NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pedang dan lidah

“Untuk apa takut terhadap bidak yang sedang dipermainkan oleh ayah?”

Suara Putra Mahkota terdengar rendah, pelan, seolah setiap kata lebih dulu ditimbang sebelum dilepaskan. Tatapannya tidak jatuh pada Veyrund, melainkan jauh ke permukaan danau yang diselimuti kabut pucat.

Veyrund menelan ludah. Kata-kata itu membuat tubuhnya semakin gemetar. “Tapi, Yang Mulia … Draevenhart bukan bidak biasa. Dia bergerak seakan papan ini adalah miliknya. Bagaimana jika ia mulai menaruh curiga padaku—”

Putra Mahkota menoleh perlahan. Senyum tipis terlukis di bibirnya, dingin dan tak membawa arti selain ejekan.

“Draevenhart hanya pedang, Veyrund. Pedang yang tajam, tapi pedang tetap tak punya kehendak. Ayah memegang gagangnya … atau setidaknya, ia percaya begitu. Kau terlalu banyak memberi nilai pada sesuatu yang hanya tahu menebas.”

Ia melangkah maju setapak, suaranya tetap rendah namun terasa makin menusuk.

“Kaelric sudah mati. Begitupun dengan Valdrosh. Dan Draevenhart mengira itu kebenaran. Padahal ia hanya menelan potongan cerita yang sengaja kita biarkan berserakan. Bukti yang dilempar di hadapannya—map itu bukan ancaman bagi kita, melainkan umpan. Kau tahu artinya? Ia sedang berjalan di jalur yang kita bentangkan.”

Veyrund menunduk dalam, suaranya pecah. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia? Katakan saja. Saya akan segera melakukannya.”

Putra Mahkota mengangkat dagunya sedikit, menatap lurus ke arah Veyrund.

“Jangan melawan Draevenhart. Biarkan dia terus menggali. Biarkan dia membakar nama Valdrosh, mengutuk Kaelric. Keduanya sudah tiada, dan orang mati lebih berguna daripada orang hidup. Dengan nama itu, kita bisa mengalihkan pedangnya. Tugasmu hanya satu, arahkan jalannya, tapi jangan sampai ia tahu siapa yang menggerakkan langkahnya.”

Veyrund mengerjap, tak berani bernapas keras. “Mengarahkannya … bagaimana?”

Senyum Putra Mahkota melebar, samar tapi licik.

“Bukti mereka sudah ditemukan. Dan itu justru kelebihan kita, Veyrund. Draevenhart percaya dirinya sedang menggenggam kebenaran. Padahal yang ia genggam hanyalah tali yang kita pasang di lehernya.”

Veyrund membeku. Dada naik-turun, wajahnya pucat pasi. Namun ia mengangguk cepat. “Saya mengerti, Yang Mulia.”

Putra Mahkota mendekat, suaranya makin lirih, seolah membisikkan rahasia yang tak boleh didengar dunia.

“Dan ketika waktunya tiba, aku ingin melihat mata biru itu kehilangan cahayanya. Kau akan menyaksikannya, Veyrund. Kau akan tahu bahwa bidak pun bisa menjatuhkan raja bila langkahnya tepat.”

Ia mundur setapak, pandangan kembali menembus kabut danau. Jemarinya mengepal lalu mengendur, seakan sedang merasakan papan catur tak kasat mata.

“Catur ini baru dimulai,” gumamnya dingin. “Dan aku ... tidak pernah kalah.”

Hening menggantung. Veyrund masih berlutut, tubuhnya kaku bagai patung. Putra Mahkota akhirnya menoleh lagi, suaranya pelan tapi tegas.

“Sekarang pergilah. Jangan biarkan Draevenhart tahu kau sudah menemuiku. Satu langkah salah, Veyrund … dan kau akan jadi abu, bahkan sebelum Draevenhart sempat mengangkat pistolnya.”

Veyrund bangkit terburu-buru, membungkuk dalam, lalu mundur ke balik kabut.

Putra Mahkota berdiri sendiri, senyum dingin tetap terukir di wajahnya. Matanya berkilat, menatap jauh, seolah ia sudah melihat akhir permainan bahkan sebelum bidak terakhir digerakkan.

~oo0oo~

Langkah-langkah berat menghantam lantai marmer istana ketika Duke Orion von Draevenhart memasuki aula singgasana. Pilar-pilar hitam menjulang, ukiran naga emas berkilau di bawah cahaya obor, dan di ujung ruangan, Kaisar duduk di atas singgasana obsidian. Mantel keemasan menjuntai dari bahunya, mahkota baja hitam bertengger di kepalanya.

Para menteri berdiri berderet di sisi, wajah mereka tertunduk. Begitu Orion melangkah ke tengah ruangan, suara-suara kecil langsung padam. Hanya gema sepatu botnya yang terdengar.

Ia berdiri tegak, satu-satunya Duke yang tidak perlu membungkuk. Suaranya berat dan jelas.

“Yang Mulia. Sesuai perintah, saya telah memimpin penggerebekan. Bukti ditemukan berupa catatan pengiriman, denah gudang, serta daftar pembayaran gelap. Semuanya mengikat nama Valdrosh dan Kaelric pada jalur penyelundupan garam. Dua keluarga besar itu telah mengkhianati kekuasaan.”

Kaisar menundukkan kepala sedikit, sorot matanya berkilat.

“Valdrosh sudah tiada. Kaelric pun telah mati. Tetapi nama mereka masih menodai darah bangsawan.”

Orion menatap Kaisar dengan tegas, wajahnya tanpa riak.

“Kematian bukan pengampunan. Mayat bisa terkubur, tapi pengkhianatan harus dibakar sampai ke akarnya. Demi menjaga wibawa kekaisaran, saya berpendapat keluarga besar mereka harus diasingkan. Tak boleh ada satu pun keturunan Duskbane dari Valdrosh, ataupun Drachensberg dari Kaelric, yang tetap tinggal di pusat kekuasaan ini.”

Bisik-bisik kecil pecah di barisan menteri, beberapa terkejut, namun segera padam ketika Kaisar mengangkat tangannya.

Suara Kaisar bergema berat di ruangan.

“Pendapatmu benar, Duke Draevenhart. Demi menjaga kehormatan kekaisaran, Duskbane dan Drachensberg diasingkan. Semua tanah, gelar, dan hak istimewa mereka disita. Mereka akan diusir dari pusat, dibuang ke perbatasan utara. Biarkan mereka membusuk bersama salju.”

Para menteri menunduk serentak, tak seorang pun berani membantah.

Orion tetap berdiri tegak, wajahnya dingin. Sorot birunya berkilat, menegaskan bahwa titah itu baginya adalah mutlak.

Kaisar menatapnya lama, lalu suaranya menutup perkara dengan tegas.

“Kau boleh pergi, Draevenhart.”

Orion mengangguk singkat, lalu berbalik. Gema langkahnya kembali memenuhi aula, meninggalkan ketegangan di belakangnya, sementara para menteri tetap menunduk dalam-dalam, tak seorang pun berani mengangkat wajah.

Pintu besar aula singgasana menutup di belakangnya. Orion melangkah keluar, sepatu botnya menghantam lantai marmer yang berkilau diterpa cahaya siang. Halaman istana terbentang luas, bendera kekaisaran berkibar di atas tiang tinggi, sementara para prajurit berjaga kaku di sepanjang tangga.

Dari arah berlawanan, sosok lain berjalan mendekat. Mantel panjang hitam keunguan dengan bordiran emas menyapu marmer, rambut hitam tersisir rapi, dan senyum samar menghiasi bibirnya. Putra Mahkota.

Keduanya berhenti di tengah halaman. Sinar matahari jatuh di antara mereka, memantulkan bayangan panjang ke lantai marmer putih.

Putra Mahkota tersenyum tipis, suaranya pelan namun penuh sindiran.

“Duke Draevenhart. Wajahmu selalu sedingin baja. Aku jadi penasaran, apakah Duskbane dan Drachensberg benar-benar bersalah, atau pedangmu hanya terlalu haus darah?”

Orion tidak mengubah ekspresi. Tatapannya menembus, suaranya berat dan datar.

“Pedangku tidak pernah haus. Ia hanya menebas ketika ada pengkhianatan. Yang haus darah biasanya adalah lidah orang yang gemar berbisik.”

Senyum Putra Mahkota melebar sedikit, meski matanya tetap dingin.

“Kau selalu lugas, Duke. Terkadang aku merasa heran, bagaimana seseorang bisa bertahan hidup di istana tanpa seni bicara. Tapi mungkin itulah sebabnya ayah menghargaimu. Pedang tidak perlu pandai berbicara, cukup tajam saat diberi perintah.”

Orion maju setapak, tubuhnya tegak. Suaranya pelan, namun menghantam seperti batu.

“Dan kau, Yang Mulia, memang pandai bermain kata. Bedanya … aku tak pernah butuh kata-kata untuk membuat orang lain berlutut.”

Sejenak hening. Angin siang mengibarkan bendera kekaisaran, sementara para prajurit yang berjaga menahan napas, menyadari ketegangan yang menebal di antara dua tokoh itu.

Senyum Putra Mahkota perlahan memudar. Tatapannya berubah dingin, menusuk, bagaikan mata pisau yang terhunus. Sesaat, wajahnya tak lagi menyembunyikan rasa kesal, tatapan mematikan itu diarahkan lurus pada punggung Orion.

Orion tetap tidak menoleh. Ia berjalan menuruni tangga marmer, langkahnya mantap, bayangannya memanjang di bawah terik matahari. Namun sebelum ia benar-benar jauh, suaranya kembali terdengar, rendah tapi cukup jelas untuk menusuk telinga Putra Mahkota.

“Berhati-hatilah memainkan peran, Yang Mulia. Panggung ini tidak selalu memilih siapa yang mendapat tepuk tangan, tetapi selalu menunjukkan siapa yang mati lebih dulu.”

Putra Mahkota terdiam. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di balik mantel. Tatapan mematikan itu masih menempel pada sosok Orion yang menjauh, seperti janji gelap yang belum diucapkan.

.

.

.

Bersambung ....

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!