Ratu Maharani, gadis 17 tahun yang terkenal bandel di sekolahnya, dengan keempat sahabatnya menghabiskan waktu bolos sekolah dengan bermain "Truth or Dare" di sebuah kafe. Saat giliran Ratu, ia memilih Dare sebuah ide jahil muncul dari salah satu sahabatnya membuat Ratu mau tidak mau harus melakukan tantangan tersebut.
Mau tahu kisah Ratu selanjutnya? langsung baca aja ya kak!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Kalau begitu, saya setuju,” jawab Mama Nadia dengan cepat dan tersenyum penuh arti, matanya menatap satu per satu anggota keluarga yang hadir.
Papa Narendra mengangguk pelan, lalu melirik ke arah Daddy Anggara.
“Ya, itu ide yang bagus. Bagaimana menurutmu, Anggara?” tanya Papa Narendra.
Daddy Anggara menatap sejenak ke arah semua orang, kemudian berhenti pada tatapan tajam Ratu yang mengarah padanya. Senyum singkat terukir di bibirnya. “Kalau itu yang terbaik untuk semuanya, saya juga setuju,” jawabnya dengan suara hangat.
Ratu mengerutkan dahi, lalu menjatuhkan bahunya dengan lemas.
“Lah, ini gila! Nikah? Sekolah aku aja belum kelar, masa harus buru-buru? Aku gak mau!” suaranya sedikit meninggi, menatap tajam ke arah semua yang duduk di sekeliling meja.
“Dad, aku gak setuju sama sekali! Aku gak mungkin nikah di saat masih sekolah Dad!” tegas Ratu sambil menyenggol pelan tangan Nathan, berharap ia mendukung.
Nathan yang dari tadi menahan senyum, menatap Ratu dengan lembut, namun ada sedikit rasa kecewa dengan penolakan Ratu, tapi Nathan percaya ia bisa meyakinkan Ratu dan ia sangat paham akan ke khawatiran Ratu. “Ratu, aku juga setuju dengan ide Eyang untuk kita nikah. Ini yang terbaik buat kita.”
Ratu spontan mencubit pinggang Nathan dengan kasar. “Lo gila? Gue gak mau nikah muda, masa sekolah gue jadi berantakan gara-gara nikah? Lo harus dukung gue, bukan malah setuju, Nathan!" bisik Ratu pelan di samping Nathan.
Nathan menghela napas, tetap tenang.
“Ratu aku ngerti kok perasaan kamu. Tapi ini bukan cuma soal nikah. Aku mau jadi orang yang selalu ada buat kamu.” balas Nathan dengan suara pelan juga.
Ratu menatap Nathan dengan mata membara.
“Lo cuma ngomong doang! Lo gak ngerti gimana rasanya nikah di umur gue yang belum matang! Gue mau bebas, Nathan! Bebas dari semua ini!” lanjut Ratu.
Suasana menjadi sedikit tegang Mama Nadia, Daddy Anggara, Papa Narendra dan Eyang Rita menatap gemas dan penasaran sama pasangan di hadapannya yang kini sedang berdebat dalam bisikan. Dan akhirnya Ratu menghela nafas berat.
"Dad, Eyang, Tante, Om Ratu perlu bicara dengan Nathan berdua, jadi kami keluar sebentar ya," pamit Ratu sopan dengan wajahnya yang datar.
Semua orang saling pandang lalu mengangguk pelan, mereka tahu Ratu pasti butuh waktu dengan usulan dadakan ini.
Setelah mendapatkan persetujuan dari semuanya Ratu bangkit lalu melangkah pasti keluar dari dalam ruangan tersebut. Di susul Nathan.
"Aku permisi dulu ya semua," pamit Nathan dengan sopan, lalu gegas mengejar langkah Ratu.
Sampai mereka di taman yang tak jauh dari restoran ratu duduk di atas kursi kayu itu sambil menatap bintang di langit. Nathan ikut duduk di sampingnya.
"Nathan, aku ingin kau bantu aku untuk menggagalkan pernikahan ini, aku tidak mau menikah muda dan atur-atur Nathan!"
Nathan tetap tenang, suaranya pelan tapi penuh keyakinan.
“Aku nggak mau ngatur kamu, Ratu. Aku cuma mau kita jalan bareng, saling jaga dan dukung. Aku tahu kamu kuat.”
Ratu mengalihkan pandangan, napasnya memburu.
“Tapi nikah muda itu beban, Nathan. Beban yang gue gak siap tanggung sekarang. Gue pengen sekolah dengan tenang, punya masa depan yang gue pilih sendiri.”
Nathan mengangguk, matanya tak lepas dari Ratu.
“Aku ngerti, dan aku gak mau kamu kehilangan masa depanmu. Justru itu, aku janji akan selalu ada supaya kamu gak sendirian. Kita hadapi semua ini bareng-bareng.”
Ratu menatap Nathan lama, hatinya bergejolak, antara terima dan tidak, ratu yang mencintai kebebasan tidak ingin terikat, tapi ia juga mulai merasakan perasaan tak rela jika Nathan bersama cewek lain, ia mulai takut kehilangan Nathan di sisinya, jujur ia merasa nyaman di sisi Nathan.
“Tapi jangan harap gue bakal gampang nurut begitu aja!” balas Ratu.
Nathan tersenyum tipis, penuh kesabaran.
“Aku juga gak minta kamu nurut sekarang. Aku cuma minta kamu percaya sama aku. Percaya kalau aku mau yang terbaik buat kita.”
Ratu akhirnya menghela napas, sedikit melunak.
“Nathan, gue butuh waktu. Jangan buru-buru.” pintanya dengan suara sedikit melembut.
Nathan meraih tangan Ratu dengan hati-hati lalu menggenggam lembut penuh kasih sayang.
“Aku nggak mau kamu merasa terpaksa. Aku cuma ingin kita bisa bicara, bukan cuma soal nikah, tapi tentang apa yang kamu rasakan.”
Ratu menghela napas panjang, suaranya serak.
“Aku nggak siap, Nathan. Aku takut kehilangan diriku sendiri.”
Nathan mengangguk, menatap mata Ratu dengan penuh pengertian. “Aku paham ketakutanmu. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah buat kamu kehilangan siapa dirimu. Aku mau kita jalani semuanya bersama, pelan-pelan.”
“Kenapa kau bisa sabar banget sama gue?” tanya Ratu penasaran.
“Karena aku cinta kamu, Ratu. Aku mau kamu tahu, aku akan selalu ada, apapun yang terjadi.” akui Nathan dengan senyum hangatnya.
"Tapi kenapa gue, bukannya banyak wanita yang mengejar lo?" tanya Ratu memastikan, tapi dalam hati ia merasa sangat senang ternyata Nathan mencintainya.
"Tapi aku hanya menginginkan diri aku juga enggak tahu, kenapa aku bisa jatuh cinta sama cewek bar-bar seperti kamu?" balas Nathan dengan sedikit candaan.
"Dah tahu gue bar-bar ngapain suka!" Protes Ratu dengan wajah cemberut, membuat Nathan sangat gemas melihat wajah Ratu yang menggembungkan pipinya, ingin rasanya Nathan mencubitnya lagi.
"Karena aku suka cewek bar-bar tapi cantik dan kuat, seperti kamu ini, kamu sangat berbeda dari wanita-wanita kebanyakan Ratu, aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat ...."
"Sudah jangan dilanjutkan lagi," sambar Ratu dengan cepat menutup bibir Nathan dengan jari telunjuknya.
Nathan dengan gemas mengigit pelan jari telunjuk Ratu.
"Aw! Sakit Nathan!" kesal Ratu memukul pelan dada Nathan. Nathan hanya terkekeh pelan melihat sikap Ratu yang menurutnya sangat menggemaskan.
"Ratu aku boleh minta sesuatu?" tanya nathan hati-hati.
"Apa jangan aneh-aneh deh!" jawab Ratu sedikit waspada.
“Nggak aneh kok. Aku cuma mau kamu kalau ngobrol sama aku, jangan pakai ‘lo, gue’, tapi ‘kamu, aku’ ya,” pinta Nathan lembut.
Ratu mengangguk, “Oke, aku coba!”
"Terima kasih sudah mau mencobanya," balas Nathan dengan senyum hangatnya.
Ratu akhirnya mengumpulkan keberaniannya, menyandarkan kepalanya di bahu Nathan, membiarkan dirinya merasakan kehangatan yang selama ini ia butuhkan.
Nathan tersenyum tipis, melihat perubahan sikap Ratu, ia tahu Ratu sebenarnya wanita yang lembut dan penyayang. Nathan mengusap lembut rambut Ratu, suaranya penuh keyakinan.
“Aku tahu ini bukan keputusan mudah, dan aku nggak mau memaksa kamu. Aku cuma ingin kamu tahu, aku siap menunggu sampai kamu benar-benar siap.”
Ratu menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku takut, Nathan. Takut kalau nanti aku menyesal, takut kalau aku kehilangan masa muda yang seharusnya aku nikmati.”
Nathan mengangguk, mengerti betul perasaan itu.
“Tapi aku percaya, selama kita saling percaya dan saling mendukung, kita bisa jalani semuanya. Aku nggak mau kamu merasa sendirian.”
Ratu menatap Nathan, matanya mulai cerah kembali. “Kalau kamu benar-benar sabar dan pengertian kayak gini, mungkin aku bisa coba percaya.”
Nathan tersenyum hangat. “Itu saja sudah cukup buat aku. Kita jalani pelan-pelan, tanpa tekanan.”
"Sebaiknya kita kembali, mereka pasti khawatir kita sama kita," ajak Nathan lembut, Ratu menarik diri dari Nathan lalu mengangguk pelan.
Ratu dan Nathan berjalan bersama memasuki restoran, langkah mereka seirama. Semua mata tertuju pada mereka, dan senyum lega perlahan merekah di wajah Eyang Rita, Mama Nadia, Daddy Anggara dan juga Papa Narendra.
Mama Nadia, yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan kebahagiaannya, segera mendekat dan bertanya dengan suara lembut.
“Bagaimana, sayang? Kamu mau kan, menikah sama Nathan?”
Ratu menarik napas pelan, menatap Nathan sejenak, lalu mengangguk pelan. “Iya, Tan. Aku mau.”