah di tempat aman sementara.

Nero menarik napas pelan, sedetik kemudian perlahan berdiri, berjalan mendekat dan duduk di sebelah Mirai tanpa berkata apa-apa. Lalu mengangkat satu tangan, lengan yang tak terluka, dan melingkarkannya ke bahu Mirai. Tubuh gadis itu sedikit tersentak, tapi tidak menolak.

“Gak cuma kamu yang ngerasa gitu,” bisik Nero akhirnya. “Aku juga sebenarnya gak siap. Awalnya aku juga sombong, yakin bisa menaklukkan dunia ini. Tapi nyatanya, aku sempat gemetar waktu zombie itu gak mati-mati. Kalo bukan karena kamu, ada kamu, aku cuma manusia yang kebingungan mau ngapain.”

Mirai tak menjawab, hanya menyembunyikan wajahnya yang basah di antara lutut. Bahunya sedikit bergetar namun bisa merasakan kehangatan lengan Nero.

“Tapi kamu hebat kok. Dalam kekalutan masih tetap bisa menjahit lukaku. Kamu juga ikut bertarung. Dan kamu tetap ada di sini. Di mana bagian pengecutnya?” lanjutnya. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan yang lembut.

“Gak Viiiin ... aku beneran takut, takut mati … mengenaskan.”

“Aku juga,” katanya jujur. “Tiap kali kita muter arah karena zombie. Tiap kali suara kaki mendekat. Bahkan waktu harus lompat di antara gedung. Aku takut jatuh. Takut kamu jatuh.”

Mirai mendongak perlahan, menatap wajah Nero dalam remang cahaya dari lampu petromax yang mereka bawa.

“Tapi selama kamu kuat, aku bisa bertahan. Kalo kamu jatuh,  aku yang akan narik kamu untuk bangkit.”

Rangkulan itu semakin erat, bukan untuk romantisme, tapi untuk menguatkan. Untuk menyambung dua hati yang sedang sama-sama rapuh, agar tidak hancur sepenuhnya.

Di luar, suara zombie belum terdengar. Dunia mungkin masih kejam, tapi malam itu, di sudut rumah tua yang rapuh, dua jiwa sedang saling menopang dalam diam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!