Wilona Anastasia adalah seorang gadis yang dibesarkan di desa. namun Wilona memiliki otak yang sangat jenius. ia memenangkan beberapa olimpiade dan mendapatkan medali emas sedari SMP. dia berniat untuk menjadi seorang dokter yang sukses agar bisa memberikan pengobatan secara gratis di desa tempat ia tinggal. Lastri adalah orang tua Wilona lebih tepatnya adalah orang tua angkat karena Lastri mengadopsi Wilona setelah Putri satu-satunya meninggal karena sakit. namun suatu hari ada satu keluarga yang mengatakan jika mereka sudah dari kecil kehilangan keponakan mereka, yang mana kakak Wijaya tinggal cukup lama di desa itu hingga meninggal. dan ternyata yang mereka cari adalah Wilona..
Wilona pun dibawa ke kota namun ternyata Wilona hanya dimanfaatkan agar keluarga tersebut dapat menguasai harta peninggalan sang kakek Wilona yang diwariskan hanya kepada Wilona...
mampukah Wilona menemukan kebahagiaan dan mampukah ia mempertahankan kekayaan sang kakek dari keluarga kandungnya sendiri...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Wilona
Malam itu udara terasa dingin menusuk. Langit di atas SMU Alexandria tampak berawan, sesekali angin berembus membawa aroma hujan yang belum sempat turun.
Wilona duduk di salah satu bangku taman depan sekolah, memeluk lututnya sambil menatap langit kelam. Sekolah sudah lama sepi — hanya cahaya dari lampu taman yang masih menyala redup, menciptakan bayangan panjang di bawah pepohonan flamboyan.
Bibir Wilona bergerak pelan, seolah berbisik sesuatu pada bintang yang mulai muncul satu per satu.
"Kalau kalian benar-benar dengar, tolong bilang ke Ibu Lestari… juga Ibu Lastri… aku baik-baik aja di sini. Aku kuat, kok."
Ia menarik napas panjang. Untuk sesaat, wajah lembut dua sosok itu melintas di kepalanya, menenangkan sekaligus menyakitkan.
Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah belakang.
“Sendirian aja, malam-malam gini?”
Wilona menoleh. Seorang cowok dengan seragam sekolah yang jaketnya terbuka berdiri sambil menenteng tas di bahu. Rambutnya agak berantakan, tapi gaya bicaranya santai, sok akrab.
“Gue duduk sini ya?” katanya tanpa nunggu jawaban, langsung duduk di sampingnya.
Wilona cuma melirik sekilas. “Kalau lo udah duduk, buat apa nanya?”
Cowok itu tertawa kecil. “Wah, galak juga lo. Nama gue Nara.”
“Dan lo pengen gue jawab apa?” Wilona balik bertanya datar.
“Biasanya sih, ‘Hai Nara, gue Wilona,’ gitu.”
Wilona cuma menghela napas. “Ya udah, anggap aja gue udah ngomong.”
Nara tersenyum miring. “Heh, gue udah sering denger nama lo, tau? Anak baru yang katanya cantik banget itu, kan? dari desa mana gitu…”
Wilona tetap diam. Matanya kembali ke langit, mencari bintang di antara awan.
“Gue cuma pengen tau aja,” lanjut Nara, “desa lo tuh di mana sih? Kayaknya lo bukan orang kota banget deh. Cara lo ngomong, gaya lo, beda.”
Wilona masih menatap langit. “Mungkin karena gue nggak tertarik buat nyamain diri sama orang kota.”
Nara tertawa lagi, tapi kali ini suaranya agak sumbang. “Lo tahu nggak, kalo lo ngomong kayak gitu malah makin menarik.”
Wilona tidak merespons. Ia hanya mengeratkan tangannya di pangkuan, mencoba tetap tenang.
Namun Nara tiba-tiba mendekat sedikit. “Lo tau, kalau lo diem gitu malah bikin penasaran. Cantik, misterius, dan… sendirian.”
Tangannya mulai bergerak pelan ke bahu Wilona. Tapi sebelum sempat menyentuh, dalam sepersekian detik, Wilona berbalik cepat dan memelintir pergelangan tangan cowok itu kuat-kuat.
“AAARGH!!”
Nara menjerit kaget. Tubuhnya hampir jatuh dari bangku, tapi Wilona masih menahan pergelangan tangannya, matanya dingin dan tajam.
“Gue kasih lo waktu tiga detik buat cabut sebelum gue bikin tangan lo patah beneran.”
“Lo gila ya?! Sakit tau!”
“Dua detik.”
“Gue cuma bercanda!”
“Satu.”
Bugh!
Wilona mendorongnya keras hingga Nara jatuh ke tanah. Cowok itu meringis, berusaha berdiri, tapi Wilona berdiri lebih dulu dan menendang kakinya dengan keras dan terukur.
Suara retakan kecil terdengar, dan Nara terjatuh lagi sambil menahan teriak.
“Gue udah bilang jangan sentuh gue,” kata Wilona pelan tapi bergetar. “Kalo lo nggak bisa ngerti kata-kata, ya nikmatin akibatnya.”
Ia menatap Nara sekilas, cukup untuk memastikan cowok itu masih sadar — lalu berjalan pergi dengan langkah cepat.
Keesokan paginya, berita itu menyebar secepat kilat.
...****************...
“Lo denger nggak, si Nara masuk rumah sakit.”
“Katanya kakinya retak. Gara-gara Wilona.”
“Gila, tuh cewek bisa segalak itu, ya?”
Bisikan itu menggema di setiap sudut sekolah. Tania yang mendengarnya cuma menunduk pura-pura kaget, tapi sudut bibirnya tersungging puas.
“Perfect,” gumamnya pelan sambil mengaduk jus jeruk di kantin.
Celine yang duduk di depannya menatapnya waswas. “Tania, lo yakin ini nggak bakal kebalik ke lo? Kalo ketauan lo yang ngatur—”
“Gue cuma nyuruh Nara deketin Wilona, bukan nyuruh dia bego sampe dilukain. Jadi kalo ada yang salah, itu salah dia sendiri.”
“Lo jahat banget, Tan.”
Tania menatapnya tajam. “Lo pikir Wilona itu malaikat? Dia udah bikin semua orang lupa siapa queen di sekolah ini. Gue cuma ngambil balik yang jadi milik gue.”
...----------------...
Sementara itu di rumah sakit, malam ini suasana kamar rawat Nara cukup tegang. Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan dan nada bicara menusuk, duduk di sisi ranjang dengan wajah marah.
“Anak perempuan dari keluarga Kusuma berani ngelakuin ini ke anakku?!” suaranya meninggi.
Di seberang, Sinta duduk tenang dengan senyum diplomatis. “Kami sangat menyesal atas kejadian ini, Bu Rani. Tapi mungkin ini cuma salah paham antara anak-anak remaja. Wilona nggak sengaja—”
“Nggak sengaja?” potong Rani tajam. “Kaki anak saya retak, Bu Sinta! Mau dibilang apa lagi kalau bukan penyerangan?!”
Sinta menatapnya lembut, tapi matanya berkilat. “Kami tentu akan bertanggung jawab penuh atas biaya pengobatan. Tapi saya mohon, jangan dulu bawa masalah ini ke media atau pihak sekolah. Reputasi kedua belah pihak bisa rusak.”
Rani mendengus. “Saya nggak peduli reputasi. Saya cuma mau keadilan buat anak saya!”
Tania yang ikut datang berdiri di sudut ruangan, menatap Nara pura-pura khawatir.
“Kasihan banget lo, Nar. Gue nggak nyangka Wilona sekejam itu…”
Nara meringis, suaranya serak. “Dia gila, Tan. Gue cuma ngajak ngobrol, tau-tau dia nyerang. Gue sumpah…”
Sinta menepuk lembut bahu Tania. “Sudah, Tan. Biarkan tanta Rani yang urus. Tapi ingat, ini kesempatan kita buat nunjukin ke semua orang siapa Wilona sebenarnya.”
Tania menunduk, menutupi senyum puasnya. “Siap, Ma.”
Malamnya, di rumah keluarga Kusuma, suasana berubah tegang.
Wijaya duduk di ruang kerja, menatap laporan dari pihak sekolah.
“Wilona bikin masalah?”
Sinta menatapnya dengan ekspresi dingin. “Tenang. Masalah ini justru bisa jadi keuntungan buat kita.”
“Keuntungan? Anak itu hampir dilaporkan polisi!”
“Justru itu, mas. Kalau sampai kasus ini diangkat, semua orang bakal lihat sisi ‘gelap’ Wilona. Bayangin, cucu tunggal pewaris Kusuma, tapi berperilaku kayak preman. Apa kata publik?”
Wijaya terdiam. Ia tahu istrinya licik, tapi cara berpikirnya selalu tajam. “Kamu mau jatuhin reputasinya dulu, baru ambil alih nama baik keluarga?”
Sinta tersenyum tipis. “Exactly.”
Di kamar, Wilona duduk termenung di tepi ranjang. Ia sudah dipanggil kepala sekolah pagi tadi dan disuruh menulis surat pernyataan.
Ia tahu masalah ini bukan kebetulan. Semuanya terlalu rapi.
“Nara datang pas gue sendirian. Tania tahu gue sering duduk di taman. Lalu tiba-tiba muncul gosip, langsung nyebar.”
Wilona menatap layar laptopnya. Ia membuka berkas data yang masih ia simpan dari perusahaan Kusuma.
Salah satu file baru muncul otomatis malam itu, entah siapa yang menaruhnya.
Subjek: Wilona Anastasia — Target Pengawasan Tahap 2
Status: Pemantauan sosial dan perilaku publik dimulai. Tujuan: menurunkan simpati dan legitimasi publik terhadap pewaris sah.
Wilona memejamkan mata.
“Jadi ini bukan cuma tentang warisan. Mereka mau hancurin gue pelan-pelan.”
Tiba-tiba layar laptopnya berkedip, dan sebuah pesan muncul anonim:
“Kalau lo pengen tau siapa dalang sebenarnya, datang ke taman belakang sekolah jam 9 malam.”
Wilona menatap jam di meja. 8:47.
Ia berdiri, mengambil jaket, dan bergegas keluar.
Taman sekolah tampak gelap hanya diterangi lampu jalan. Wilona berjalan pelan, matanya awas.
“Kamu datang juga,” suara itu muncul dari balik pohon.
Galen melangkah keluar.
“Kamu yang kirim pesan itu?” tanya Wilona langsung.
Galen mengangguk. “Aku tau tentang insiden Nara. Dan gue juga tau siapa yang nyuruh dia.”
“Siapa?”
“Tania.”
Wilona menghela napas. “Aku udah duga. Tapi kenapa kamu bantu aku?”
Galen menatapnya lama. “Karena aku benci orang-orang yang pake kekuasaan buat nindas yang lemah. Dan karena aku tau kamu bukan orang jahat. bukannya Kamu adalah calon istri Aku itu artinya aku harus menjaga kamu dari hal-hal buruk Karena itu adalah pesan dari kakek.”
Wilona tersenyum tipis. “Kamu nggak kenal aku sepenuhnya, Galen. aku bukan korban, aku pemain.”
“Ya, tapi pemain juga bisa dijatuhin kalo nggak punya tim.”
Wilona menatapnya dalam. “Dan kamu mau jadi tim aku?”
“Aku nggak janji bisa jagain kamu,” jawab Galen, “tapi aku bisa bantu kamu ngelawan balik.”
Wilona menatap langit. Awan mulai bergerak cepat, dan tetesan hujan pertama jatuh ke pipinya.
“Aku udah capek dibohongin, Galen. Semua orang di rumah itu cuma nunggu waktu buat ngeliat aku gagal.”
“Kamu nggak sendirian sekarang,” kata Galen pelan.
Untuk pertama kalinya, Wilona tidak menolak bantuan. Ia hanya berdiri diam di bawah hujan, membiarkan air membasahi wajahnya yang penuh luka, tapi juga menyimpan tekad baru.
......................
Keesokan harinya, berita di papan pengumuman sekolah menampilkan satu
pengumuman baru:
Pihak sekolah memutuskan bahwa Wilona Anastasia Kusuma tidak bersalah dalam insiden dengan Nara, berdasarkan bukti CCTV dan kesaksian saksi mata.
Kelas gempar.
Tania membeku.
“Apa?” serunya. “Itu nggak mungkin!”
Celine berbisik panik. “Gue denger katanya Galen yang bawa rekaman CCTV itu langsung ke kepala sekolah.”
Tania menggigit bibir. “Galen… dia berpihak ke Wilona?!”
Dari ujung koridor, Wilona lewat dengan langkah santai. Tatapannya dingin tapi senyumnya menantang.
Saat mereka berpapasan, Wilona berhenti sejenak di depan Tania.
“Next time, pastiin lo mainnya lebih bersih,” bisiknya pelan. “Gue nggak segampang itu dijatuhin.”
Lalu ia berlalu, meninggalkan Tania yang mengepal tangan sekuat mungkin, matanya berkaca-kaca karena marah dan malu.
Malam itu, di kamar Wilona, suara hujan turun deras di luar jendela. Ia menatap laptopnya — di layar, kode programnya masih berjalan. Ia sedang menembus sistem pesan internal milik Sinta.
Setelah beberapa menit, sebuah folder baru terbuka:
Project Helios — Operasi Penyingkiran Pewaris.
Wilona menarik napas panjang. “Akhirnya aku tau permainan ini sampai di mana.”
Namun sebelum ia sempat menyalin file itu, layar tiba-tiba mati.
Tulisan besar muncul di tengah layar:
"Lo pikir lo hebat bisa retas pesan internal milik nyokap gue, gue akan cari tahu siapa lo?”
Matanya melebar. Ia tahu siapa yang ada di balik pesan itu — satu-satunya orang yang cukup pintar untuk menembus sistemnya sendiri atau iya membayar seorang hacker.
Tania.